Kisah Mistis: LEGENDA EMPAT KAPITAN
Penduduk Nunusaku yang waktu itu merupakan pusat kegiatan di Pulau Seram yang juga biasa disebut sebagai Nusa Ina atau Pulau Ibu, mulai menyebar ke tempat lain dengan dipimpin oleh empat orang kapitan…
Hatta pada suatu hari, keempat orang kapitan bermusyawarah untuk menetapkan arah pengembaraan mereka. Setelah melalui perdebatan yang sengit dan panjang, akhirnya, kesepakatan pun didapat. Mereka akan menghilir sepanjang Sungai tala yang diyakini menyimpan banyak kekayaan.
Tak perlu berlama-lama, berbagai perbekalan yang diperlukan untuk selama perjalanan, juga dipersiapkan dengan cepat, cermat dan teliti. Tidak cukup sampai di situ, bahkan sebelum perjalanan, upacara adat pun digelar. Usai itu semua, mereka pun berjalan kaki menuju Negeri Watui.
Sesampainya di Negeri Watui, setelah sejenak beristirahat, mereka pun segera bekerja membuat gusepa (rakit) dari bambu yang bakal digunakan untuk menghilir Sungai Tala yang sudah terkenal dengan keganasannya. Selain berair deras, di sepanjang alirannya, juga banyak terdapat bebatuan besar. Namun, keadaan itu tak membuat keempat kapitan jadi berkecil hati. Tekad mereka sudah bulat, menghilir sungai untuk mendapatkan perubahan dalam kehidupan.
Pada saat yang tepat, pelayaran pun dimulai. Ketika itu, yang menjadi pimpinannya adalah Kapitan Nunusaku, kapitan besar turunan Moyang Patola yang menjadi Moyang dari mata rumah Wattimena Wael di Mahariki. Harta milik Kapitan Nunusaku dibawa semuanya di antaranya adalah seekor burung. nuri atau burung kasturi raja, dan sebuah pinang putih yang diletakkan dalam wadahnya.
Sementara, di belakang kemudi duduk kapitan yang menjadim moyang dari mata rumah Wattimury, sedang di tengah rakit, terdapat kapitan yang akan menjadim Moyang Nanlohy –di belakang sebelah kanan duduk kapitan yang akan menjadi Moyang Talakua.
Selanjutnya, untuk menjaga harta milik mereka semua, ditunjuklah Kapitan Nanlohy. Di dalam hukum adat, ia bertindak sebagai seorang Dati yang akan menentukan pembagian-pembagian, baik harta milik pribadi maupun milik bersama. Oleh sebab itu, semua harta dan perbekalan diletakkan di tengah rakit dan berdekatan dengan Kapitan Nanlohy.
Rasa senasib sepenanggungan, membuat keempat kapitan ini berjuang bahu membahu dan saling percaya bakal mendapatkan kehidupan yang lebih baik d masa datang. Karena mengalir turun, maka, rakit pun dapat melaju tanpa perlu dikayuh. Namun, di suatu tempat yang bernama Batu Pamali, rakit yang mereka tumpangi kandas bahkan hampir terbalik. Melihat
Keadaan itu, Kapitan Wattimena Wael sontak berteriak pada kapitan yang berada di dekatnya: “Talakuang …!”
Kapitan yang mendengar langsung saja menghujamkan bambu yang biasa dipakai untuk mengayuh ke sungai, dengan tujuan menahan laju rakit agar tidak terbalik. Dan kapitan yang mendapat perintah tersebut dinamakan “Talakua” yang kemudian menjadi moyang dari mata rumah Talakua di Negeri Portho hingga sekarang.
Saat itu, padahal, Kapitan Wattimena Wael sedang meracik sirih. Akibatnya, wadah sirih pinang yang sedang dibuka olehnya pun terjatuh. Dan pada waktu yang bersamaan, burung nuri-nya pun terbang entah kemana. Sudah barang tentu, kejadian itu membuat Kapitan Wattimena Wael menjadi sangat kecewa.
Sumpah yang sampai kini menjadi pantangan bagi mata rumah Wattimena Wael pun terucap. Yakni: “Turun temurun, mata rumah Wattimena Wael dan para menantu tidak boleh memelihara burung nuri dan memakan sirih pinang”. Dan kemudian, sampai sekarang, tempat peristiwa tersebut terjadi dikenal dengan sebutan Batu Pamali.
Perjalanan pun kembali dilanjutkan. Singkat kata, akhirnya, mereka berempat pun tiba di Tala dengan selamat. Di tempat itu mereka menanam batu perjanjian yang mulanya dikenal dengtan nama Manuhurui, kemudian berubah menjadi Huse. Perjanjian pun mereka ikrarkan: “Walau nanti mereka tercerai berai, namun, hubungan persaudaraan yang telah terbina selama ini harus selalu tetap dipertahankanya.
Tidak hanya itu, mereka juga harus saling tolong menolong dalam segala hal, dan saling kunjung mengunjngi antara satu sama lainnya. Kemudian, tempat ini menjadi tempat kenang-kenangan bagi seluruh keturunan negeri Mahariki, Amahai, Luhu dan Portho.
Setelah prosesi perjanjian usai dilakukan, akibat kelelahan yang teramat sangat, maka, Kapitan Wattimena dan Kapitan Wattimuri pun dengan cepat tertidur pulas. Sementara, enggan untuk membangunkan kedua sahabatnya yang tengah tertidur pulas, dengan perlahan, Kapitan Nanlohy dan Kapitan Talakua pun naik ke atas rakit untuk melepaskan penat.
Agaknya takdir berkehendak lain, tiba-tiba, rakit hanyut terbawa air deras yang mendadak datang dari hulu Sungai Tala. Kapitan Nanlohy dan Kapitan Talakua tak mampu berbuat suatu apapun, kecuali hanya pasrah. Mendengar gemuruh suara air ang datang dari hulu sungai, membuat Kapitan Wattimena dan Kapitan Wattimuri langsung terbangun dari tidurnya.
Keduanya tak mampu berbuat apapun, ketika melihat rakit itu hanyut semakin ke tengah laut kecuali hanya melambaikan tangan dan menitikkan air mata dengan mulut kelu.
Tak ada yang kata yang mampu keluar dari mulut keduanya. Keduanya begitu terpukul. Yang bisa mereka lakukan hanyalah melambai-lambaikan tangan seraya berdoa, semoga, kedua sahabatnya selalu diberikan kekuatan dan keselamatan oleh Yang Maha Hidup…
Begitu juga yang terjadi pada Kapitan Nanlohy dan Kapitan Talakua yang terkatung-katung di atas rakit di lautan nan demikian luas, kecuali membalas lambaian | tangan kedua sahabatnya yang berada di daratan, doa pun mereka jeritkan sambil mentikan air mata, agar kedua sahabatnya yang di daratan, juga selalu diberikan kekuatan dan perlindungan oleh Yang Maha Hidup.
Keduanya tak bisa menguasai rakit yang terus diombang-ambingkan alun di Tanjung Hualoi. Mereka tak bisa membawa rakit itu kembali ke tepian. Entah kenapa, tanpa sepengetahuan Kapitan Talakua, tiba-tiba, Kapitan Nanlohy melompat dan berenang melawan arus. Tapi nahas, karena letih dan kelelahan yang teramat sangat, akhirnya, Kapitan Nanlohy pun terdampar di suatu tempat yang bernama Nanaluhu, yang secara harfiah berarti “berenang dan terdampar di hulu.”
Sementara itu, rakit yang ditumpangi Kapitan Talakua terus hanyut terbawa arus hingga melewati Tanjung Uneputty, hingga akhirnya, terdampar pada suatu teluk di Pulau Saparua. Kapitan Talakua segera turun dan membangun tempat itu hingga menjadi sebuah negeri yang ramai dan diberi nama Portho.
Ikatan kekeluargaan yang diikrarkan oleh keempat kapitan di Manahurui yang akhirnya dikenal dengan sebutan Huse, ternyata bukan janji kosong. Hal itu dibuktikan oleh Kapitan Nanlohy ketika mendengar kabar betapa sahabatnya masih hidup, dengan serta merta, ia pun berkemas dan segera pindah dari Nanaluhu ke Portho. Di sini, keduanya hidup dengan tenang dan damai serta mengembangkan keturunannya menjadi satu mata rumah yang besar.
Keadaan tersebut tak jauh berbeda dengan yang dialami oleh Kapitan Wattimena Wael dan Kapitan Wattimuri yang tetap memilih mukim di daerah Manuhurui, di Kampung Sanuhu. Di tempat ini, keduanya memiliki banyak sahabat baru. Di antaranya adalah kapitan kampung tersebut yang di kemudian hari dijadikan sebagai pengintai oleh Kapitan Wattimena Wael. (Dari berbagai sumber terpilih). Wallahu a’lam bissawab. ©️KyaiPamungkas

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.
Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)
NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)
NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)
WEBSITE: paranormal-indonesia.com/
(Selain web di atas = PALSU!)
NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)
ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)