Ngaji: LINTAH DARAT YANG MENJADI SUFI
Karena suatu keajaiban Tuhan yang ditunjukkan di hadapan dirinya, maka, dia meninggalkan kehidupan duniawi yang penuh gelimang harta. Sisa hidupnya pun dihabiskan hanya bersama Allah…
Semula Habib Al Ajami adalah seorang kaya yang mukim di Basrah. Dikisahkan, dia sangat suka meminjamkan uang dengan bunga yang tinggi. Tiap hari, dia selalu berkeliling kota untuk menagih utang pada para peminjam uang darinya. Jika tidak memperoleh angsuran, maka dia pun akan menuntut ganti rugi dengan dalih alas sepatunya menjadi tipis akibat berjalan sangat jauh. Dengan cara ini dia dapat menutupi kebutuhannya sehari-hari. Bahkan, kekayaannya semakin berlimpah dari hari ke hari.
Pekerjaannya sebagai lintah darat itu sungguh menebar kesengsaraan bagi orang lain. Tak terhitung sudah berapa banyak rakyat jelata yang menderita setelah meminjam uang darinya. Utang-utang mereka tak pernah bisa dibayar lunas, sebab dari hari ke hari Habib Al Ajami selalu menaikkan bunganya. Karena itu tidaklah mengherankan jika banyak orang yang begitu membenci Habib. Namun dia tak perduli, sebab dia sudah cukup senang hidup dalam gelimang harta yang demikian berlimpah.
Pada suatu hari, Habib Al Ajami pergi ke rumah seseorang yang berutang kepadanya. Namun yang dicari sedang tidak ada, yang ada di rumah hanya isterinya si pengutang itu.
“Suamiku tidak ada di rumah,” kata wanita itu dengan ketakutan.
“Bukankah suamimu sudah berjanji padaku akan mencicil hutangnya hari ini. Mengapa dia mengingkarinya?” Protes Habib dengan bersungut-sungut.
“Kami tidak dapat mencicil utang itu. Tapi kami baru menyembelih seekor domba, dan kebetulan kepalanya masih tersisa. Jika tuan suka akan kuberikan padamu!” Lanjut wanita itu.
“Boleh!” Kata Habib. “Tapi ingat, engkau tetap harus membayar ganti rugi,” tegasnya pula.
Kemudian si wanita itu pun segera memasak kepala domba yang dijanjikannya. Ketika gulai kepala domba itu telah masak dan siap dihidangkan, seorang pengemis datang mengetuk pintu, seraya berkata: “Tuan, berilah sedekah!”
Habib yang ketika itu masih menunggu, segera bangkit dari duduknya. “Jika yang kami miliki diberikan kepadamu, engkau tidak akan menjadi kaya raya. Tetapi sebaliknya kami yang akan menjadi miskin,” dampratnya habis-habisan.
Si pengemis yang kecewa memohon kepada si wanita agar ia sudi memberikan sekedar makanan kepadanya. Si wanita segera membuka tutup belanga. Apa yang terjadi? Ternyata kuah gulai domba yang dimasak tadi, telah berubah menjadi darah hitam.
Melihat kenyataan tersebut, wajah si wanita menjadi pucat. Dia segera mendapatkan Habib dan kemudian menarik lengannya guna memperlihatkan isi belanga.
“Saksikan apa yang telah menimpa diri kita karena ribamu yang terkutuk, dan ucapanmu yang menyakitkan kepada pengemis. Dan apa yang akan terjadi atas diri kita di dunia? Apalagi nanti di akhirat?” Geragap wanita itu dengan cemas.
Habib hanya diam seribu bahasa. Namun, kejadian aneh ini membuat dadanya terbakar oleh api penyesalan yang tidak akan pernah reda seumur hidupnya.
“Wahai wanita yang baik, aku menyesali atas segala yang telah kulakukan,” cetusnya dengan suara gemetar.
Esok harinya setelah kejadian tersebut, Habib menemui orang-orang yang berutang kepadanya. Dengan suara lantang kemudian dia mengumumkan bahwa dirinya membebaskan semua utang dari orang-orang tersebut.
Gulai kepala domba yang menjadi darah hitam itu sungguh membuat Habib dihantui oleh rasa takut berkepanjangan. Dia ingin bertobat kepada Allah, dengan tobat yang sebenar-benarnya.
“Ya, Allah! Betapa banyak riba yang telah kumakan, dan betapa dalam dosa-dosa yang telah kuperbuat. Entah dengan cara apa aku harus bertobat kepadamu, Ya Tuhanku,” rintih Habib di dalam tangisnya.
Apa yang dia lakukan selanjutnya sungguh mengejutkan. Setelah melunaskan semua utang-utang orang yang meminjam kepadanya, lalu dia juga membagi-bagikan semua kekayaannya kepada fakir miskin hingga habis seluruhnya. Bahkan, pakaian yang sedang dikenakannya juga diberikan kepada tiap orang yang datang, hingga tubuhnya terbuka, hampir tidak ada pakaian lagi.
Sejak seluruh harta yang selama ini dibanggakannya habis dia bagi-bagikan kepada fakir miskin, sejak itu pula Habib memutuskan diri untuk beruzlah. Ya, dia menyepi di tempat yang sunyi di pinggir sungai Tuphrat. Di sana dia bertobat. Siang dan malam dia membaktikan diri dengan beribadah kepada Allah SWT.
Waktu terus berlalu, Habib benar-benar dalam keadaan papa. Tetapi isterinya masih tetap menuntut biaya rumah tangga kepadanya. Maka pergilah Habib menuju ke tempat dimana dia melakukan uzlah. Dengan rajin dan sabar dia terus beribadah kepada Allah, dan baru pulang apabila malam telah tiba.
“Di mana sebenarnya engkau bekerja, Sehingga tak ada sesuatu pun yang bisa engkau bawa pulang untuk menafkahi keluargamu ini?” Tanya isterinya dengan rasa kecewa.
“Aku bekerja pada seorang Yang sangat pemurah,” jawab Habib, berbohong sebab dia sesungguhnya tidaklah bekerja apapun, kecuali bekerja untuk Allah dengan ibadah-ibadah yang dilakukannya.
“Karena demikian kasih sayang dan pemurahnya aku malu untuk meminta sesuatu kepadaNya. Suatu saat aku yakin dia pasti akan memberi sesuatu yang kita harapkan. Karena seperti katanya sendiri: “Sepuluh hari sekali aku akan membayar upahmu,” lanjutnya lagi.
Sang isteri menggeleng-gelengkan kepalanya dengan rasa kesal di dada. Dia sungguh tidak mengerti dengan apa yang dimaksudkan oleh suaminya yang memilih hidup papa itu.
Demikianlah, tiap hari Habib pulang pergi ke tempat dia melakukan uzlah untuk beribadah kepada Allah. Ketika tiba waktunya dia kemudian pulang dengan tidak membawa apapun. Isterinya semakin kesal. Namun setiap ditanya maka Habib selalu menjawab dengan kata-kata serupa: “Karena demikian kasih sayang dan pemurahnya aku malu untuk meminta sesuatu kepadaNya. Suatu saat aku yakin dia pasti akan memberi sesuatu yang kita harapkan. Karena seperti katanya sendiri, “Sepuluh hari sekali aku akan membayar upahmu.”
Akhirnya, ketika tiba pada waktu shalat Dzuhur di hari yang ke sepuluh, pertanyaan pun mengusik batinnya. “Apakah yang akan kubawa pulang malam nanti? Apakah yang harus kukatakan kepada isteriku, sebab aku menjanjikan upah itu di hari yang kesepuluh.”
Lama dia termenung karena bingung. Ya, bagaimana jadinya apabila dia pulang dengan tangan hampa? Mungkin isterinya akan marah besar, dan tidak akan lagi mau percaya kepada dirinya. “Ya, Allah berikanlah kasihMu pada hambaMu yang lemah ini,” doa Habib di dalam hati.
Doa itu didengar dan dikabulkan Allah. Tanpa sepengetahuan Habib, Allah Yang Maha Pengasih, telah mengutus pesuruh-pesuruhNya untuk datang ke rumah Habib, Yang seorang membawa gandum sepemikulan keledai. Yang lain membawa seekor domba yang telah dikuliti. Dan yang terakhir membawa minyak, madu, serta rempah-rempah, dan bumbu-bumbu secukupnya.
Semua itu mereka pikul dengan diiringi seorang pemuda yang gagah, yang membawa sebuah kantong berisi 300 dirham perak. Setibanya di rumah Habib, si pemuda yang bisa jadi adalah malaikat itu mengetuk pintu.
“Apa maksud kalian datang kemari?” Tanya isteri Habib yang terheran-heran melihat tamunya.
“Majikan kami menyuruh kami untuk mengantarkan barang-barang ini,” jawab si pemuda sambil tersenyum.
“Barang-barang apakah gerangan yang kalian bawa untuk kami ini?” Tanya isteri Habib lagi.
“Kami tak tahu apa isi semua ini. Yang pasti, majikan kami menyampaikan ini sebagai upah untuk jerih payah suamimu,” jawab si pemuda.
“Tapi, mengapa sebanyak ini?”
“Ya, inilah bukti kemurahan majikan kami,” jawab si pemuda dan segera berpamitan. “Dan sampaikan kepada Habib, bila engkau melipat gandakan jerih payahmu, maka Kami akan melipat gandakan upahmu,” lanjutnya sebelum dia benar-benar pergi.
Setelah berkata demikian, pemuda tampan dan dua orang pemikul barang-barang itupun pergi. Isteri Habib menerima pemberian itu dengan penuh suka cita dan rasa heran.
Ketika matahari terbenam, Habib pun pulang dengan perasaan malu dan sedih. Terbayang di pelupuk matanya bagaimana sikap sang isteri yang akan dihadapinya. Ah, dia pasti menudingnya sebagai pendusta besar, sebab tidak bisa menepati janjinya.
Namun, kegelisahan Habib itu mendadak terobati. Setelah hampir sampai di rumahnya, tercium olehnya bau roti dan masakan yang membangkitkan selera. Bahkan, dengan setengah berlari isterinya datang menyambutnya, menghapus keringat di wajahnya dan bersikap lembut kepadanya. Suatu perlakuan yang tak pernah dilakukan sebelumnya, sebab selama ini isterinya selalu menyambutnya dengan sikap tak ramah.
“Wahai suamiku, majikanmu adalah orang yang sangat baik dan pengasih,” kata istrinya. “Lihatlah semua yang telah dikirimkan kemari melalui seorang pemuda yang gagah dan tampan. Pemuda itu berpesan: “Bila Habib pulang, katakanlah kepadanya, bila engkau melipat gandakan jerih payahmu, maka Kami akan melipatgandakan upahmu.”
Habib merasa heran. “Sungguh menakjubkan, baru sepuluh hari aku berkerja sedemikian banyak imbalan yang dilimpahkanNya kepadaku. Apa pulakah yang akan dililmpahkanNya nanti jika aku bekerja sepanjang hidupku?”
Sejak saat itu Habib memalingkan wajahnya dari segala urusan duniawi. Dengan terus-menerus dia membaktikan dirinya hanya untuk Allah semata-mata. Siang, malam, hanya satu yang dirindukannya, Allah SWT. Wallahu a’lam bissawab. ©️KyaiPamungkas.

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.
Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)
NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)
NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)
WEBSITE: paranormal-indonesia.com/
(Selain web di atas = PALSU!)
NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)
ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)