Kisah Mistis: SUSUK PEMBAWA PETAKA
Jika melihatku sekarang, pasti tidak ada yang menyangka betapa kelam masa laluku. Bahkan saat itu aku nyaris tak percaya adanya Tuhan saking beratnya beban yang terus menderaku tanpa henti. Namun dengan segala yang aku miliki saat ini ternyata beban itu masih juga menggayuti setiap langkahku. Bukan tentang materi, tapi terkait jalan yang dulu aku tempuh. Duh Gusti, masihkah pintu maaf-Mu terbuka untukku…?
Namaku Santi. Ya, itu nama asliku. Nama pemberian orang tuaku. Namun saat ini nama itu sudah tidak pernah aku pakai. Dan mohon maaf kepada pembaca setia website ini jika aku tidak akan mengungkapkan namaku yang sekarang. Jika pun aku sebutkan inisialnya saja, barangkali akan ada satu atau dua pembaca yang bisa mengenaliku. Sekali lagi aku mohon maaf untuk tidak menyebutkan inisial apalagi namaku saat ini secara lengkap.
Sebenarnya aku bukan berasal dari keluarga miskin. Orang tuaku cukup berada untuk ukuran kampungku. Ya, ayahku punya kebun dan beberapa petak sawah. Sementara ibuku dulu katanya pernah jadi TKW di Malaysia. Meski tidak banyak, namun ibuku masih memiliki tabungan. Hal ini perlu aku ceritakan karena dari situlah semua bermula. Dari situ penderitaanku berawal.
Setelah tamat SMP, aku yang gemar menyanyi iseng-iseng ikut lomba karaoke tingkat kecamatan. Di luar dugaan, aku terpilih menjadi juara pertama. Bisa ditebak, aku pun mulai keranjingan mengikuti kontes menyanyi dari tingkat kecamatan hingga tingkat kabupaten. Terlebih setelah aku menginjak kelas 2 SMA. Aku semakin getol mengikuti lomba menyanyi di manapun, termasuk di ibukota provinsi. Ya, di Bandung aku sempat mengikuti audisi untuk kontes pencarian bakat salah satu TV swasta di Jakarta.
Tentu saja biaya semua itu membutuhkan biaya. Aku pun minta biaya ke ayahku. Tapi saat itu ayahku sedang tidak punya uang.
“Nanti saja kalau sudah panen petai,” kata ayah.
“Kapan?” sahutku dengan wajah judes.
“Sekitar sebulan lagi.”
“Apa? Sebulan lagi? Keburu tutup audisinya.”
“Ya, berarti belum rejekimu…”
“Kan tahun depan juga akan ada lagi,” timpal ibuku.
Mendengar penuturan ibuku, aku tibatiba teringat cerita soal simpanan ibuku di bank. Spontan aku pun menanyakannya. Tetapi jawaban ibuku di luar dugaan.
“Itu uang untuk biaya sekolah adik-adikmu.”
“Saya pinjam, Bu. Nanti kalau menang lomba, aku kembalikan semua,” kataku.
“Tidak boleh. Suaramu itu pas-pasan. Tidak mungkin menang kalau lombanya di Jakarta. Di sana banyak yang punya suara lebih bagus.”
tak tau apa maksud ibuku. Meski tidak pernah terucap, namun aku tahu kedua orang tuaku tidak pernah melarang, bahkan mendukung kegiatanku mengikuti lomba menyanyi. Mengapa sekarang begitu ketus? Apa karena aku menyinggung soal uang simpanannya itu?
“Bu, aku pinjam…”
“Tidak!” sambar ibuku semakin ketus.
Namun penolakan ibuku justru membuat aku semakin penasaran. Benarkah ibu punya uang di bank? Atau itu hanya khayalannya saja? Sebab cerita soal uang tersebut hanya sekali aku dengar saat masih SMP. Setelah itu kedua orang tuaku tidak pernah menyinggungnya lagi.
Terdorong rasa penasaran, aku mengatur siasat. Ketika orang tuaku sedang di kebun, aku masuk ke kamarnya. Aku obrak-abrik barang-barang milik ibu, termasuk tas besar yang konon dibeli di Malaysia. Tas itu di simpan di bawah tempat tidur. Sepertinya memang tidak pernah dibuka. Ketika aku mengeluarkannya dari kolong, tas itu sudah berdebu. Namun yang membuatku mendongkol, ternyata tas itu terkunci. Di mana ibu menyembunyikan anak kuncinya?
Karena tidak menemukan anak kunci, tas itu kemudian kubobol. Betapa kagetnya aku ketika melihat isinya. Meski aku tidak menemukan buku tabungan, tapi aku menemukan harta lain yang tak kalah bernilainya. Ya, ada beberapa kalung dan gelang emas di situ. Tanpa berpikir panjang aku raup perhiasan itu dan tasnya kukembalikan ke tempat semula. Segera aku berkemas untuk pergi ke Bandung dengan bekal perhiasan itu.
Sebelum berangkat, aku mampir ke tempat Mbah Janiah. Kepada perempuan tua yang dikenal sebagai paranormal itu, aku minta susuk.
“Aku mau jadi penyanyi, Mbah.”
Tanpa berkata-kata, Mbah Janiah membawaku ke kamarnya. Di situ Mbah Janiah mengurut bibirku. Sekitar setengah jam, proses itu selesai. Aku tidak merasakan ada yang berubah dalam diriku. Namun kata Mbah Janiah, susuk itu sudah dipasang di bibir, wajah dan juga pinggulku. Saat itu aku sama sekali tidak berpikir bagaimana kelak cara membuangnya.
Ternyata mengikuti audisi untuk menjadi calon penyanyi membutuhkan tenaga ekstra. Aku hampir-hampir tidak kebagian formulir andai tidak ditolong oleh Herry. Ya, kru TV swasta itu menolongku di saat aku sudah nyaris putus asa. Dia juga memberi nomor handphonenya.
“Telepon saja kalau kamu butuh sesuatu,” kata Herry.
Entah karena memang aku memiliki bakat, entah karena bantuan susuk, entah pula karena bantuan Herry, yang pasti aku lolos audisi tahap awal. Aku pun wajib mengikuti audisi selanjutnya di Jakarta. Audisi di Jakarta tentu lebih berat karena gabungan dengan para pemenang audisi dari berbagai daerah lainnya.
“Cari kontrakan saja,” saran Herry.
Tanpa banyak bicara, Herry pula yang mencarikan kontrakan di daerah Gambir, Aku sengaja hanya mengambil kontrakan bulanan karena belum yakin akan bisa lolos ke tahap selanjutnya. Namun Herry terus menyemangatiku. Sering dia main ke kontrakanku hingga akhirnya kami benar-benar dekat hingga seperti sepasang kekasih. Aku tidak tahu dan mernang tidak mau tahu apakah Herry sudah punya istri atau belum. Namun feelingku mengatakan dia sudah berkeluarga. Hal itu membuat aku merasa tenang karena dia tidak akan mungkin memintaku menjadi istrinya. Bukankah tujuanku untuk menjadi penyanyi.
Oh iya, dari teman-teman sekolah melalui akun jejaring sosial, aku tahu ibuku sangat terpukul dengan aksiku mencuri perhiasannya. Apalagi aku juga pergi tanpa pamit. Aku sengaja mematikan nomor handphone lamaku dan menggantinya dengan nomor baru yang tidak diketahui siapapun kecuali Herry dan panitia audisi, sehingga orang tuaku maupun teman-temanku tidak ada yang bisa menghubungiku. Bahkan setelah aku berangkat ke Jakarta, akun Facebook dan Twitter juga aku nonaktifkan. Aku ingin berjuang sendiri sehingga ketika kelak aku berhasil akan menjadi kejutan buat mereka semua.
Singkat cerita, aku berhasil lolos ke babak 64 besar. Itu artinya aku akan mengikuti seleksi selanjutnya langsung di depan kamera. Masuk TV! Aku semakin giat berlatih secara otodidak, tanpa pembimbing Bersamaan dengan itu, hubunganku dengan Herry juga sudah semakin jauh. Ketika aku akhirnya lolos ke babak 16, tinggal selangkah lagi untuk masuk ke babak 8 . besar, malapetaka itu terjadi.
Tidak terasa proses sejak dari Bandung hingga Jakarta sudah lebih dari 2 bulan. Bahkan menjelang 3 bulan. Aku mulai merasakan ada yang berubah dalam perut. Namun aku tidak berani memeriksakan diri ke dokter. Kondisi tubuhku juga tiba-tiba drop karena aku tidak selera makan dan sering mual-mual. Bukannya membantuku, Herry juga menyalahkanku.
“Kenapa bisa sampai hamil? Apa obatnya tidak kamu minum?” semprot Herry.
Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Habis sudah air mataku. Aku harus Kuat dan meneruskan cita-citaku yang sudah di depan mata. Sebab jika sampai bisa lolos ke 16 besar, aku tinggal selangkah lagi untuk maju ke babak 8 besar dan mendapatkan kontrak dari TV yang mengadakan kontes itu. Ya, aku tidak boleh gagal. Bahkan ketika akhirnya Herry tidak pernah lagi datang ke kontrakan, aku benar-benar merasa senang. Tinggal satu masalah lagi. Aku harus secepatnya menggugurkan janin sebelum membesar.
Di Jakarta tidak sulit mencari bidan yang mau menggugurkan kandungan. Apalagi usia kandunganku masih sangat muda. Dengan diantar tukang ojek langgananku, aku pergi ke daerah Kramat untuk menggugurkan kandungan. Setelah diurut, aku diberi pil peluntur. Dan memang sudah jalanku, proses itu tidak memakan waktu lama dan hasilnya sangat efektif. Kandunganku langsung bersih.
“Baru menggumpal, belum menjadi janin,” kata salah seorang yang membantuku menggugurkan kandungan di klinik itu.
Tibalah saat yang sangat kunantikan. Penampilanku di babak 32 besar ternyata sangat maksimal. Awalnya aku menyanyi secara off air. Namun setelah mendapat standing aplaus dari dewan juri, aku disuruh mengulang secara on air disiarkan secara langsung oleh TV itu. Aku yakin temanteman dan juga orang tuaku melihat penampilanku. Aku tidak tahu apakah ibuku bangga atau masih marah. Sebab aku tetap belum mau melakukan komunikasi dengan mereka sebelum benar-benar berhasil menjadi penyanyi.
Aku pun iolos ke babak 16 besar. Itu artinya babak baru dalam kehidupanku. Aku sudah mendapat uang tampil meski belum mendapat mess. Aku lantas pindah ke kontrakan yang lebih dekat dengan studio di daerah Jakarta Selatan. Di situ aku tinggal berdua dengan finalis lain dari Gorontalo. Namanya Ina. Anaknya lumayan cantik. Namun katanya dia berasal dari keluarga kurang mampu. Bahkan dia harus menjual sepedanya untuk biaya mengikuti audisi. Meski akhirnya kami menjadi sahabat dekat, tetapi aku tetap tidak membuka soal Herry, apalagi kandungan yang telah aku gugurkan. Ina memiliki sifat yang tidak jauh berbeda denganku. Keterbatasan uang tidak menghalangi langkahnya. Diam-diam ia nyambi menjadi penyanyi di sebuah kafe. Hal itu aku ketahui belakangan.
“Mau ikut ngga?” tanya Ina suatu sore.
“Kemana?”
“Ngisi acara di Sudirman?”
“Acara apaan?”
“Nyanyi di kafe. Kebetulan lagi butuh Satu penyenyi lagi,” kata Ina.
Awalnya aku menolak. Aku masih cukup punya bekal. Masih ada gelang dan kalung milik ibu yang belum aku jual dan aku yakin cukup untuk membiayai hidupku di Jakarta sampai selesai kontes. Namun realita kadang tidak seindah cerita. Aku gugur di babak 16 besar. Aku benar-benar terpukul. Yang membuatku bertambah sakit hati, ternyata Ina justru lolos. Dia pun pindah ke mess untuk semua kontenstan yang masuk babak 8 besar.
Hari-hari selanjutnya aku lalui dengan sangat berat. Mestinya aku pulang saja ke kampung. Tidak mungkin ibuku akan membunuhku. Apalagi masih ada 2 perhiasannya yang belum aku jual. Aku juga masih bisa melanjutkan sekolah meski mungkin harus mengulang di Kelas 2. Tetapi semua itu aku tepis. Aku tetap bertahan di Jakarta dengan harapan akan ada keajaiban.
Hari berganti minggu dan bulan pun berlalu. Bekalku semakin tipis sementara aku tidak memiliki penghasilan sama sekali. Aku pun menghubungi Ina dan minta direkomendasikan untuk menjadi penyanyi di kafe tempat dia dulu bekerja. Tanpa kesulitan aku pun diterima menjadi penyanyt di kafe itu. Setiap malam aku menghibur tamu dengan lagu-lagu pop yang kadang diselingi dangdut.
Kehidupanku berubah dratis. Kehidupan malam di Jakarta merubah pola pikirku. Aku tidak lagi berpikir untuk pulang ke kampung atau meneruskan sekolah. Semua sudah aku kubur. Aku larut dalam buaian malam ibukota dengan segala hiruk-pikuknya, gonta-ganti pacar, mabuk-mabukkan sampai menjadi pecandu narkoba.
Ya, usiaku merambat cepat sebelum aku menyadarinya. Hingga suatu ketika aku bertemu dengan seorang pengusaha dari daerah yang tengah berada di Jakarta untuk urusan bisnis. Zian, sebut saja begitu awalnya aku anggap seperti tamu-tamu kafe lainnya yang hanya ingin menikmati tubunku. Namun ternyata dia memiliki kesan lain.
“Sayang jika kamu menghabiskan usiamu dengan hal-hal begitu,” kata Zian ketika berkunjung kekosanku dan melihat bong, alat untuk menghisap sabu, yang lupa aku simpan.
Sejak itu perhatian Zian padaku semakin menjadi-jadi. Bahkan akhirnya Zian meminangku. Aku pun tidak punya alasan untuk menolak. Pernikahan dilakukan di kampung halamannya tanpa kehadiran kedua orang tuaku. Aku memakai wali hakim karena aku beralasan tidak mengetahui keberadaan orang tuaku sejak kecil. Sebuah dosa yang luar biasa besar dan kelak aku akan menyesalinya seumur hidupku.
Setelah menikah baru aku tahu, selain pengusaha, Zain juga ternyata seorang politikus. Belum genap setahun kami menikah, Zain ikut pemilihan calon Walikota. Entah bagaimana awalnya, menjelang hari pemilihan, sebuah koran membuat berita tentang diriku, lengkap dengan nama orang tuaku serta apa pekerjaanku sebelumnya.
Rupanya salah satu lawan politik Zain pernah melihatku di TV dan mencoba mencaritahu. Dia membayar wartawan untuk melakukan investigasi hingga ke TV tempat dulu pernah menayangkan acara kontes menyanyi tersebut sehingga bisa menelusuri jejakku hingga ke kampung.
Bisa ditebak bagaimana reaksi masyarakat kota di pedalaman Sumatera yang terkenal religius itu. Meski saat itu aku sudah tidak pernah menggunakan obat-obatan terlarang, namun dosa masa lalu tidaklah dapat dihapus begitu saja. Cercaan bertubi-tubi menghantam Zain.
Jika pada akhirnya Zain memilih mundur dari pencalonan, bukan hanya kedua orang tua, kerabat dan para pendukungnya yang kecewa, namun aku lah yang paling terpukul Aku menghentikan langkah politik suamiku sendiri. Sesal pun tidak ada gunanya.
Dengan pertimbangan matang dan hati hancur, aku menggugat cerai Zain. Aku tahu Zain tidak pernah mempermasalahkan masa lalu. Bukankah kami bertemu di tempat hiburan malam dan dia pun tahu aku bukan perempun baik-baik? Tapi rasa bersalahku yang teramat sangat, yang akhirnya aku nekad mengambil keputusan itu. Aku tidak ingin mengecewakan masyarakat kota itu yang mendambakan pemimpin yang bagus, baik hati dan juga penuh pengertian seperti Zain. Jika pun pada pemilihan tahun ini Zain gagal, aku yakin setelah bercerai denganku, lima tahun mendatang dia bisa ikut pemilihan lagi Zain pasti akan terpilih menjadi walikota.
Meski Zain terus menghalang-halangi proses perceraian yang aku ajukan, bahkan bersumpah tidak akan menjadi politikus lagi tidak akan mencalonkan diri lagi menjadi walikota, namun aku tetap berkeras. Zain akhirnya menyerah. Suamiku yang sangat aku cintai itu dan dia pun masih sangat mencintaiku, terpaksa mengeluarkan talak sehingga majelis hakim Pengadilan Agama mengabulkan tuntutanku.
“Kamu tahu betapa hancur hatiku. Namun setidaknya aku masih merasa sedikit berguna andai melepasmu untuk berbakti kepada masyarakat. Percayalah, inilah jalan yang terbaik,” ujarku sesaat sebelum meninggalkan rumahnya.
“Jaga dirimu baik-baik. Jangan pernah kembali ke tempat dulu. Pulanglah ke rumah orang tuamu. Mereka pasti akan memaafkanmu,” Kata Zain sambil memelukku.
Air matanya tumpah tanpa kendali. Aku buru-buru baik mobil yang sudah disiapkan untuk mengantarkanku ke airport.
Zain memberiku bekal cukup banyak. Cukup untuk hidup 5-10 tahun tanpa harus bekerja. Namun tetap saja aku dilanda kebingungan luar biasa. Apakah aku harus ke orang tuaku dengan menanggung seribu malu? Meski aku bisa mengganti perhiasan ibuku yang dulu aku jual, namun aku yakin hal itu tidak akan bisa mengobati luka lara ibuku. Demikian juga ayahku.
Entahlah. Sekarang aku benar-benar dilanda kebimbangan yang teramat sangat. Menjalani hidup sendirian di tengah ibukota, terasa begitu sepi. Kadang terbersit keinginan untuk kembali menjalani kehidupan yang dulu. Namun wajah Zain dengan segala tutur katanya yang lembut dan meneduhkan, terbayang di pelupuk mata.
Zain, mengapa kita harus terpisah hanya karena dosa masa laluku? Adakah jalan untuk kembali kita bersatu? Ah, tidak. Aku tidak boleh memikirkan Zain. Dia sudah menjadi bagian masa lalu dan aku sudah mengikhlaskannya untuk mendarmabaktikan hidupnya bagi masyarakat di kampungnya. Aku ikhlas melepas semuanya. Hanya saja sebagai manusia, kadang aku tetap saja merasa kangen. Jika rasa kangen itu sudah tak tertahankan lagi, aku pun menangis dalam diam. Aku pun mulai mendekatkan diri kepada Tuhan. Namun sampai kapan aku kuat menjalani derita ini? Sampai kapankah aku akan kuat menanggung beban yang sangat berat ini? Wallahu a’lam bissawab. ©️KyaiPamungkas.

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.
Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)
NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)
NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)
WEBSITE: paranormal-indonesia.com/
(Selain web di atas = PALSU!)
NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)
ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)