Kisah Mistis: PESAN GAIB DARI LELUHUR NUSANTARA
Pada saatnya, apa yang ditanam di negeri ini tak akan berbuah. Apa yang diternak tak akan beranak pinak. Selagi sibuk akan duniawi, dunia itu akan semakin membuat haus. Dan ketika pemimpin tak lagi memikirkan rakyatnya, ketika rakyatnya pun tak lagi patuh pada pimpinannya maka tunggulah adzab itu…
Sepenggal kalimat di atas adalah cermin apa yang sedang terjadi di negeri ini. setiap manusia yang bernafas di negeri ini hanya sibuk dengan dirinya sendiri. Sibuk memikirkan keluarganya, golongannya dan kepentingannya sendiri. Tak ada lagi gotong royong, saling membantu dan saling memahami seperti yang dicerminkan leluhur negeri ini. Tak ingat lagi kewajibannya, tanggung jawabnya dan akibat yang akan ditanggung dikemudian hari. Masing-masing hanya sibuk menuntut haknya sambil merampas hak orang lain.
Kita tak lagi bisa menilai diri sendiri, apakah sudah benar atau salah. Masingmasing hanya bisa menilai orang lain, mencari kelemahan orang lain dan menghakimi orang lain. Masing-masing sibuk menutupi kesalahannya dan mempertontonkan aib orang lain. Masingmasing sudah tak lagi mendengar kata hatinya, hanya hawa nafsu yang diumbar. Ego mengalahkan nurani menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
Akibatnya bisa kita rasakan bersama. Rakyat negeri ini terombang ambing seperti buih di lautan. Ke mana angin bertiup, ke sana rakyat negeri ini berkiblat. Tak ada lagi pegangan atau sandaran rakyat yang diyakini kekuatannya. Pemimpin negeri tak mampu mengendalikan dan mengarahkan rakyat ke jalan yang diberkahi. Pemimpin negeri ini seperti rapuh tak berpengaruh. ‘Sabda’nya tak lagi didengar rakyatnya. Perintahnya pun tak lagi dijalankan para pembantunya. Itulah awal hancurnya sebuah negeri.
Hancur bukan karena negeri ini hilang dari peta bumi. Hancur bukan karena penghuni negeri ini yang binasa. Tapi hancur karena negeri ini tak lagi punya harga diri. Hancur karena penghuni negeri ini hanya menjadi budak bagi negeri-negeri lainnya. Para pemimpin negeri ini hanya menjadi badut tontonan negeri lainnya. Kita tak punya kuasa atas diri kita sendiri. Kita menjadi Negara yang merdeka tapi terjajah.
Lalu apa yang salah dengan negeri Nusantara (Indonesia-Red.) ini? Kita punya segalanya untuk bekal hidup di dunia. Kita punya tanah, punya air, punya udara dan kita juga punya api. Ini adalah pertanyaan besar yang tak pernah ada jawabannya. Mungkin karena jawabannya disembunyikan.
Seminggu setelah Idul Fitri yang lalu, penulis berkunjung ke rumah salah seorang saudara di Cipanas-Puncak, Jawa Barat. Bersama isteri dan anak-anak, penulis menginap di rumahnya yang asri dengan lingkungan perkebunan bunga dan sayuran. Cipanas Puncak, Jawa Barat memang terkenal dengan udaranya yang Sejuk, pemandangan pegunungan dengan hamparan perkebunan sayuran dan bunga.
Sebut saja saudara penulis ini dengan nama Kang Darta. Usianya sudah mencapai 48 tahun. la adalah pedagang sayuran dan bunga yang kerap membawa hasil bumi itu ke Pasar Induk Kramajjati, Jakarta Timur. Rumahnya berada di sebuah lereng di kaki Gunung Gede Pangrango. Kesibukannya memang tak jauh dari berkebun di lereng gunung itu. Hanya sesekali ia ikut mengantar hasil perkebunannya ke pasar.
Hari itu Kang Darta mengeluh, katanya hasil panen perkebunannya tak sebanding dengan biaya yang harus ia keluarkan untuk mengolah perkebunan itu. Meski harga sayuran dan bunga hasil kebunnya naik di pasaran, Kang Darta tetap saja tidak menikmati kenaikan harga itu. Ia menjualnya pada tengkulak, dan para tengkulak itulah yang menikmati jerih payah Kang Darta berminggu-minggu menggarap kebunnya.
Yang lebih menyedihkan adalah penjualan bunga yang turun drastis dibanding tahun-tahun sebelumnya. Biasanya menjelang Idul Fitri, Kang Darta mendapat berkah rejeki yang lumayan besar dari penjualan bunga sedap malam, mawar dan tulip. Tapi pada Idul Fitri kali ini, bunga yang ia jual di toko nyaris tak laku. Hanya sebagian kecil saja bunga itu bisa dijual dengan harga tinggi. Bunga-bunga itu lebih banyak tak laku, dan akhirnya membusuk menjadi sampah. “Mungkin Lebaran ini banyak orang yang menahan diri untuk tidak belanja, karena tak ada uang. Saya juga kena imbasnya,” keluh Kang Darta.
Tapi Kang Darta tetap bersyukur, ia dan keluarganya bisa hidup layak untuk standar orang kampung di negeri ini. Ia dan keluarganya tetap bisa makan, punya rumah tempat berlindung dan memenuhi kewajiban sebagai suami dan ayah bagi 3 orang anaknya. Menurut Kang Darta, ikhlas adalah kunci ketenangan hati. Dengan ikhlas menerima apapun, seseorang tak akan mengeluh atau ngedumel yang menyebabkan hati jadi sakit. “Bahkan ketika kita ikhlas menerima kenyataan pahit, kita tak akan merasakan sakitnya pahit itu. Kita hanya perlu mempertahankan diri sebatas hak yang kita miliki,” tutur Kang Darta.
Lepas Dzuhur, penulis mengajak Kang Darta berjalan kaki menyusuri jalan setapak diantara hamparan perkebunan sayuran dan bunga memiliki penduduk. Jauh di atas perkebunan itu ada sebuah tempat wisata yang kerap dikunjungi para pendaki gunung. Orang-orang menyebut tempat itu dengan nama Puncak Gede Pangrango, tempat para pendaki gunung menggelar perkemahan. Setahun lalu, penulis berkunjung ke sana untuk menikmati indahnaya pemandangan di atas pegunungan. Perlu waktu beberapa jam berjalan kaki menyusuri lebatnya hutan Gunung Gede Pangrango.
Di sana ada sebuah tanah lapang yang ditumbuhi rumput liar, masyarakat menyebutnya dengan nama Istal Suryakencana. Ada juga yang menyebutnya Lapangan Suryakencana, karena bentuknya tanah lapangan yang agak luas. Konon tempat itu dulunya adalah kandang kuda Pangeran Suryakencana. Di sanalah sang pangeran mengikat kudanya untuk melakukan meditasi di puncak Gunung Gede Pangrango.
Di sisi kiri lapangan itu ada sebuah batu besar yang nampak lain dari yang lainnya. Masyarakat di lereng gunung itu meyakini batu itu adalah tempat pangeran melakukan meditasi. Tempat itu dikeramatkan karena di sanalah sang pangeran kerap mencari solusi atas permasalahan yang menimpa dirinya dan Negeri ini. Sayang kekeramatan tempat itu perlahan pudar seiring waktu. Tempat itu kini ramai dikunjungi para pendaki gunung yang mendirikan tenda di sekitarnya.
Sayang, baru setengah perjalanan, kabut sudah turun dan menghentikan perjalanan kami. Sejujurnya memang tak ada niat dari awal untuk mencapai tempat tujuan. Penulis dan Kang Darta hanya sekedar jalan menikmati pegunungan dengan jalan setapak ke mana pun sampainya. Apalagi di saat Lebaran seperti ini, jalan setapak yang biasanya sepi itu sekarang setiap hari ada yang melintasinya.
Terhambat oleh kabut, kami memutuskan turun kembali menyusuri jalan setapak yang tadi kami lewati. Hamparan perkebunan sayuran dan perumahan penduduk nampak Samar terhalang kabut yang bergerak perlahan seperti tirai jendela. Dalam samarnya pemandangan, pohon-pohon besar di kiri kanan penulis berdiri kokoh memperlihatkan keperkasaannya. Andai saja pemimpin dan rakyat negeri ini bisa berdiri kokoh layaknya pohon puspa itu, niscaya negeri ini tak akan menjadi budak bagi negeri lainnya.
Di perbatasan hutan dengan perkebunan penduduk, kami melihat sebuah warung tenda yang ditopang tiang bambu. Warungwarung dadakan itu memang kerap muncul manakala ada keramaian seperti Lebaran in Maklum daerah ini adalah daerah kunjungar wisata alam yang sering dilewati para pelancong yang hobby berjalan menikmati panorama alam pedesaan dan pegunungan.
Di warung itu kami istirahat sejenak, menikmati minuman segar dan segelas kopi hangat. Penulis dan Kang Darta ngobrol ngalor ngidul hingga tak kami sadari seseorang datang dari arah hutang. la langsung mengambil tempat duduk di samping kanan penulis sambil menyapa dengan senyum dan salam.
Lelaki yang ditaksir penulis berusia sekitar 50 tahun itu memperkenalkan diri dengan nama Wira. Katanya ia baru saja turun dari Puncak Suryakencana, maksudnya mungkin dari tanah lapang yang ada di puncak Gunung Gede Pangrango itu. Dari gelagatnya, penulis menebak dia bukan seorang pendaki gunung atau sekedar melancong ke sana. Tak mungkin ia pergi ke tempat itu tanpa tujuan, apalagi berjalan seorang diri.
Entah mengapa ada rasa penasaran dalam diri penulis melihat penampilan lelaki yang nampak tenang ini. Sebuah tas ransel ia simpan di sebelah kiri di atas bangku panjang. Jaket coklat yang nampak lusuh teronggok di atas tas itu. Tapi mata dan raut wajahnya memperlihatkan ia bukan seorang pendaki gunung atau pelancong biasa. Tak ada pendaki gunung atau pelancong yang membekali dirinya dengan tasbih, peci lengkap dengan sajadah.
Sesaat kemudian, kami pun terlibat perbincangan tentang suasana sekitar kami berada. Kang Darta memang orang yang ramah pada siapapun, ia memulai pembicaraan dengan menyapa Kang Wira. Lelaki itu mengaku berasal dari Bandung, ia sudah berada di atas Gede Pangrango pada 3 hari setelah Lebaran. Katanya ia mendapatkan bisikan untuk sowan pada leluhurnya di gunung itu.
Setelah kami cukup lama berbincang, penulis pun memperkenalkan diri sebagai penulis website ini. Ini penulis lakukan agar suasana perbincangan lebih terbuka. Sebab penulis merasa ada hal-hal yang disembunyikan Kang Wira dari perbincangan itu. Mungkin ia merasa tabu menceritakan sesuatu yang sulit diterima nalar pada orang-orang yang tak memahaminya. Maka itulah penulis memperkenalkan diri sebagai Penulis website ini agar ia lebih leluasa bercerita.
Ternyata Kang Wira adalah seorang spiritualis, pelancong dan orang yang hobby bermeditasi. la sudah melakoni hidup seperti ini sejak usianya masih sekitar 30 tahunan, tepatnya setelah ia memiliki seorang putra dari istri tercintanya. Anak dan istrinya kerap ia tinggalkan untuk melakukan meditasi atau mencari bisikan gaib di tempa-tempat keramat, termasuk di Puncak Gede Pangrango ini. Saat ditinggalkan, istri dan anaknya mengelola usaha warung dan rumah makannya di Bandung.
Dari Puncak Gede itu, Kang Wira mendapat keluhan dari para karuhun (leluhur-Sunda. Red.) yang mendirikan negeri ini. Menurut cerita Kang Wira, para teluhur yang ngahiyang menjadi gaib itu mengeluhkan kondisi negeri ini yang makin berantakan. Bangsa ini tak lagi bisa dibanggakan sebagai bangsa yang merdeka memiliki harga diri dan berwibawa di mata bangsa-bangsa lainnya.
Keluhan para leluhur itu menilai bangsa ini menjadi sebuah bangsa yang kecil diantara ribuan pulau yang tersebar luas. Bangsa ini seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Bangsa ini seperti buih di lautan yang terombang ambing ombak tak menentu. Tak punya pegangan, tak punya harapan dan tak punya tujuan. Para pemimpin bangsa ini tak lagi punya pengaruh untuk mengarahkan rakyatnya ke jalan yang baik. Itu karena para pemimpin bangsa ini sudah lupajati dirinya. la tak lagi bisa menjadi suri tauladan, ia tak lagi bisa dijadikan cermin oleh rakyatnya untuk bertindak.
Para leluhur Nusantara menangis menyaksikan anak cucunya menderita di tengah gelimang harta. Para leluhur itu seolah menyesali dirinya sendiri, mengapa mereka tak hidup di tahun-tahun sekarang ini. Mengapa mereka mewariskan negeri ini pada orang-orang yang tak mampu mengelolanya. Mengapa para pengelola negeri ini menjadi orang yang serakah dan tak pernah puas dengan harta dan kedudukannya. Sederet penyesalan yang tak mungkin ada jawabannya.
“Saya tak mau dibilang gila, saya tak melihat para leluhur itu dalam wujud wadagnya. Tapi saya merasakan dan mendengarkan keluhan mereka dengan batin ini,” tutur Kang Wira sambil menunjuk dadanya.
Apa yang dikeluhkan Kang Wira dari gaib leluhur negeri ini memang tak salah. Faktanya memang seperti itu. Kita bisa menyaksikan hal itu dari media masa, dari media cetak atau elektronik. Bahkan di televisi hampir setiap hari kita menyaksikan keluhan karena para pemimpin bangsa ini yang korup. Menghambur-hamburkan uang rakyat untuk kesenangan dirinya dan golongannya. Ini tentu saja akan menyengsarakan rakyat, dan ini pula yang dikeluhan dan ditangisi leluhur negeri ini.
“Akibatnya, bangsa ini menjadi bangsa yang miskin, bangsa yang bodoh dan diperbudak bangsa lain,” keluh Kang Wira.
Bangsa ini sudah jauh tersesat dari jalan yang sebenarnya sudah dirintis para leluhur itu. Ketika bangsa lain membangun pondasi moral, pendidikan dan teknolgi, bangsa ini malah dibuai kenikmatan dan melupakan perkembangan.
Akibatanya ketika bangsa lain sudah jauh mencapai tujuannya, bangsa ini baru tersadar akan keterbelakangannya, kemiskinannya dan kebodohannya. Celakanya hingga saat ini pun bangsa ini belum mau beranjak dari kubangan lumpur itu. Sebab sebagian orang dari bangsa ini ada yang senang menikmati kemiskinan dar. saudara-saudaranya.
“Itulah celakanya negeri ini, kita malah senang melihat saudara-saudara kita teraniaya. Banyak oran gyang menutup mata dan telinga manakaia melihat saudarasaudara kita menderita. Sebab diakui atau tidak, dialah orang yang membuat saudarasaudara Kita itu menderita,” keluh Kang Wira sambil menggambarkan sekelompok orang tertentu.
Lebih menyedihkan lagi ketika Kang Wira menceritakan keluhan leluhur, bahwa negeri ini akan terus terpuruk dan tak akan ada solusinya hingga bangsa ini menuai adzab Tuhan. Namun jika bangsa ini mau kembali pada fitrahnya, sebagai manusia yang BerkeTuhan-an, mungkin kita akan bebas dari kesulitan dan keterpurukan. Mungkin Tuhan akan mengurungkan adzabnya.
Banga ini harus berjalan diatas fitrahnya sebagai manusia bermoai. Memperbaiki hubungan manusia dengan manusia yang lainnya sebagai bangsa yang besar. Memperbaiki hubungan manusia dengan Tuhan sebagai makhluk yang diciptakan-Nya Hukum Tuhan (agama), harus dikedepankan dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab hukum dan peraturan yang dibuat oleh manusia akan rentan disalahgunakan oleh manusia itu sendiri.
“Pesan para leluhur itu agar kita kembali pada hukum Tuhan dan ajaran agama masing-masing. Menghargai dan belajar dar alam yang ada di sekitar kita,” pungkas Kan Wira mengingatkan kita semua. Wallahu a’lam bissawab. ©️KyaiPamungkas.

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.
Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)
NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)
NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)
WEBSITE: paranormal-indonesia.com/
(Selain web di atas = PALSU!)
NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)
ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)