Panggonan Wingit: CANDI KETHEK, TEMPAT BUANG SIAL
Udara asrep sangat menusuk sendi-sendi yang mulai maksimal menahan rasa gigil yang kian merasuk. Memandang kebun teh Kemuning, bagaikan Dewa yang sedang berdiri di Tamansari yang dipayungi ribuan awan dan terselimuti kabut tipis…
Lamunan ini hilang ketika deru mobil yang dikemudikan Koh Mbing memecahkan kesunyian Arcapada. Jalan menanjak dengan kemiringan 70 derajat, mendesirkah sukma yang memeluk erat raga, seakan takut terpisahkan.
Sampailah kaki menapak bumi yang cetho welo-welo (jelas sekali), menggiring langkah kaki menuju tepi jurang yang curam, seakan bagai mulut Sang Kala yang siap menelan tubuh siapapun yang tergelincir. Tertuliskan 300 meter dari Candi Cetho, akan sampai di Candi Kethek. Namun jangan kaget, bila jarak itu mungkin sekitar 1 km. Hanya jalan setapak, masih berupa tanah regosol (Ladhu). Setiap kaki yang tersaruk, akan menerbangkan ribuan debu, menyesakkan dada.
Lokasi Candi Kethek masuk wilayah Dusun Cetho, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar. Jenawi, yang berasal dari kata Jahnawi yang artinya Surga, banyak ditemukan candi-candi dan pemandangan alam yang indah, seperti air terjun Ngijo, Air Terjun Jumok sebagai surga yang hilang. Juga Pure-Pure banyak bertebaran di lokasi ini. Nama Kethek diberikan oleh masyarakat setempat karena di lokasi penemuan ini sebelumnya sangat sering digunakan rapat umum bangsa primata ini.
Sebenarnya sudah diperkirakan warga bahwa di tanah yang tadinya dikeramatkan ini seperti ada bangunan suci. Baru pada tahun 2005, anak-anak KKN UGM jurusan arkeologi mulai memastikan bahwa ada bangunan diperkirakan candi.terkubur tanah. Segera bekerja sama dengan Balai Pelestari peninggalan Purbakala Jawa tengah, bekerja sama dengan UGM, lebih lanjut mengadakan penggalian penyelamatan di situs candi, yang kemudian diberi nama Candi Kethek ini.
Kegiatan ini dilakukan untuk membuka timbunan tanah yang menutup struktur bangunan candi, sehingga dapat diketahui batas-batas bangunan. Selain itu, kegiatan penggalian ini juga dimaksudkan untuk menggali data arkeologis berupa latar belakang sejarah, agama, dan bentuk arsiteknya.
Dengan begitu dapat diketahui latar belakang agama, dengan ditemukannnya patung kura-kura di Candi Kethek. Arca Kurakura sering dikaitkan dengan Mitologi dalam Agama Hindu, yaitu cerita Samudramanthana. Cerita ini mengisahkan tentang pengadukan lautan susu untuk mencari Air Amrta atau Air kehidupan. Dimana para Dewa dan raksasa (Kaum Iblis) bekerja sama mengaduk samudra. Karena kesulitan mencari pijakan, maka Dewa Whysnu merubah dirinya menjadi KuraKura. Berdasarkan kisah Samudramanthana ini dapat menunjukkan fungsi Candi Kethek sebagai tempat pe-ruwat-an untuk membebaskan seseorang dari kesalahan dan dosa.
Masa pendirian candi Kethek dapat diketahui dengan membandingkan dengan arca-arca dan bentuk bangunan berupa punden berundak dengan candi-candi di lereng barat Gunung Lawu. Diperkirakan Candi Kethek semasa dengan Candi Cetho, Candi Sukuh dan Candi Planggatan, yang dibangun sekitar abad ke XV sampai dengan XVI Masehi.
Namun juga tak tertutup kemungkinan jika Candi Kethek ini bisa dibangun jauh sebelum abad XV sd XVI. Bila menilik batuan yang tertata sangat sederhana belum terbentuk rapi, dan susunan punden berundak, bisa jadi ini merupakan peninggalan Megaliticum, sebab di Gunung Lawu, sudah melewati waktu dari zaman Pra-sejarah hingga abad ini, kehidupan datang silih berganti. Bahkan di lereng lawu menurut penelitian arkeologi juga ditemukan peninggalan zaman Dong Zhong.
Tentang kura-kura yang ditemukan di Candi Kethek, bisa jadi disusulkan setelah zaman bergulir, mungkin kura-kura itu seusia Candi Cetho. Melihat Candi Kethek, sangat mirip dengan SITUS LEBAK SIBEDUG, yang terletak di Desa Citorek Barat, Kecamatan Cibeber, Kabupaten Lebak – Banten. Situs ini terdiri dari sembilan teras dengan susunan batu berbentuk lonjong seperti Menhir. Sangat mirip kalau tidak boleh dibilang sama ciri-cirinya.
Menurut KRT Puspo Hadiwijoyo, MM.Spi, “Situs Lebak Sibedug sangat dikeramatkan, khususnya bila berkaitan dengan masalah kesuburan dalam bercocok tanam dan pemohonan segala hajad orang yang datang ke sini. Auranya sangat bagus buat pelaku spiritual yang mencari jalan ketenteraman, karena auranya sangat sepun (tua), sama persis dengan aura Candi Kethek ini.”
Diskripsi bangunan, candi Kethek menghadap ke barat dan berbentuk teras berundak (4 teras). Masing-masing teras dihubungkan dengan tangga (undakan). Pada teras pertama terdapat struktur bangunan di sisi timur laut. Di anak tangga paling bawah terdapat kura-kura. Pada teras ke dua dan ke tiga, masing-masing terdapat dua struktur bangunan di sisi utara dan sisi selatan. Pada teras ke empat diperkirakan tempat berdirinya bangunan induk atau utama.
PUNDEN BERUNDAK, dalam lapangan kebudayaan diperkirakan pada masa pemerintahan Ratu SUHITA (1129-1147), itu ditandai oleh berkuasanya kembali anasir-anasir Nusantara. Berbagai tempat pemujaan didirikan diberbagai lereng gunung, dan bangunan itu disusun sebagai Punden berundak-undak (Berpuluh-puluh dilereng Gunung Penanggungan dan Lereng Gunung Lawu). Juga batur-batur untuk persajian, tugutugu batu seperti Menhir, gambar binatangbinatang ajaib yang memiliki arti sebagai lambang “tenaga gaib.”
Pemerintahan Suhita digantikam adik tirinya, Kertawijaya (1447-1451 M). Namun perjalanan sejarah selanjutnya dan pergantian raja-rajanya sesudah tahun 1451 tidak dapat diketahui dengan pasti. Dalam Kitab Pararaton pengganti Kertawijaya adalah Rajasawardhana yang berkeraton di Kahuripan (1451-1453 M). Tiga tahun kemudian tak ada raja di Dinasti Majapahit (1456-1166 M). Lalu muncul Bre Wengker atau Shang Hyang Purwawisesa. Tahun 1466 M, ia digantikan oleh Bre Pandansalas yang aslinya bernama Suraprabhawa dan mempunyai nama resmi Singhawikramawardhana, ia berkeraton di Tumapel selama 2 tahun. Di tahun 1468 ia didesak Kertabhumi, anak bungsu Rajasawardhana, yang kemudian berkuasa di Majapahit.
Lalu Singhawikramawardhana memindahkan pusat kekuasaannya di Daha, dan wafat tahun 1474 M. Ia di gantikan oleh Anaknya Ranawijaya, yang bergelar Bhathara Prabu Girindrawardhana. Tahun 1478 M, raja ini berhasil menundukkan Kertabhumi dan merebut Majapahit. Menurut prasasti dari tahun 1486 M, ia menamakan dirinya Raja Wilwatika Daha janggala Kadiri. Sampai kapan ia memerintah tidak diketahui. Dan hanya dari berita-berita bangsa Portugis, Majapahit masih berdiri sampai tahun 1522 M. Dan beberapa tahun kemudian kekuasaan berpindah ke Demak. Bahkan ada yang berpendapat Bhathara Prabu Girindrawardhana dipukul mundur pasukan Demak. Namun bagi orang Bali dan Hindu di tanah Jawa, Majapahit hingga sekarang masih eksis berdiri dan tidak pernah mati. Hal ini terlihat mulai sekarang, bahkan terasa digalakkan, kegiatan ritual dibekas-bekas petilasan Majapahit, termasuk khususnya di sekitar Gunung Lawu. Hampir tiap hari diadakan ritual pemujaan. Kertabhumi inilah yang sering disebut sebagai Brawijaya V atau Brawijaya Pamungkas. Raja ini memiliki 91 anak yang hidup, diantaranya adalah Raden Patah yang akhirnya meneruskan kekuasaannya ayahnya di Kraton Demak Bintoro dengan panji-panji Islam pertama di Tanah Jawa. Sedang putra lainnya, Raden Segugur atau Raden Gugur, lari ke Ponorogo, minta suaka politik pada saudaranya Bhathara Katong yang sudah masuk Islam. Karena malu untuk bergabung ke Demak, maka ia pergi Gunung Lawu, mendirikan kerajaan seadanya dengan pengikut setianya. Namanya makin tenggelam sehingga kerajaannya diibaratkan Kerajaan Siluman. Dan Raden Segugur inilah yang bergelar Kangieng Sunan Lawu. Kalau Kerajaan Argo Dumilah di Gunung Lawu ini dikatakan kerajaan Siluman, bagaimana mungkin banyak ditemukan candi-candi dilereng sekitar lawu? Juga bekas bangunan-bangunan mirip keraton di puncak lawu? Yang jelas Kangjeng Sunan Lawu masih eksis memerintah kerajaannya dengan sistem pemerintahan dan berdasarkan temuan yang ada, agama yang dianut masih agama lama. Meski beliau dijuluki Sunan Lawu, senyatanya di sekitar lereng Lawu justru banyak ditemukan peninggalan-peninggalan agama Hindu. Entah pemberian nama Sinuhun Sunan Lawu ini apakah benar-benar beliau merasuk agama suci atau hanya strategi mengislamkan Tanah Jawa. Atau bisa juga Brawijaya V (Pamungkas) sebagai Titisan Wisnu Pamungkas karena tanda beralihnya kepercayaan masyarakat Jawa menuju zaman baru dengan memeluk agama suci, sehingga Brawijaya V juga berhak menyandang gelar Sinuhun Susuhunan Lawu.
Menapak teras pertama di Candi Kethek, akan terlihat sebongkah batu yang sebagian besar terpendam. Di mata penulis batu ini terlihat cahaya kuning emas memancar. Kemudian penulis dekati dan duduk bersimpuh. Barulah kontemplasi tersambung. Benar…, di batu ini ada sosok gaib perempuan cantik, berpakaian adat dengan selendang kuning gading. Wanita muda ini bernama Nyai Kentring Manis. Jika ada peziarah yang bisa menyerap energi alamnya, akan tersenyawa aura pengasih yang cukup kuat. Masih di teras dasar, terdapat juga patung kura-kura dengan pola ukir yang sangat primitif. Dijaga sosok tua dengan tatapan mata teduh yang mengaku bernama Eyang Kurma. Fungsi tempat ini untuk mawas diri terhadap masa lalu, awal untuk tradisi ruwatan. Auranya mampu mengikis energi negatif seseorang yang diterima doanya di tempat ini.
Menapak undakan, sekitar aitar ke 2 dan 3, ada sebuah pohon yang dililit kain kotak-kotak. Dimata batin Misteri, ada sosok perkasa, dengan baju yang terbuka, terlihat dada bidangnya penuh dengan bulu. Dia inilah yang menyeleksi tamu-tamu yang mau bersembahyang ditempat ini. Sosok perkasa ini dikenal dengan nama Eyang Simbar.
Pada Teras terakhir atau puncak, telah dibuat semacam ‘Meru’ kecil oleh orang-orang Bali kalau melihat bentuk bangunannya. Atau menurut orang-orang Kabuyutan, bangunan puncak yang ada mahkotanya disebut Sang Arca Domas. Di dalam Meru mungil ini hanya ada batu Umpak, yang dikeramatkan. Banyak sajian rengginang ketan dengan aneka warna, daun kelapa dan sesaji lainnya, ciri khas orang Bali. Aura tempat ini memancar kuning kebiruan, hanya ‘aura’ saja yang terlihat. Memang benar tempat ini, dulunya dipergunakan untuk meditasi para Pendeta Muda, yang tentunya tingkatannya disesuaikan dengan teras yang ada disini. Candi Kethek dipergunakan untuk berlatih para pendeta junior dalam menggembleng kejiwaanya. Jika lulus, baru mereka akan dididik di Candi Cetho setelah menjadi Pendeta Senior.
Menurut mata batin penulis, Raden Segugur, pernah bertapa di atas teras Candi Kethek ini, untuk memberkati area tersebut, agar suci dan termurnikan, menjadi tempat yang terberkati. Ya, wajahnya teduh dan tertunduk pasrah. Seakan menggambarkan kepasrahan jiwanya yang sudah sangat matang, bahwa ia adalah penghubung tongkat estafet dari zaman lama (Hindu) ke zaman baru (Islam) di Tanah Jawa ini. Makanya Raden Tangga pertama menuju Candi Kethek Gunung Segugur juga diberkati dengan nama agung Susuhunan Lawu.
Yang menarik, diteras Candi Kethek, tertulis di papan nama “Kijang Klawu.” Menarik ditelusuri apa Kijang Klawu itu. Menurut cerita para sepuh, lereng lawu khususnya Desa Kemuning ini dulunya dimasa pemerintahan Paku Buwono X, dijadikan perkebunan teh, yang hingga sekarang terkenal nikmatnya dengan nama Teh Kemuning. Raja yang waskita batin ini ingin menyeimbangkan alam lawu, maka dilepaskanlah Harimau Djawa (tutul) dan puluhan kijang peliharaan sang raja yang berbulu Klawu atau Kelabu.
Alam akhirnya bisa seimbang, Kijang Klawu memakan guima (tanaman pengganggu) yang ada di lereng lawu, begitu kijang berkembang pesat, penyeimbangnya adalah sang raja hutan, macan tutul inilah yang akan makan kijang sebagai santapannya. Maka tak mengherankan jika sampai sekarang kadang sering terlihat seekor macam berkelebat disekitar lereng lawu. Atau terlihat beberapa kijang Klawu melintas. Namun otak sudah dijejali mistikisme, kedua binatang inipun disakralkan. Namun bagusnya mereka tak akan diburu orang-orang karena kesakralannya ini.
Dari Candi Kethek, langkah kembali ke jalan setapak yang dilewati tadi, tiga-perempat perjalanan, ada pertigaan, maka belok kiri, menuju jalan setapak yang sudah dicor beton, untuk melihat Pure Saraswati. Pure ini termasuk Pure yang belum lama di didirikan umat Hindu. Letak tepatnya di belakang Candi Cetho, sekitar 100 meter saja.
Disitu terpampang dengan anggun, Dewi Saraswati, yang dikenal sebagai Dewi Kecantikan dan Kesenian ini, juga merupakan sakti Dewa Brahma. Kenapa Dewi Saraswati dipuja secara terpisah dengan Dewa Brahma, seperti halnya Dewi Laksmi atau Sri (Dewi Kebahagiaan) dan Dewi Uma atau Parwati atau Durga (Dewi Kematian).
Hal ini disebabkan perkembangan agama Hindu yang bersifat kerakyatan tidak bisa menghindarkan diri dari anasir-anasir filsafat dan mystic, oleh karena kuatnya kepercayaan akan hukum karma dan Cita-cita akan mokhsha. Dan jalan yang sesingkat-singkatnya dengan cara memuja SAKTI dewa pujaannya.
Kegaiban yang meliputi para dewa, tempat manusia menyandarkan nasib dan memohon karunia, menimbulkan berbagai pemikiran. Meski para dewa dikenakan sifat-sifat manusia, namun mereka sangat berbeda. Dewa kekal, tidak dapat dan tidak akan mati. Maka ‘bertentanganlah’ kalau ‘yang kekal’ itu berbuat, karena perbuatan itu ada mula dan akhirnya. Namun Dewa itu berbuat. Hanya yang melakukan bukan Dewa itu sendiri, tapi tenaga gaib yang meliputinya. Tenaga gaib inilah yang disebut “SAKTI”. Sakti yang berbuat dan bertindak atas nama untuk Dewa. maka seorang Dewa baru lengkap dalam kesatuannya dengan Sakti-nya itu. Maka timbullah pemujaan terhadap SAKTI Dewa. Aliran yang memuja Sakti dinamakan SAKTA, yang dalam waktu singkat mendapat sambutan luar biasa. Kitab suci pegangan mereka di namakan TANTRA atau AGAMA.
Dialiran Tantra ini dibentangkan secara luas berbagai hal pemujaan yang lebihlebih bersifat gaib dan sihir. Gaib memegang peranan utama dalam usaha manusia untuk selekasnya mentiadakan dirinya sendiri dan mempersatukan dirinya dengan Tuhan, sepert! Manunggaling Kawulo Dumateng Gusti. Sering kali dilakukan yang menurut manusia biasa terlarang, justru menjadi upacara yang tersu istilahnya tidak ada yang kotor bagi orang ya bersih. Aliran ini kemudian dikenal dengan nama TANTRAYANA.
Dalam Tantra Yoga, istilah Tantra adalah istilah ajaib, banyak yang menterjemahkan sebagai ‘Tanoti’ sesuatu yang berkembang terus. Namun ada juga yang menterjemahkan sebagai “Trayate’ yang bisa membebaskan. Tantra juga berarti sarang atau jaring, yang kaitannya bukan dengan ‘inter’ tetapi dengan ‘inner’ yaitu jaringan di dalam diri. Di dunia Barat, Tantra dikaitkan dengan urusan Seks, dan itupun salah satu maknanya. Karena memang ada latihan-latihan Tantra yang berkaitan dengan Seks. Ingat, seks adalah dasar spiritual untuk menuju ke tahap yang lebih tinggi.
Di Pure Saraswati ini sebelum masuk area harus melepas alas kaki dulu. Dan jika ada penjaganya akan dihurabi dengan air suci yang diwadahi kendil gerabah kecil. Dari situ sudah teriihat menanti Dewi Saraswati yang anggun dengan pakaian kebesarannya dan menggenggam biola. Di bawahnya ditunggui dua ekor angsa sebagai kendaraan agungnya. Cocok bagi wanita yang ingin terjun di bidang kecantikan dan kesenian. Patung ini dilingkupi aura biru kekuningan.
Dewi Saraswati, tampaknya bagi masyarakat Dukuh Cetho ini memiliki kedudukan khusus. Nyatanya setiap tahun akan diperingati 2 kali, yang jatuh di tanggal 29 januari dan 4 Oktober. Masyarakat sekitar sini memang sangat sadar, alam mereka yang masih alami ini dengan dihadirkannya Dewi Saraswati sebagai Dewi Kecantikan, akan selalu memoles bukit lawu sehingga terlihat semakin cantik dan asri. Dan sebagai Dewi Kesenian, tiupan biolanya akan mendendangkan suara alam makin merdu mendayu. Ya, cara mencintai alam dengan gaya tradisional, agar terhindar dari polutan.
Jalan ke kanan 7 meter-an, akan ada bangunan dari kayu yang disebut MERU, tempat meditasi bagi mereka yang memerlukan ketenangan batin. Dalam Meru ada lingga, yang merupakan manifestasi dari Sang Hyang Siwa, yang merupakan kesatuan Tri Murti. Disitu ada Syiwa, pasti ada Wisnu dan Brama.
Ke kanan 7 meter lagi, ada sebuah sendang yang diberi nama Sendang Pundi Sari. Ia diberi tembok keliling dari batu pualam mirip candi. Dalam bangunan pagar batu itu, ada kolam yang jernih yang diibaratkan sebagai Terta Amrtajwani (Air Kehidupan). tempat ini penuh dengan bunga, dupa, dan didasar kolam yang jernih terlihat ratusan uang Koin dilempar peziarah yang menginginkan ‘sawab’ atau ‘berkah’ tempat ini. Mungkin kenapa Sendang ini diberi nama Pundi Sari. Pundi adalah tempat atau wadah, sedangkan sari memiliki arti inti. Kolam ini dijaga sepasang laki-perempuan yang bernama Eyang Manu Manumayasa.
“Air ini menurut saya, akan memberi sawab bagi ketenteraman hidup. Hidup bisa tenteram jika kebutuhan hidup tercukupi dan hati gembira. Manusia hidup tidak punya wadah (pundi) sebanyak apapun dia bekerja, yang didapat tidak akan bisa ngumpul, seperti Lebu Katiyup Angin (debu tertiup angin). Dengan mandi 7 kali guyuran di tempat ini, mudah-mudahan menjadi manusia baru yang dapat tenteram di dunia, hingga akhirnya sampai nirwana. Akan sangat baik jika yang dilempar di sini uang koin
Benggol lama” Jelas KRT Puspo Hadiwijaya, MM SPI.
Di atas kolam ada dua buah patung yang duduk dengan tenang di situ, dinaungi pohon besar. Patung pertama laki-laki yang duduk dengan memegang janggutnya. Ia ibarat orang kerdil yang minta kepada Raja Daitya Bali yang sangat lalim supaya diberikan tanah tiga langkah. Ketika di izinkan, laki-laki kerdil jelmaan Dewa Wisnu itu triwikrama menjadi raksasa. Tiga langkahnya menguasai, dunia, angkasa, dan sorga. Di sini Wisnu tampak sebagai Dewa Matahari, yang menguasai dunia dengan 3 langkahnya pula waktu terbit, tengah hari, dan waktu terbenam. Sosok gaib yang ada di laki-laki duduk berjanggut itu bernama Eyang Wamana Digdaya.
Sampingnya ada patung laki-laki memegang ikan, yang seakan-akan mau dimasukkan ke kolam. Sebagai ikan, Wisnu menolong Manu, yaitu manusia pertama, untuk menghindarkan diri dari air bah yang akan menelan dunia. Sosok gaib yang mendiami patung itu berupa bangsawan, yang mengaku bernama Eyang Matsyopati.
Dari Sendang Pundi Sari, langkahku mulai lelah, kuhampiri penjaga warung, untuk menenggak air putih. Di tempat ini ternyata juga menjual aneka macam kayu-kayu bertuah yang asli tumbuh disini seperti kayu, Lewung, Prana Kuning, Tengsek, Mentowo, Sulastri, Nagasari, dan Telatsih. Konon, kayu yang tumbuh di Gunung Lawu jauh berlipat kadar powernya karena telah direstui oleh Sunan Lawu.
Entahlah keyakinan itu benar atau tidak…, yang jelas Sang bagaskara mulai ngantuk, matanya redup dibalik punggung gunung. Dewa Suryapun mulai berkemas, siap berganti ‘sip malam’ dengan Sang Candrasha yang menyalakan rembulan. Sore itu debu dan panas, tampaknya mulai lelah beterbangan. sepertinya sebentar lagi hujan mulai akan membasahi pertiwi. Maka senja ini roda-roda mobil menggilas tanah kering, turun untuk pulang ke rumah, tempat yang damai untuk merebahkan ragaku yang kian menua dan sejengkal nafas yang masih punya asa. Wallahu a’lam bisaawab. ©️KyaiPamungkas.

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.
Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)
NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)
NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)
WEBSITE: paranormal-indonesia.com/
(Selain web di atas = PALSU!)
NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)
ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)