Kisah Kyai Pamungkas: PETAKA RUMAH WARISAN
SEBUAH rumah sederhana separuh tembok dengan bagian atas ditutup anyaman bambu itu tampak sudah lapuk dimakan usia. Betapa tidak, selain sudah berumur 50 tahun lebih, sudah lama pula rumah itu seolah sengaja dikosongkan. Tak ada seorang pun yang mau menempatinya selain angker, rumah itu bak disungkupi oleh misteri yang teramat pekat.
Boleh dikata, siapa pun yang berani menghuni rumah yang ada di bilangan Bandung Selatan itu bakal terkena tulah yang teramat menyakitkan. Selain sakit berkepanjangan yang tak mampu disembuhkan oleh dokter, maka, tubuh si sakit pun tinggal tulang berbalut kulit dan akhirnya meregang nyawa dengan mengenaskan.
Menurut tutur yang berkembang, sebelumnya, rumah itu dihuni sepasang Suami isteri yang merupakan pewaris dari saudara kakeknya yang telah wafat dan tak meninggalkan seorang keturunan pun. Pasangan ini hidup dengan bahagia dan dikaruniai 10 orang anak dan 1 anak angkat dan setelah keduanya mangkat, maka, rumah itu diwariskan kepada anaknya yang ketujuh. Sementara, sang saudara angkat membangun gubuk di sebelah rumah itu.
Dan sejak tinggal di rumah itu, ternyata, hidup dan kehidupannya meningkat dengan pesat. Tak seperti hari-hari sebelumnya di mana untuk makan harus berutang dahulu di warung, kini, seolah tak ada hari tanpa bekerja. Bahkan, dari hasil menyisihkan sebagian pendapatannya, dia mulai mampu merenovasi bagian dalam rumah yang kini ditempatinya.
Waktu terus berlalu. Pada suatu hari, tanpa sebab yang jelas, isterinya mendadak menderita sakit aneh. Bila rasa sakit tengah menyerang, maka, wanita itu hanya bisa mengerang-erang kesakitan. Ketika ditanya apa yang dirasakan, jawabannya pun selalu saja sama. “Kang… tubuhku bagai ditekan oleh sesuatu yang amat berat. Sakit Kang… aku benar-benar tak kuat!”
Herannya, penyakit aneh yang selalu menyerang pada waktu-waktu tertentu itu hanya terasakan dalam sesaat. Biasanya 10 menit kemudian hilang dan keadaan kembali normal seolah tak penah terjadi apa-apa. Penderitaan sang isteri akan jelas bila penyakti aneh itu kembali kambuh. Pada saat itu, wanita itu hanya bisa meronta dan menjerit meminta pertolongan.
“Tolong Kang… tolong Kang badanku benar-benar terasa sakit dan aku pun mulai susah bernapas,” katanya dengan napas yang tersenggal-senggal.
Sang suami dan semua yang ada di ruangan itu hanya bisa saling tatap, tanpa mampu memberikan pertolongan apapun. Walau telah beberapa kali dibawa ke dokter, dirawat di rumah sakit, bahkan mendapatkan pertolongan khusus dari sesepuh yang tinggal di desa mereka, tetapi, penyakit sang isteri tak jua kunjung sembuh bahkan kian lama tampak kian parah.
Ketika dibawa ke dokter untuk terakhir kalinya, dengan tegas sang dokter yang agaknya mafhum dengan sakit yang diderita wanita itu berkata, “Kang… coba cari orang pintar yang berilmu tinggi. Ini bukan penyakit medis yang bisa ditangani oleh dokter.”
Sang suami hanya mengangguk lesu. Akhirnya diputuskanlah untuk meminta pertolongan dari salah seorang pintar yang mukim di desanya. Dan setelah melalui ritual yang cukup panjang, orang pintar itu lalu menyerahkan air bermanter4 dan memberikan penjelasan apa yang harus dilakukan di rumah nanti. Setelah mengerjakan apa yang dipesankan, penyakit aneh itu seolah hilang.
Dan apa yang terjadi? Beberapa hari kemudian, tenyata, penyakit aneh itu kembali menyerang wanita yang tubuhnya tinggal tulang berbalut kulit itu. Anehnya, tiap kambuh, selepas mengerang akibat kesakitan yang teramat sangat, tubuh wanita itu langsung meliuk-liuk bak ular yang sedang berjalan dan dari mulutnya keluar desisan yang tak kunjung henti!
Perlahan tetapi pasti, berbagai barang yang semula menghiasi rumahnya mulai habis terjual untuk biaya berobat dan makan sehari-hari. Dengan perasaan masygul, karena ketiadaan biaya, akhirnya sang suami memutuskan untuk tidak membawa isterinya kemanapun. Hingga pada akhirnya, sang isteri pun menghembuskan napasnya yang terakhir dalam keadaan yang teramat mengenaskan.
Yang terus mengganggu pikirannya adalah ucapan orang pintar yang pernah menolong isterinya, “Isterimu terkena teluh dari orang dekat yang menginginkan tanah dan rumahmu!”
“Bagaimana mungkin. Bukankah yang tinggal di dekatku adalah kakakku sendiri?” Demikian kata hati kecilnya yang tak mau percaya dengan ucapan orang pintar yang pernah menolongnya itu.
Hari berganti minggu dan minggu pun berganti bulan. Tak terasa, dia sudah setahun dia menjadi duda. Karena desakan keluarga dan juga para sahabatnya, akhirnya dia memutuskan untuk menyunting seorang janda kembang yang mukim di dekat tempatnya bekerja. Usai pernikahan, sepasang pengantin baru ini kembali menempati rumah itu.
Rumah itu memang membawa berkah tersendiri bagi yang menghuninya. Buktinya, akibat tawaran pekerjaan yang tak pernah berhenti, dalam waktu singkat, kesejahterannya pun kembali membaik bahkan lebih meningkat ketimbang dulu.
Keanehan pun kembali terjadi. Di tengahtengah menikmati puncak kesuksesan, kembali sang isteri terserang oleh suatu penyakit aneh. Berbeda dengan yang dulu, kini, sang isteri merasakan tubuhnya bagaikan direndam oleh lautan es yang teramat dingin. Tak pelak, setiap kumat, maka, tubuhnya selalu menggigil. Walau sudah dibalut dengan selimut setebal apapun, tetapi, tubuh itu tetap saja menggigil!
Wajahnya tampak pucat dengan bibir membiru. Takut pengalaman yang dulu terulang, maka, sang suami pun dengan cepat menghubungi orang pintar yang pernah menolongnya. Dan jawaban yang diterimanya kali ini benar-benar amat mengejutkan hatinya, “Kalau ingin selamat dan kejadian seperti dulu tidak terulang, maka, segera tinggalkan rumah itu!”
Tanpa berpikir panjang, dia segera mengikuti petunjuk si orang pintar dengan menjual rumah warisan itu kepada adik perempuannya. Setelah segala sesuatunya beres, dia pun pindah ke kampung halaman isterinya, dan hidup dengan tenteram dan damai di sana.
Entah sudah berapa kali rumah petaka itu berpindah tangan. Yang pasti, walau disaput dengan petaka, tetapi, rumah itu selalu membawa berkah yang teramat sangat kepada tiap penghuninya. Hal inipun amat dirasakan oleh sang penghuni baru. Keluarga Suganda. Buktinya, walau hanya berdagang kecil-kecilan di rumahnya, tetapi, penghasilannya ternyata mampu menghidupi seluruh keluarganya. Bahkan, mereka bisa menabung. Perlahan tetaj pasti, rumah yang semula hanya berisi Sugandi Icih isterinya dengan tiga anak perempuan, Ami berusia 12 tahun dan Yana dan Yani yang kembar dan sudah berusia 6 tahun itu kini sudah bertambah dengan adanya sofa, dan tv.
Tanpa terasa, dua tahun sudah keluarga Suganda menempati rumah itu. Kemajuan dan kesejahteraannya pun mulai nampak. Selain langganan yang kian bertambah, ternyata, Suganda juga mendapatkan kepercayaan yang besar dari juragan Marjuki, salah seorang yang terpandang di desa itu untuk merawat sawah dan kebunnya.
Berkat ketekunannya dalam mengurus sawah dan kebun, pada suatu ketika, Suganda pun mendapat hadiah berupa motor walau bekas tetapi keadaannya masih amat mulus. Maklum, kendaraan itu hanya dipakai oleh pemiliknya sewaktu-waktu saja.
“Ganda, pakai saja motor ini. Lumayan untuk belanja ke pasar, dan bisa mengisemat ongkos. Tapi ingat, jangan sekali-kali diojekkan, demikian pesan juragan Marjuki kepada dirinya.
Awalnya dia menolak. Maklum, juragan Marjuki memiliki dua orang anak lelaki. Suganda merasa takut jika anak-anak majikannya tak rela dan bisa menimbulkan persoalan dikelak kemudian hari. Tetapi, setelah mendapat keterangan langsung bahwa anak-anak sang majikan mendukungnya, maka, barulah Suganda mau menerima pemberian itu.
Ternyata, kemajuan yang berhasil diraih dengan susah payah itu membuahkan hasil yang sebaliknya. Penyakit aneh kembali mendera Icih, sang isteri tercinta!
Tanpa sebab yang jelas, kini, Idh yang semula sehat mendadak acap teserang penyakit kepala yang teramat sangat. Mulanya penyakit itu tak dirasakan, dan dia tetap berdagang seperti biasa. Tapi, lama kelamaan, penyakit itu nampaknya bertambah parah. Belakangan, kih bahkan acap berbicara sendiri di sembarang tempat. Jika tak ada yang bertanya, maka, tak ada seorang pun yang tahu jika sebenarnya Icih terserang oleh penyakit aneh. Biasanya, penyakit aneh itu baru tampak jika ada yang berbelanja ataupun bertanya kepadanya. Saat itu, Icih akan langsung menatap tajam kepada si penanya tanpa menghiraukan lagi barangbarang dagangannya. Bahkan dari mulutnya langsung keluar kata-kata yang mengancam Girinya sendiri, “Awas, kubunuh kau Icih. Akan kuhancurkan keluargamu selama engkau masih tinggal dirumah itu!” ”
Seperti biasa, tak ada seorang pun yang mampu menolong wanita malang itu. Dan ketika tersadar dengan sendirinya, barulah dia merasa heran, kenapa dirinya dikerumuni oleh banyak orang. Begitulah yang terjadi dari waktu ke waktu.
Pada suatu malam Jum’at Kliwon, Idh yang sejak siang tampak segar bugar, mendadak merintih, mengerang, sambil meregang tak karuan. Melihat keadaan itu, Suganda, Ami, Yana dan Yani tampak kebingungan. Di tengah-tengah keadaan yang serba kalut itu, mendadak Suganda teringat dengan amalan-amalan doa yang didapat dari ayahnya. Ki Warta. Walau beberapa kali gagal, akhirnya, dia berhasil melafadzkan amalan itu dengan baik.
Dan apa yang terjadi? Dengan serta merta Icih langsung berteriak, Tolong… tolong hentikan bacaan itu. Badanku bagai terbakar”
“Baik… aku akan menghentikan jika engkau mau keluar dari tubuh isteriku yang tak berdosa!” Jawab Suganda dengan tegas.
“Ha… ha… sekarang aku akan pergi. Tapi ingat, besok aku akan datang lagi!” Jawab suara yang ke luar dari mulut Icih.
“Kenapa harus begitu?” Tanya Suganda dengan penasaran.
“Aku hanya suruhan!”
“Siapa yang menyuruhmu!”
“Tidak akan kuberitahu. Apalagi kamu adalah musuh majikanku!”
“Baik kalau begitu, sekarang terimalah amalan ini,” ujar Suganda dengan penuh wibawa sambil terus melafadzkan amalan-amalan pengusir setan warisan ayahnya.
Seketika, terdengar lolongan yang keluar dari mulut Icih. Dan setelah itu, tubuh Icih pun melemah dan dia membuka matanya dengan perlahan. “Ada apa Kang?” Tanyanya dengan nada penuh keheranan sambil sesekali memijit kepalanya yang terasa sakit.
Suganda dan ketiga anaknya tidak menjawab. Mereka sibuk mengusap air mata yang membasahi pipinya. Karena serangan itu datang tiap hari, akhirnya, Suganda pun memujuskan untuk menemui Kang Udin, salah seorang sahabatnya yang dikenal memiliki kemampuan gaib dan biasa menolong orang.
Pagi-pagi sekali, dengan berboncengan keduanya menuju ke rumah Kang Udin yang terletak tak jauh dari desanya. Setibanya di depan rumah Kang Udin, mendadak tubuh Icih menegang dan matanya langsung memerah.
Dan tanpa sebab yang jelas, Icih segera menghambur ke arah Kang Udin yang sedang duduk di ruang tamu rumahnya. “Ha… ha… ayo lawan aku. Jangan sekali-kali engkau turut campur dalam urusan ini!”
Pergumulan di antara keduanya langsung saja terjadi. Suganda yang baru saja mematikan mesin motornya langsung terkesiap. Dia benar-benar tak sadar jika Icih bakal bertindak seperti itu. Tanpa menghiraukan motornya yang terjatuh, Suganda langsung menarik tubuh Icih dan memegangi kedua tangannya. Kang Udin yang tanggap langsung saja membacakan do’a-do’a andalannya untuk mengusir makhluk gaib yang merasuk ke tubuh Icih.
Tak lama kemudian, badan Icih pun terkulai tak berdaya. Dan setelah itu, akhirnya, Suganda pulang ke rumahnya sambil membawa sebotol air putih berisi do’a serta kemenyan untuk dibakar di rumahnya.
Seminggu setelah itu, Icih benar-benar dalam keadaan sehat. Dan memasuki hari ke delapan, kini, seiisi rumah terserang penyakit kepala yang teramat menyakitkan. Karena berulang kali datang untuk menemui Kang Udin dengan keluhan yang sama, akhirnya, Kang Udin pun menyerah. Dengan terbata-bata dia pun berkata: “Ganda, carilah orang pintar yang benar-benar mumpuni. Aku tak sanggup.”
Berulangkali Suganda menemui orang pintar, tatapi pada akhirnya mereka pun menyerah. Di tengah-tengah kegalauan yang melanda pikirannya, Suganda mendapatkan kabar bahwa di dekat rumah mertuanya tinggal suami isteri yang walau pun masih muda tetapi memiliki ilmu kebatinan yang tinggi.
Tanpa membuang waktu, Suganda pun menuju ke rumah orang pintar itu. Setelah menceritakan segala sesuatunya, Kang Badra, demikian sebutan orang pintar itu berangkat menuju ke sumah Suganda. Jauh sebelum sampai di rumah, Kang Badra minta diturunkan. “Cukup sampai di sini, saya akan melihat keadaan rumahmu dari jauh saja,” demikian katanya dengan lembut.
Setelah terdiam sesaat, dari mulunya keluar kata-kata, “Ternyata rumahmu dihuni oleh sekitar enam makhluk tak kasat mata. Agaknya, mereka adalah suruhan dari orang yang tak senang dengan keberhasilanmu.”
“Banyak berdo’a dan bawalah isterimu ke rumahku sekarang juga,” imbuhnya sambil berlalu.
Tanpa banyak bertanya, Suganda langsung membawa Icih ke rumah Kang Badra. Dan setibanya di sana, dengan dibantu oleh isterinya, Kang Badra pun mulai melantunkan ayat-ayat suci. Sementara itu, telapak tangan isterinya mulai di arahkan ke tubuh Icih. Tak berapa lama kemudian, selain badannya yang mengeliat-geliat tak karuan dari mulut Icih pun mulai terdengar suara erangan yang kian lama kian keras dan bahkan jeritan yang melengking memekakkan telinga. “Panas… ampun… ampun… jangan bakar aku!”
“Siapa yang menyuruhmu!” Bentak Kang Badra.
“Tetangga sebelah… dia yang menyuruhku!”
“Ayo kembali kepada yang menyuruhmu!”
“Ya… ya… aku akan kembali kepadanya.”
Kini, tubuh Icih pun tampak lemas. Sejak itu, tepatnya hampir sebulan, Icih kembali dalam keadaan sehat tak kurang suatu apa.
Ketenangan keluarga itu ternyata hanya sesaat. Pada malam Jum’at Legi, di saat keluarga itu tengah asyik menonton tv, mendadak kepala Suganda bagai dihantam oleh godam besi. “Akh…, hanya itu yang keluar dari mulutnya, sementara kedua tangannya sibuk memegangi kepalanya yang dirasa akan pecah.
Icih dan ketiga buah hatinya hanya bisa menangis pilu. Suganda yang enggan memperlihatkan penderitaan di depan keluarganya, langsung berdiri untuk mengambil Bodrex yang ada di warungnya. Belum lagi sempat melangkah, tiba-tiba, penganan yang ada di dalam stoples, obat-obatan serta rokok yang tersimpan di lemari kaca warungnya berserak bagai tersapu oleh tangan yang tak kelihatan.
Semua yang ada hanya terpaku. Mereka tak tahu harus berbuat apa. Menjelang pukul 21.00, Yani yang mendadak bangun karena ingin buang air kecil tiba-tiba menjerit histeris. Matanya tertuju pada pintu kamar mandi, sementara itu, dengan tangan menunjuk dari mulutnya ke luar kata-kata, “Di kamar mandi ada orang yang mengerikan. Rambutnya panjang dan giginya panjang berdarah…!”
Malam itu, keluarga Siganda nyaris tak ada yang tidur. Mereka diteror oleh makhluk gaib yang menginginkan nyawanya. Paginya, tatkala bangun tidur, Yana yang kala itu sedang duduk dengan ibunya langsung menunjuk ke jalan yang mulai ramai, “Mak… Wak Iyam sedang berjalan sama orang yang semalam ada di kamar mandi kita,” demikian katanya setengah berbisik.
“Hush… tak baik bilang begitu,” sergah Icih.
“Betul Mak, Yana enggak bohong,” sambung Yana menyakinkan ibunya.
Icih hanya terdiam. Hatinya benar-benar galau. “Mungkinkah Wak Iyam yang tinggal tak jauh dari rumahnya itu sampai hati berbuat seperti ini kepada diri dan keluarganya?” Gumamnya lirih.
Siang itu berjalan tanpa kejadian yang berarti. Menjelang rembang petang, kembali peristiwa yang mengejutkan pun terjadi. Ayam goreng yang sengaja dibeli Suganda untuk lauk mendadak basi. Bahkan, tanpa sebab yang jelas, piring berisi nasi yang dibawanya langsung pecah menjadi dua.
Dengan rasa malu karena terlalu sering meminta tolong, akhirnya, Suganda pun memutuskan untuk kembali menemui Kang Badra. Setelah sejenak berdiam diri, akhirnya Kang Badra dan isterinya pun berkata, “Baik… kita sudah memberi peluang dan peringatan kepada mereka. Karena mereka terus mengganggu, maka, kita akan bertindak tegas!”
Setelah mempersiapkan segala sesuatunya, ritual penangkapan pun dilakukan. Ternyata, penangkapan terhadap makhluk halus yang selama ini mengganggu keluarga Suganda tak semudah membalik telapak tangan. Setelah melalui perjuangan yang teramat panjang dan melelahkan, akhirnya, keenam makhluk halus itu berhasil ditangkap dan dimasukkan ke dalam botol, lalu dibuang ke sungai yang mengalir lumayan jauh dari kediaman Suganda.
Dua hari kemudian, Wak Iyam pun datang menjumpai Suganda, “Saya meminta maaf. karena selama ini telah sering menyakitimu. Maklum, saya gelap mata. Bayangkan, selama ini saya yang membantu tetapi akhirnya tak mendapat warisan barang secuilpun,” ucapnya dengan lirih.
Suganda hanya mengangguk. “Saya sudah memaafkan uwak. Mudah-mudahan, hanya saya yang mengalami kejadian ini,” sahut Suganda sambil memeluk tubuh Wak Iyam.
Sejak itu, Suganda pun hidup dengan tenang bersama dengan isteri dan anaknya, sementara, Wak Iyam pindah entah kemana. Menurut kabar burung, Wak Iyam mulai menekuni palajaran agama dari salah seorang ajengan besar di kota Garut. Ya… semoga Allah mengampuni segala dosa dosanya. Aamiin. Wallahu a’lam bissawab. ©️KyaiPamungkas.

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.
Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)
NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)
NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)
WEBSITE: paranormal-indonesia.com/
(Selain web di atas = PALSU!)
NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)
ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)