Kisah Kyai Pamungkas

Panggonan Wingit: DEWATA CENGKAR, PENGUASA SELAT BALI

Panggonan Wingit: DEWATA CENGKAR, PENGUASA SELAT BALI

DI SELAT YANG MENGHUBUNGKAN PULAU JAWA BAGIAN TIMUR DENGAN PULAU BALI BAGIAN BARAT INI DISEBUT-SEBUT OLEH SEBAGIAN PENDUDUK BANYUWANGI DAN JIMBARAN, ADA PENGUASA GAIBNYA. KONON, SOSOK GAIB TERSEBUT BERWUJUD MAKHLUK RAKSASA BERNAMA DEWATA CENGKAR. KARENA ITU, JIKA TERJADI SESUATU DI SELAT INI, MAKA SELAKU DIKAIT-KAITKAN DENGAN DEWATA CENGKAR. BAGAIMANAKAH SESUNGGUHNYA…?

 

Penghubung antara pulau Jawa dengan Bali, sudah tak asing lagi bagi masyarakat yang sering menggunakan jasa transportasi laut di selat ini. Khususnya bagi masyarakat pulau Jawa yang sering bepergian ke Bali via darat, atau sebaliknya. Karena memang hanya selat Bali, satu-satnya tempat penyeberangan yang menghubungkan kedua pulau ini.

 

Kendati demikian, jarang ada yang tahu, jika selat Bali mempunyai legenda yang berhubungan aengan kisah Ajisaka dan pewata Cengkar. Sosok Dewata Cengkar inilah yang disebut-sebut oleh sebagian masyarakat Ketapang dan Banyuwangi (Jawa Timur), serta masyarakat Gilimanuk dan Jimbaran (Bali), sebagai penguasa gaib selat tersebut.

 

Karena mitos yang begitu kuat melekat dihati sebagian masyarakat nelayan yang tinggal di Ketapang maupun Gilimanuk, jika» ada kejadian yang meminta korban jiwa di selat Bali serta sekitarnya, pasti akan dihubunghubungkan dengan keberadaan Dewata Cengkar. Bahkan mitos ini, juga dipercaya oleh masyarakat yang bukan dari kalangan nelayan, namun tinggal di sekitar pantai selat Bali atau sekitarnya.

 

Seperti yang dituturkan oleh salah seorang penduduk Ketapang bernama Pamuji, 45 tahun, yang sehari-hari berjualan kopi di pelabuhan Ketapang ini, mitos tentang penguasa gaib Selat Bali yang bernama Dewata Cengkar, sudah dipercaya oh sebagian masyarakat setempat sejak jaman ulu atau secara turun-temurun.

 

Karena itu, setiap tahunnya, baik di pelabuhan Ketapang serta di pantai-pantai sekitar selat Bali, masyarakat pasti menggelar persembahan sesaji yang dibuang ke laut. Sedangkan Pelaksanaannya, dilakukan pada saat pesta panen ikan.

 

Bagaimana jika kegiatan ritual persembahan sesaji ini diabaikan? Menurutnya lagi, hampir dapat dipastikan akan terjadi sesuatu di selat itu menimpa nelayan, atau kapal veri penyeberangan.

 

“Kalau pelaksanaannya, biasa digelar pada bulan Suro, Namun ada juga di saat musim panen ikan di bulan Februari. Dan kalau sampai tidak dilaksanakan, hampir dapat dipastikan akan terjadi sesuatu pada nelayan atau kapal veri penyeberangan,” ulas pria yang enggan di foto ini.

 

Apa yang disampaikan oleh Pamuji yang asli warga Ketapang ini, juga dibenarkan salah seorang warga pelabuhan Gilimanuk yakni Gde Arsana, 50 tahun. Sebagaimana yang dituturkan oleh pria ini kepada penulis, sebenarnya mitos sosok Dewata Cengkar, jauh lebih akrab di telinga orang Bali daripada orang Jawa. Hal ini bisa dilihat dari namanya yang berbau nama Bali, yakni Dewata.

 

Sama seperti halnya sebagian masyarakat di sekitar pelabuhan Kepatapang, sebagian masyarakat Bali yang tinggal di sekitar pelabuhan Gilimanuk, juga percaya dengan adanya mitos Dewata Cengkar. Bahkan, karena kuatnya mitos itu pada sebagian besar masyarakat di Gilimanuk, sesaji yang diberikan kepada Dewata Cengkar, tidak hanya sekali dalam satu tahun sepeti yang dilakukan oleh sebagian masyarakat di sekitar pelabuhan Ketapang.

 

“Kalau bagi masyarakat Bali yang tinggal di sekitar selat Bali pelabuhan Gilimanuk sini, sesaji dipersembahkan setiap hari. Karena bagi masyarakat Bali, tiada ari tanpa sesaji,” ungkap Gde Arsana yang berprofesi sebagai pedagang souvenir di pelabuhan Gilimanuk.

 

Lalu siapa sebenarnya sosok Dewata Cengkar yang disebut-sebut sebagai penguasa gaib selat Bali itu?

 

Menurut Pamuji, untuk mengungkap siapa sebenarnya Dewata Cengkar, semua itu berkaitan erat dengan legenda Ajisaka.

 

Disebutkan, dahulu kala, ada seorang pangeran dari India yang bernama Ajisaka datang ke pulau Jawa. Dia datang ke tanah Jawa karena ingin mengetahui kondisi pulau ini terutama, kesuburan tanahnya.

 

Sebagai seorang pangeran, sudah tentu kedatangannya ditemani oleh dua abdinya yang setia, Dora dan Sembada. Ketika tiba di tanah Jawa Dwipa, saat itu, yang berkuasa adalah seorang raja dari bangsa raksasa yang bernama Dewata Cengkar. Sosok raksasa inilah yang kala itu memerintah kerajaan Baka. Kira-kira dulu kerajaan ini berada di sekitar Magelang, Jawa Tengah. Namun karena hanya legenda tak ada situs yang ditemukan oleh para ahli purbakala yang berkaitan dengan kerajaan Baka.

 

Walau di selatan Candi Prambanan, Klaten, Jawa Tengah, ada sebuah candi yang bernama Candi Baka, namun candi ini dibangun pada abad VIII oleh Wangsa Syailendra di mana yang saat itu memerintah kerajaan Mataram Hindu, adalah raja Samaratungga. Beliau memerintah Mataram Hindu tahun 812-833.

 

Kembali ke cerita Ajisaka, saat dirinya datang di Tanah Jawa, walau keadaannya benar-benar Gemah Ripah Loh Jinawi (Subur Makmur), namun hatinya merasa iba kepada rakyat Baka. Betapa tidak! Sebagai seorang raja yang berwujud raksasa, maka, tiap hari Prabu Dewata Cengkar minta hidangan berupa daging manusia yang tak lain adalah rakyatnya sendiri.

 

Atas keadaan inilah, kemudian Ajisaka berusaha mendekati kerajaan Baka dengan maksud agar menjadi santapan Prabu Dewata Cengkar. Caranya, dia menyamar menjadi anak angkat salah seorang penduduk.

 

Namun, sebelum dirinya mendekati kota raja kerajaan Baka, Ajisaka memerintahkan kepada salah seorang abdiya, yakni Dora, agar tetap tinggal di hutan menjaga pusaka yang dibawanya dari India. Karena jika Ajisaka menenteng pusaka itu, dia khawatir kedoknya sebagai pangeran dari India akan terbongkar. Sedangkan abdi setia yang satunya, Sembada, diajaknya turut serta.

 

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, serta bulan berganti tahun. Sudah ratusan atau bahkan ribuan rakyat Baka yang pralaya disantap oleh rajanya sendiri. Hingga pada suatu hari, orang tua angkat Ajisaka yang menjadi giliran untuk dihidangkan kepada Prabu Dewata Cengkar.

 

Karena itu, begitu prajurit Dewata Cengkar datang untuk menjemput, Ajisaka mempersilahkan dirinya untuk dibawa sebagai menu hidangan Dewata Cengkar. Begitu tiba di istana, alangkah gembiranya Dewata Cengkar begitu melihat calon santapannya yang masih muda.

 

Raja langsung saja memerintah kepada algojonya agar segera menyembelih Ajisaka. Sebelum dibawa oleh algojo, Ajisaka mempunyai satu permintaan kepada Dewata Cengkar, yakni, dirinya bersedia disantap oleh Dewata Cengkar asal raja Baka ini mampu menarik ikat kepalanya sampai habis.

 

Karena syarat yang diajukan oleh Ajisaka dinilai amat ringan oleh Dewata Cengkar, saat itu juga raja dari bangsa raksasa ini langsung menarik ikat kepala yang dikenakan oleh Ajisaka. Saat ditarik, ternyata ikat kepala yang dikenakan oleh pangeran dari India ini tidak juga terlepas atau semakin panjang. Bahkan, walau telah ditarik sampai halaman pendopo keraton, tetapi, ikat kepala itu tetap juga belum terlepas dari kepala Ajisaka.

 

Karena itu, sesuai dengan permintaan Ajisaka sebelumnya, Dewata Cengkar terus saja menarik ikat kepala calon mangsanya. Tapi tetap saja belum berakhir. Bahkan hingga radius puluhan kilometer, bahkan ratusan, Dewata Cengkar belum juga mampu mengakhiri pekerjaannya.

 

Hingga pada akhirnya, Dewata Cengkar sampai tiba ditepi pantai daerah Banyuwangi (sekarang pelabuhan Ketapang). Begitu mengetahui jika Dewata Cengkar telah sampai di tepi pantai, Ajisaka langsung mengibaskan ikat kepalanya yang salah satu ujungnya tengah dipegang oleh Dewata Cengkar.

 

Karena kibasan yang dilakukan oleh Ajisaka menggunakan kesaktian, saat itu raja dari bangsa raksasa ini terlempar ke tengah laut (sekarang selat Bali). Lantaran tidak bisa berenang, Dewata Cengkar pun langsung mati.

 

Konon, sejak saat itu, Dewata Cengkar menjadi penguasa gaib di selat Bali yang sekaligus telah menjadi makamnya.

 

“Kalau menurut tutur dari mulut ke mulut secara turun-temurun, ceritanya seperti itu. Tapi itu legenda. Percaya silahkan, tidak percaya ya silahkan juga. Tapi yang jelas, sebagian masyarakat sini, khususnya orang tua, percaya dengan legenda ini,” terang Pamuji.

 

Sejak kematian Dewata Cengkar ditangan Ajisaka, kehidupan rakyat kerajaan Baka langsung membaik. Rakyat menjadi hidup makmur. Hingga pada suatu hari, rakyat meminta agar Ajisaka menjadi raja di kerajaan Baka.

 

Karena permintaan rakyat Baka, Ajisaka tak dapat menolak. Namun sebelum naik tahta, dia meminta kepada abdi setianya yang ikut, Sembada, agar menemui Dora, salah satu abdi yang lainnya, untuk meminta pusaka titipannya.

 

Maka itu, berangkatlah Sembada ke tengah hutan di mana sahabatnya Dora bersembunyi untuk menjaga pusaka tuannya. Begitu bertemu dengan Dora, Sembada langsung meminta pusaka milik Ajisaka yang dititipkan ke rekannya itu.

 

Karena sebelum pergi meninggalkan Dora, Ajisaka berpesan agar siapa pun tak boleh mengambil pusaka miliknya kecuali dirinya sendiri, maka, ketika pusaka itu diminta Sembada, Dora pun mempertahankannya. Alasannya cukup kuat. Sesuai pesan Ajisaka.

 

Karena sama-sama berpegang pada pendirian masing-masing dani semua merasa benar sesuai dengan pesan tuannya, akhirnya keduanya berkelahi. Dan dalam perkelahian sengit itu, baik Dora maupun Sembada sama-sama tewas.

 

Sementara itu, Ajisaka di kerajaan Baka, menanti dengan cemas karena Sembada yang diutus untuk mengambil pusaka yang dititipkan kepada Dora, belum juga kembali. Bahkan hingga satu bulan lamanya, salah satu abdinya ini belum menampakkan batang hidungnya. Karena itu, Ajisaka pun langsung menyusul ke hutan di mana Dora berada.

 

Dan alangkah terkejutnya Ajisaka setelah mengetahui bahwa kedua abdi setianya ini telah tewas. Begitu mengetahui hal tersebut, Ajisaka langsung terinspirasi untuk menciptakan huruf Jawa yang diambil dari kejadian yang menimpa kedua abdinya, yakni: HA-NA-CA-RA-KA, maksudnya “ada abdi atau utusan, DA-TA-SAWA-LA, maksudnya “sama-sama setia kepada tuannya” PA-DHA-JA-YA-NYA, artinya “samasama sakti” Serta MA-GA-BA-THA-NGA, yang artinya “semuanya tewas.”

 

Setelah itu, Ajisaka langsung mengambil pusakanya yang tergeletak di antara kedua mayat abdinya. Namun tak jelas, apakah seterusnya Ajisaka kembali ke kerajaan Baka dan menjadi raja di sana, atau kembali melanglang buana. Atau bahkan kembali ke negeri asalnya, India.

 

Demikian menurut kisah Ajisaka dan asal muasal Selat Bali menurut cerita rakyat Ketapang, Banyuwangi. Semoga tulisan ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan. Wallahu a’lam bissawab. ©️KyaiPamungkas.

Paranormal Terbaik Indonesia

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.

Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)

NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)

NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)

WEBSITE: paranormal-indonesia.com/
(Selain web di atas = PALSU!)

NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)

ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)


Related posts

Kisah Kyai Pamungkas: Sumur Banger Penarik Jodoh

Kyai Pamungkas

Kisah Mistis: MISTERI SELEMBAR ULOS

Kyai Pamungkas

Panggonan Wingit: KABUT SILUMAN MAKAM BUYUT BOKOR

Kyai Pamungkas
error: Content is protected !!