Panggonan Wingit: MISTIS RITUAL JOLENAN, ADAT PURWOREJO
Setiap dua tahun sekali, tepatnya pada bulan Sapar, dengan mengambil hari Selasa Pon atau Selasa Wage, masyarakat Desa Somongari, Kaligesing, Purworejo, Jateng selalu menggelar tradisi unik Jolenan. Banyak pesan mistis dari leluhur yang disampaikan lewat tradisi ini.
Ritual jolenan kali ini, digelar pada hari Selasa Wage (1/12) lalu. Tentu saja, moment ini sangat ditunggu-tunggu, tak hanya oleh warga desa Somongari sendiri, tapi juga oleh para wisatawan dari berbagai penjuru. Desa Somongari yang ada di wilayah perbukitan Menoreh yang biasanya sepi itu, mendadak ramai. Masyarakat Somongari memaknai, ritual jolenan merupakan ungkapan rasa syukur mereka, atas limpahan karunia Ilahi yang mereka terima selama ini. “Sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen durian dan manggis selama ini,” kata Mbah Sungkono (50), sesepuh desa Somongari.
Dalam ritual Joan, masyarakat mengarak Jolen, yakni, semacam ancak yang rangkanya terbuat dari bambu, dan dibuat sedemikian rupa hingga bentuknya menyerupai gunungan, dengan ketinggian satu meter, isi bagian dalam dari jolen ini tumpeng nasi, ingkung ayam dan ayam panggang. Untuk dinding penutup dari jolen ini terbuat dari janur. Sementara pada bagian luarnya dihiasi berbagai macam hasil bumi yang ada di desa Somongari.
Aneka jenis polowijo dan sayur-sayuran dan polo gumantung (buah-buahan), seperti pisang, rambutan, manggis dan durian, serta lainnya, menjadi penghias jolen. Untuk tambahan hiasan agar meriah, ada aneka makanan dari ketela, seperti kerupuk dan opak.
Jolen-jolen ini dikirab dengan cara dipikul mengelilingi desa, dari timur ke barat, menempuh jarak hingga 8 km, dengan iring-iringan berbagai elemen masyarakat. Puluhan pasang jolen (sebagai simbol jolen lanang dan wadon) diarak. Sepanjang perjalanan, masyarakat setempat menyaksikannya.
Sebelum jolen dikirab, diadakan upacara pemberangkatan, yang dipimpin sesepuh desa. Namun sebelum itu, diadakan pementasan berbagai kesenian tradisional yang ada di Somongari sebagai hihurannya, seperti kuda lumping, cing poling, ndolatak, incling, jathilan, serta tayuban.
Dari kesekian hiburan yang dipentaskan, yang menjadi menu wajib adalah pementasan tayub. Kesenian yang satu ini, konon merupakan kesenian kesukaan para leluhur desa, dan harus dipentaskan di deparmakam Eyang Kedono Kedini.
“Eyang Kedono Kedini ini salah satu pepunden Somongari. Tujuan pementasan tayub, sebagai bentuk perijinan agar ritual berjalan lancar,” ungkap Mbah Sungkono.
Setelah jolen dikirab, maka sebagai puncak acara jolen ini, adalah berebut jolen, yang dilakukan para pengunjung. Mereka percaya, dengan mendapatkan salah satu bagian dari jolen ini, akan mendatangkan berkah bagi kehidupan mereka.
Ada sebuah mitos terkait ritual jolen ini. Konon, jika acara jolen ini dihadiri banyak penonton, serta banyak pula yang memperebutkan isi jolen, maka dua tahun ke depan, panen durian dan manggis di desa Somongari bakal melimpah.
Setelah kirab, sebagai akhir dari ritual jolen ini, diadakan acara kenduri agung, yakni ritual keselamatan dengan cara menggelar kenduri.besar-besaran yang diikuti semua warga laki-laki Somongari, dengan bertempat di depan makam Eyang Kedono Kedini. Tumpeng yang digunakan untuk kenduri agung ini, diambil dari salah satu tumpeng yang ada dalam jolen yang jumlahnya ada 3 itu.
“Di dalam jolen kan ada 3 tumpeng dan ayam panggang serta ingkung. Dua tumpeng dibawa pulang orang yang memikul jolen, sementara yang satu untuk acara kenduri agung ini,” jelas Mbah Sungkono.
Dari penuturan Mbah Sungkono, ritual jolenan ini merupakan tradisi peninggalan para leluhurnya, yakni Eyang Somongari (Lokajaya), Eyang Beruk, serta Eyang Kedono Kedini. Tradisi ini sudah berlangsung sejak ratusan tahun silam.
Sebagai pemusatan kegiatan ritual, di depan makam Eyang Kedono Kedini, yang makamnya di depan balai desa Somongari. Di sinilah, sesajen lengkap untuk merti desa disajikan, yang terdiri dari tumpeng, kembang setaman, ayam panggang dan ingkung, durian serta manggis.
Cerita tutur menyebutkan, kalau ketiga tokoh ini, merupakan pelarian Majapahit, setelah kerajaan ini hancur diserang Demak, dalam masa masuknya pengaruh Islam. Karena tetap mempertahankan kepercayaan lama, ketiganya memilih pergi mengembara ke arah barat, dengan menyusuri perbukitan Menoreh.
Pemimpin dari ketiganya itu Lokajaya. Dia sengaja berganti nama, agar tak terlacak Orang-orang Demak. Nama sebenarnya, nggak ada yang tahu. Namun masyarakat Somongari meyakini, dia itu salah satu putra dari Prabu Brawijaya V.
Dalam pengembaraannya itu, ketiganya sampai di Suatu daerah di ereng-ereng perbukitan Menoreh. Disinilah, ketiganya babad alas, mendirikan pemukiman. Lambat laun, pemukiman ini menjadi perkampungan maju, dengan hasil pertaniannya yang melimpah terutama durian dan manggis.
Daerah ini akhirnya disebut dengan Somongari, yang artinya lereng perbukitan. (ngare) yang maju atau menjadi daerah baik (sorno). Atas jasanya ini pula, akhirnya Lokajaya disebut juga dengan Eyang Somonoari.
Sebagai bentuk syukur atas limpahan panen durian dan manggis ini, hingga menjadikan penduduk Somongari menjadi makmur, Eyang Somongari mengadakan acara Syukuran yang disebut dengan jolenan ini. Jolen ini dikemas dalam acara merti desa, yang dilakukan setiap 2 tahun sekali. Setelah ketiganya wafat, mereka dimakamkan di daerah ini, dan selanjutnya dianggap sebagai leluhur dan pepunden desa.
“Jadi acara jolenan ini merupakan warisan dari leluhur. Dan sebagai anak turunnya, kami harus melestarikannya. Bagaimanapun keadaannya, ritual jolenan ini wajib digelar,” terang Mbah Sungkono.
Semasa hidupnya, Eyang Somongari ini menjadi seorang pemimpin yang baik, lembah manah, adil, serta tidak sombong.
Ini pula yang menjadikan munculnya sebuah mitos, bahwa seorang pemimpin (kepala desa) di Somongari pantang untuk memanjat pohon kelapa, atau naik ke tempat yang tinggi.
Dan kenyataannya, cerita Mbah Sungkono, siapapun yang menjadi kepala desa Somongari, tetap tidak berani melanggar wewaler ini, karena takut kualat. Mitos ini, menurut Mbah Sungkono, memiliki makna, bahwa seorang pemimpin pantang berlaku sombong atau semena-mena, atau merasa dirinya lebih tinggi dibanding lainnya.
Secara nyata, konon jika pantangan ini dilanggar, maka akan banyak warga Somongari yang jatuh setiap kali memanjat pohon kelapa atau lainnya.
Tapi secara filosofi, ujar Mbah Sungkono, mempunyai arti, jika pemimpinnya berlaku semena-mena dan sombong, adigung adiguno, maka rakyatiah yang akan menderita (jatuh).
Semua mitos-mitos dan tradisi ini, hingga kini masih dipegang teguh seluruh warga Somongari dimanapun berada. Tak heran, jika setiap acara jolen ini digelar, pastilah warga Somongari, baik itu yang ada di kampung, rantau atau dimanapun berada, pastilah akan menyempatkan diri untuk pulang kampung mengikuti ritual jolenan ini.
“Alhamdulillah, setiap kali acara jolenan digelar, pasti selalu dipadati pengunjung. Ini pula yang menjadikan panen durian dan manggis di Somongari ini selalu melimpah,” pungkas Mbah Sungkono. Wallahu a’lam bissawab. ©️KyaiPamungkas.

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.
Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)
NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)
NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)
WEBSITE: paranormal-indonesia.com/
(Selain web di atas = PALSU!)
NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)
ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)