Cerita Kisah Kyai Pamungkas

Kisah Mistis: KEPERAWANANKU JADI TUMBAL HARTA GAIB

Kisah Mistis: KEPERAWANANKU JADI TUMBAL HARTA GAIB

Kondisi yang dihadapi ayah sangat sulit. Pihak bank sudah memberikan surat peringatan terakhir untuk menyita rumah kami jika dalam tempo tiga bulan tidak bisa melunasi utang ayah. Didorong keinginan untuk membantu ayah keluar dari masalah, aku pun merelakan darah keperawananku sebagai tumbal untuk membuka pintu gaib. Namun bukan harta yang aku dapatkan, melainkan bencana demi bencana. Oh Tuhan, maafkan hamba yang lemah ini…

 

Jujur aku sangat berat untuk memulal kisah ini. Bahkan aku pun bingung harus memulainya dari mana. Setiap kenangan yang berseliweran dalam otakku melulu tentang kepahitan yang sangat menyakitkan hati.

 

Baiklah aku memulainya dari masa kecilku saja. Oh iya, sebut saja namaku Nina. Meski itu nama samaran, namun tidak jauh-jauh benar dari nama asliku. Bahkan hurufnya sama hanya sedikit aku balik. Bahkan tadinya aku akan menggunakan nama aslinya saja. Toh tidak ada bedanya ketika orang lain tahu atau tidak terhadap masa lalu. Mereka tidak dirugikan dengan kisahku. Namun sungguh aku tidak tega jika sampai melukai perasaan ibu, meski pernah di suatu waktu aku begitu membencinya karena tidak berusaha menolongku saat aku dihadapkan pada posisi yang sangat sulit.

 

Masa kecilku adalah masa yang paling bahagia. Aku hidup dengan bergelimang kemewahan. Apapun yang aku inginkan pasti akan serta merta dikabulkan, terutama oleh ayah. Mereka begitu menyayangiku. Di antara empat bersaudara, kebetulan hanya aku perempuan. Tepatnya aku anak ketiga dari empat bersaudara. Dua kakak laki-lakiku saat ini sudah hidup bahagia dengan keluarga kecilnya tanpa pernah mau tahu kondisi orang tuanya saat ini.

 

Sementara adik bungsuku hidupnya sangat menyedihkan. Jerat narkoba membuat hidupnya kacau. Beberapa kali masuk penjara karena kasus yang sama. Entah dari mana dia mendapatkan uang untuk membeli barang-barang haram itu. Aku berharap suatu ketika dia akan dipenjara seumur hidup, atau bahkan mungkin ditembak mati seperti bandar-bandar narkoba yang dieksekusi di Nusakambangan beberapa waktu lalu.

 

Maaf ceritaku agak melantur. Entahlah setiap mengingat kisah kelam ini aku selalu terlibat emosi dengan saudara-saudaraku. Sebab secara tidak langsung mereka ikut menjerumuskan aku. Andai saja kedua orang tuaku tidak berambisi untuk menyekolahkan kedua kakakku hingga Strata Dua (S2), pasti kisah ku tidak akan sekelam ini.

 

Saat aku SMP, aku sering ditawari ikut kontes kecantikan. Meski tidak semuanya aku ikuti karena aku termasuk malas mengikuti kontes-kontes semacam itu, namun dari beberapa yang aku ikuti, aku sempat meraih juara. Hal ini perlu aku ceritakan karena pada akhirnya kecantikanku itu yang menjadi jalan menuju neraka. Kecantikanku telah mengundang nafsu setan orang-orang yang mengenalku.

 

Menginjak SMA, kecantikanku semakin bersinar. Banyak cowok yang mendekatiku. Bukan hanya teman-teman satu sekolahan, namun juga cowok-cowok dari sekolah lan. Hampir setiap minggu aku menerima surat cinta dari cowok. Mereka memujiku dengan bahasa yang aduhai, membuat aku melambung hingga ke langit tujuh. Mungkin jika saat itu sudah ada facebook atau instagram, followerku akan melebihi artisartis terkenal. Bahkan saat ini saja, ketika aku sudah layu, masih saja ada laki-laki yang menggodaku. Kadang aku menanggapinya, namun lebih banyak membiarkannya tanpa membalas komentar-komentar mereka.

 

Bagiku, dengan usia 36 tahun, semua itu hanya kesenangan tanpa ada keinginan untuk menanggapinya. Aku juga tidak pernah memasang foto orang lain pada akun media sosialku. Aku tampil apa adanya. Jika ada yang mengira aku masih berusia 20-an tahun, aku pun tidak menyalahkan matanya. Semua orang di sekitarku mengatakan aku awet muda sehingga belum ada sedikit keriput pada wajah dan tubuhku.

 

Namun dari sekian ratus cowok, aku hanya sedikit suka pada Hans. Ya, hanya sedikit. Mungkin aku tipe gadis yang dingin dan hal itu yang membuat cowok-cowok semakin penasaran. Bahkan Hans yang kemudian selalu mengaku sebagai pacarku, tidak pernah bisa menciumku karena aku akan berubah sangat dingin ketika dia mulai melancarkan jurus-jurus untuk sekedar bisa memelukku.

 

“Nin, kamu kan pacarku. Masa aku tidak boleh pegang tanganmu,” kata Hans suatu ketika.

 

Saat itu kami hanya berdua di dalam kelas karena ada tugas sekolah yang harus kami selesaikan. Aku tahu Hans sebenarnya bisa menyelesaikan tugas itu lebih awal karena otaknya lumayan encer. Dia selalu dapat ranking sementara aku belum pernah masuk 10 besar. Ia sengaja menunda tugas itu agar bisa bersama aku di dalam kelas. Aku pura-pura tidak mendengarnya. Aku tetap fokus pada lembaran kertas di depanku.

 

“Nina,” panggilnya lagi. Tangannya di atas meja mulai bergerak ke arah tanganku.

 

Aku membiarkannya sampai akhirnya punggung tangannya menyentuh punggung tanganku. Namun saat dia hendak memegang tanganku, secepatnya aku menghindar.

 

“Ada bu guru,” bisikku.

 

Meski aku sebenarnya hanya mengarang saja, namun ternyata memang benar saat itu bu guru masuk kembali ke ruang kelas. Tanpa banyak bicara dia langsung menyuruh kami mengumpulkan tugas. Seperti yang aku duga, sebenarnya Hans sudah menyelesaikannya sejak tadi karena aku lihat lembar kerjanya sudah penuh, sementara punyaku baru terisi setengah. Begitulah sedikit kisah remajaku. Aku tidak pernah pacaran seperti umumnya gadis-gadis seusiaku. Entah mengapa. Mungkin karena di rumah aku berlimpah kasih sayang sehingga aku tidak merasa butuh kasih sayang dari orang lain. Atau memang aku belum berpikir untuk menjalin hubungan serius dengan lawan jenis.

 

Hingga akhirnya, malapetaka itu datang. Saat aku Kelas III SMA, tepatnya menjelang ujian, usaha ayah bangkrut. Utang menumpuk tanpa ada alternatif bagaimana cara membayarnya. Saat itu satu-satunya harta kami yang tersisa tinggal rumah yang kami tempati. Namun belakangan terbongkar juga jika rumah kami pun sudah diagunkan ke bank. Hal itu aku ketahui karena membaca surat peringatan dari bank agar agar segera membayar cicilan kreditnya. Jika tidak maka rumah kami akan disita dan dilelang untuk menutup utang ayah.

 

Benar-benar situasi yang sangat sulit bagi orang tuaku. Apalagi saat itu kedua kakak laki-lakiku tengah membutuhkan uang banyak untuk membiayai kuliahnya. Kakak pertamaku kuliah di fakultas kedokteran, sementara kakak kedua mengambil jurusan teknik sipil. Keduanya kuliah di universitas ternama melalui jalur khusus, alias bayar biaya masuk yang sangat besar. Maklum, sama seperti aku, kedua kakakku juga tidak terlalu pintar di sekolah. Bahkan adikku pernah tidak naik kelas. Dengan kemampuan uangnya, ibu lantas memindahkan adikku ke sekolah swasta yang cukup bonafide.

 

Namun setelah ayah bangkrut, adikku tidak lagi bisa di sekolah itu karena tidak kuat membayar SPP. Dengan terpaksa ibu kembali memindahkannya ke sekolah negeri meski harus mengulang di kelas yang sama. Di tengah kebingungan itu, entah siapa yang memberi ide, ayah tiba-tiba punya rencana yang tidak masuk akal. Meski awalnya dirahasiakan, namun akhirnya aku bisa mengetahuinya karena proses selanjutnya melibatkan diriku.

 

Ya, ayah yang tidak tahan dikejar-kejar utang, diancam oleh debt collector akhirnya mendatangi seorang dukun di suatu kampung kumuh di dekat pantai selatan, Ayah Kemuatan diajak melakukan ritual di gunung – maaf aku tidak bisa menyebutkan nama gunung itu karena pasti pembaca mengetahuinya sehingga nantinya akan ketahuan siapa dukun dimaksud. Selama hampir dua minggu ayah tidak pulang.

 

Suatu malam, ada percakapan ayah ibu, mereka tengah bertengkar karena ibu menolak kemauan ayah.

 

“Kita sudah tidak punya jalan keluar lagi. Hanya itu satu-satunya yang bisa menyelamatkan kita semua,” kata ayah.

 

“Tapi aku tetap tidak setuju jika kamu akan mengorbankan Nina,” sentak ibu.

 

“Lalu apa kamu punya jalan keluar untuk mengatasi situasi sulit ini?” sergah ayah.

 

Ibu terdiam. Di depan kamar mereka, aku pun terdiam lalu pergi ke kamar mandi dengan diliputi pikiran bingung. Mengorbankan aku? Apa yang hendak ayah lakukan? Apa ayah akan menjodohkan aku dengan pengusaha kaya dengan harapan pengusaha itu bisa menutup semua utang-utang ayah? Ah, tiba-tiba aku merinding membayangkan hal itu. Aku cepat-cepat membuang pikiran itu dan bermaksud kembali ke kamar. Namun di depan kamar orang tuaku, aku kembali mendengar suara ayah yang tengah mendesak ibu.

 

“Waktunya tinggal tiga hari. Jika malam purnama ini tidak dilakukan, maka usahaku melakukan ritual selama dua minggu menjadi sia-sia,” kata ayah.

 

Ritual? Ritual-apa? Baru kali ini aku mendengar kata itu dan aku benar-benar tidak paham. Kembali rasa penasaran menghantuiku. Esoknya hal itu aku tanyakan pada ibu.

 

“Ritual apa itu, Bu?” tanyaku saat aku hanya berdua dengan ibu di meja makan. Hari itu aku memang berniat bolos sekolah karena semalam susah tidur memikirkan kata-kata ayah.

 

“Ibu tidak tahu. Kok kamu tiba-tiba tanya soal ritual?“ kata ibu balik bertanya. Matanya tajam menatap wajahku.

 

“Semalam aku mendengar ibu dan ayah bertengkar,” kataku berterus terang.

 

Wajah ibu tiba-tiba berubah. Ia sepertinya sangat terkejut mendengar hal itu. Buru-buru ibu membereskan meja makan, lalu bergegas ke belakang. Namun aku mengejarnya karena masih sangat penasaran. Saat itu semua saudaraku sudah pergi sekolah dan ayah masih tidur di kamar.

 

Setelah aku desak berulangkali, akhirnya ibu menceritakan semuanya. Rupanya ayah tengah menjalani laku ritual pesugihan yakni mencari kekayaan dengan meminta bantuan makhluk gaib. Konon ayah bisa mendapatkan itu dengan Syarat menumbalkan darah perawan.

 

“Ibu tidak percaya,” kata ibu setelah mengakhiri ceritanya.

 

“Jadi ayah ingin agar aku dijadikan tumbal?” serangku dengan nada nyaris teriak karena kaget bercampur marah dan bingung.

 

Ibu terdiam. Wajahnya sangat keruh. Namun saat itu aku sama sekali tidak merasa kasihan. Yang ada justru rasa benci karena setelah itu ibu sama sekali tidak berusaha untuk melawan kehendak ayah. Pembaca yang budiman, tentu saja setelah itu aku melawan keras keinginan ayah yang tidak pernah diutarakan padaku.

 

Bahkan ayah selalu menghindar ketika aku mulai menanyakan niat gilanya itu. Namun anehnya, sikap ayah justru membuat aku sedih. Sepanjang hari ayah mengurung di kamar. Bahkan esoknya tetap tidak mau keluar kamar. Aku tidak tahu apakah saat itu ayah sudah membatalkan niatnya atau ada alasan lain.

 

Dua hari berlalu dan ayah masih juga mengurung dirinya. Terlebih ketika ada beberapa orang berbadan kekar mencarinya. Ibu bersikeras mengatakan ayah tidak ada di rumah. Sementara aku menunggu dengan dada berdebar-debar karena takut orang-orang itu menggeledah rumah kami dan menemukan ayah.

 

“Sampaikan kepada suami Ibu, jika sampai akhir minggu ini tidak membayar bunganya, kami akan menyita semua yang ada di rumah ini,” ancam mereka. Rupanya orang itu suruhan renternir.

 

Pada titik inilah perasaanku semakin campur aduk. Aku takut ayah akan disiksa oleh orang-orang itu. Lebih takut lagi jika seluruh harta benda yang ada di rumah diambil oleh mereka. Bagaimana kehidupan kami selanjutnya. Aku benar-benar bingung.

 

“Bu, panggil ayah. Aku mau bicara,” kataku pada ibu.

 

“Sudahlah, Nak. Ayahmu sedang stres. Jangan menambah berat pikirannya,” sahut ibu.

 

“Aku siap untuk menjadi tumbal,” ujarku

 

Kening ibu berkerut. Cukup lama ibu terdiam sebelum akhirnya beranjak ke kamar. Namun ayah tetap tidak mau keluar. Hanya saja tengah malam, ibu mengetuk pintu kamarku dan menyuruhku pergi dari pintu belakang. Aku dan ayah pergi melalui pintu belakang. Sepanjang perjalanan ayah.sama sekali tidak bersuara, Bahkan tidak mau menatap wajahku.

 

Setelah tiga kali berganti kendaraan, menjelang subuh kami sampai di sebuah rumah sederhana. Mungkin jika tidak dalam kondisi terpepet seperti sekarang ini, aku tidak akan mau masuk. Tempatnya sangat berantakan. Rupanya rumah itu hanya dihuni oleh laki-laki tua. Tanpa banyak bicara, aku disuruh tidur di kamar sempit dengan alas tilam lusuh. Karena lelah fisik dan juga mental, aku tertidur dan bangun setelah siang hari.

 

Saat itu ayah dan juga laki-laki tua pemilik rumah sudah tidak ada. Hanya ada nasi bungkus dan air mineral di meja. Aku tidak berani keluar rumah karena takut dilihat orang. Setelah makan, aku kembali ke kamar. Ada terbersit pikiran untuk kabur. Namun melihat kondisi ayah, aku tidak sanggup. Akhirnya aku hanya bisa menunggu dan menunggu apa yang akan terjadi tanpa berbuat apapun.

 

Menjelang malam, ayah dan laki-laki tua itu kembali. Mereka lantas membawaku ke gunung melalui jalan setapak di belakang rumah itu. Tidak sampai setengah jam, kami tiba di sutu tempat yang sangat mengerikan. Ya, sebuah cungkup gubuk yang di dalamnya terdapat kuburan. Aku disuruh bersimpuh di depan kuburan itu, seperti yang dilakukan ayah. Laki-laki tua itu mulai membakar dupa sehingga tercium bau kemenyan yang sangat menyengat. Terdengar laki-laki tua itu membaca sesuatu. Kelak aku tahu itu adalah mantra untuk memanggil penunggu kuburan.

 

Setelah satu jam bersimpuh di depan makam, orang tua itu mengajakku masuk ke ruangan yang ada di sebelah makam. Sementara ayah disuruh tetap bersimpuh di depan makam sambil terus merapal mantra. Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, aku masuk ke ruangan yang sangat sempit itu. Ternyata di dalamnya ada bangku panjang dari kayu. Aku disuruh melepas baju dan berbaring di ranjang itu. Setelahnya, laki-laki tua itu dengan buas menindihku. Lidahnya dengan buas menjelajahi seluruh tubuhku. Aku hampir muntah mencium bau tubuhnya yang sengak. Air mataku meleleh ketika akhirnya dia menuntaskan ritualnya mengambil keperawananku.

 

Usai menuntaskan ritualnya, kami pulang. Ayah semakin menjauh dariku.

 

Dia sama sekali tidak mau menegur atau sekedar menatap wajahku. Mungkin mera bersalah, Atau mungkin juga merasa sendiri karena akhirnya aku mau berkorban demi orang tuanya. Ya, anak harus berbakti pada orang tua. Hal itu aku pahami karena pernah mendengarnya dari banyak orang. Bukan hanya guru ngajiku, namun juga guru-guru di sekolah. Namun sejauh mana arti berbakti itu, aku kurang paham. Mungkin tanpa batas hingga nyawa sekali pun taruhannya. Kini semua sudah terjadi dan aku akan terus membawa aib ini seumur hidup. Andai saja pengorbananku dapat menyelamatkan ayah, mungkin aku tidak terlalu menyesalinya. Hanya saja, setelah aku menyerahkan harta yang paling berharga, ternyata Kondisi ekonomi keluargaku tidak juga kunjung membaik. Rumah kami tetap disita oleh bank. Ayah menjual semua harta yang tersisa untuk membayar utang pada renternir. Kami tinggal di rumah kontrakan yang sempit. Dua kakak laki-lakiku tidak pernah mau pulang karena malu. Sampai kelak mereka sukses, mereka tetap tidak mau pulang. Sementara adikku mulai jatuh ke pelukan narkoba. Ayah dan ibu tidak pernah bisa melarangnya karena adikku pasti akan melawan dengan kata-kata kasar dan kotor.

 

Pembaca sekalian, dalam kondisi seperti itu, salahkah aku jika akhirnya aku mengambil jalan pintas? Aku mulai menerima tawaran laki-laki hidung belang seperti dilakukan beberapa temanku. Sebagian uangnya aku berikan kepada ibu tanpa sekalipun ibu bertanya darimana aku mendapatkan uang itu. Sekolahku juga mulai terbengkalai. Namun aku akhirnya bisa lulus SMA dan masuk ke perguruan tinggi swasta. Hanya saja sebenarnya aku tidak benar-benar kuliah. Waktuku dihabiskan dari hotel ke hotel melayani laki-laki hidung belang.

 

Sekarang aku sudah tua, setidaknya bukan gadis remaja lagi. Aku ingin mengakhiri semuanya dengan baik. Sejak ayah meninggal dunia sekitar lima tahun lalu, aku semakin jauh dari jalan Tuhan.

 

Aku juga sengaja tidak mau menikah. Aku trauma dengan keluargaku. Aku tidak ingin jika anak-anakku mengalami kejadian seperti yang aku alami. Cukup aku saja yang menjalaninya.

 

Semoga kisah ini bisa memberikan sedikit gambaran, betapa jalan pintas tidak pernah menyelesaikan masalah. Berkaca dari itu pula, aku sudah menabung dari hasil keringatku melayani lenguh laki-laki nakal. Aku sekarang punya rumah, walau kecil, namun cukup untuk berteduh aku dan ibu. Aku juga membuka warung kecil-kecilan di samping rumah. Meski hasilnya tidak seberapa, namun cukup makan kami sehari-hari. Itulah sekelumit kisah kelamku. Jika ada yang sudi memberikan nasehat demi kebaikanku ke depan, aku akan menerimanya. Tapi maaf, aku tidak sedang mencari jodoh. Aku hanya ingin mencari ketenangan batin. Wallahu a’lam bissawab.

 

JAWABAN KAMI, RESPON PENGASUH: 

 

Kisah tragis yang dialami Nina tentu bukan yang pertama ditulis di website ini. Sebelum Nina mencurahkan isi hatinya pada penulis, ada wanita lain yang juga mengalami nasib kurang lebih sarna dengan Nina. Direnggut kesuciannya demi harta dari alam gaib. Tapi nyatanya, harta yang diharapkan itu tak kunjung datang. Yang pasti, Nina dan sejumlah wanita lainnya itu sudah menjadi korban. Tapi nasi sudah menjadi bubur, Nina tak bisa hanya meratapi nasib buruknya saja. Kondisi Itu sudah berlangsung lama dan kini saatnya berbenah diri menuju kehidupan yang lebih baik. Benar seperti pengakuan Nina, ia telah terjerumus jauh ke lembah nista setelah peristiwa naas itu. Tapi Nina harus yakin bahwa pintu taubat untuk Nina belum tertutup, Nin: masih bisa bertaubat dan memperbaik kehidupan untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Sebagai pengasuh rubrik ini, Saya menyarankan sebaiknva Nina mulai menata hidup baru dengan cara melupakan masa lalu dan memandang masa depan yang lebih baik. Yakinlah Nina akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Nina masih cukup muda untuk bisa mendapatkan suami yang baik, yang mencintai Nina lahir dan batin. Yang bisa menerima kelebihan dan kekurangan Nina. Nina bisa membentuk rumah tangga yang sakinnah mawaddah warohmah.

 

Lupakan masa lalu yang buruk itu agar Nina bisa berpikir lebih jernih. Jika perlu, Nina bisa tinggal di tempat yang baru, dimana orang-orang di sekitar Nina tak mengenal Nina. Mereka pun tak akan mengetahui masa lalu Nina. Cukup Nina saja yang tahu apa yang pernah Nina alami di masa lalu, dengan begitu Nina bisa sedikit demi sedikit melupakan masa lalu dan bisa menjalani kehidupan lebih baik tanpa bayang-bayang ketakutan akan rahasia diri sendiri.

 

Tentang keluarga Nina, kakak dan orang tua yang masih ada. Tak perlu memikirkan mereka terlalu jauh. Biarkan saja mereka hidup dengan caranya sendiri. Tak perlu Nina memikirkan kepedulian mereka terhadap ibunda Nina.

 

“Segala hal di muka bumi ini pasti ada hikmahnya. Yang penting Nina jangan sampai melupakan apalagi menelantarkan ibunda. Berikan apapun yang terbaik untuk dirinya. Ingatlah. taubat Nina akan sangat bergantung pada restu dari ibunda.”

 

” Secara spiritual, saya menyarankan Nina untuk melakukan ruwatan. Hal ini perlu untuk membersihkan diri Nina dari pengaruh masa lalu yang buruk. Sebab pengaruh buruk Itu sangat mungkin menyebabkan aura Nina pun menjadi tidak baik.

 

Akibatnya pada kehidupan selanjutnya Nina bisa menghadapi masalah atau kendala dalam hal cinta, asmara atau keuangan. Ruwatan bisa membersihkan aura Nina dan membuang Sial, terutama untuk mendatangkan jodoh yang baik dan rejeki yang banyak dan halal. Aamiin. Wallahu a’lam bissawab. ©️KyaiPamungkas.

Paranormal Terbaik Indonesia

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.

Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)

NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)

NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)

WEBSITE: paranormal-indonesia.com/
(Selain web di atas = PALSU!)

NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)

ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)


Related posts

Kisah Kyai Pamungkas: HANTU DUKUN BERANAK

Kyai Pamungkas

Kisah Kyai Pamungkas: PENUNGGU POHON BERINGIN

Kyai Pamungkas

Panggonan Wingit: MAHLUK ASTRAL SITU ANGSA, DEPOK

Kyai Pamungkas
error: Content is protected !!