Cerita Kisah Kyai Pamungkas

Kisah Mistis: SUARA JERITAN DARI PERUT MAYAT

Kisah Mistis: SUARA JERITAN DARI PERUT MAYAT

Lelaki itu melongok. Sorot matanya yang tajam membentur sosok perempuan yang terbujur kaku di atas lincak…

 

Tangis kemudian pecah. Orang-orang mengerubungi perempuan itu.

 

“Mati!” Seseorang menoleh. Wajahnya meringis. Matanya sembab.

 

“Mati?!”

 

“Ya, mati!”

 

“Mati ngandung!” Lenguh orang-orang dibelakang, bergidik.

 

Jusup, lelaki dekil itu menarik napas dalam-dalam. la kembali melongok ke arah mayat. Perutnya membuncit, bibirnya memutih, sepasang matanya terkatup rapat Jusup mendengus. Dalam pandangannya seolah melihat berkas bayangan menyelinap di atas tubuh mayat itu, bersamaan dengan suara cicak berdecak. Tiba-tiba saja bulu kuduk Jusup mengembang. Ia terdiam, mematung untuk beberapa saat.

 

Perlahan Jusup mendekat. Menyingkap selembar jarit yang membalut perut perempuan itu. Bau busuk tiba-tiba menyeruak. Dilihatnya beberapa benda menumpuk di sisi kaki mayat: jarum, paku, silet dan kawat-kawat berkarat lainnya. Menurut penjelasan Atmawi, suami perempuan itu yang mendampingi istrinya saat kesakitan, benda-benda tajam tersebut keluar dari lubang kelaminnya.

 

Mula-mula sewaktu istrinya merintih, terbersit dalam banak Atmawi kalau istrinya akan melahirkan, tetapi tatkala ia menjerit-jerit panjang, Atmawi melihat benda-benda tajam itu keluar bergantian dengan paksa lewat lubang kelaminnya, disusul cairan keruh bercampur darah merembes bersama bau busuk. Ketika itu wajah Atmawi tiba-tiba menjadi hitam pekat. Khawatir dan was-was istrinya tidak bisa selamat. Dan benar, hanya selang beberapa menit, istrinya yang hamil delapan bulan itu menghembuskan napas terakhir dengan sekarat.

 

Melihat perut buncit mayat itu, Jusup tersenyum kecut. Dalam benaknya tumbuh sejumlah angan-angan yang melejit jauh. Awalnya hanya membayangkan, mulut-mulut busuk tetangga yang nyinyir dengan sejumlah caci-makian pada dirinya akan segera lenyap. Beban utang yang setiap hari menambah berat pundaknya, yang kerap ditagih dengan umpatan busuk akan segera ia lunasi.

 

Dua orang anak yang tak henti-henti merengek meminta baju seragam baru akan segera ia belikan dengan merk paling bagus. Tidak lupa, seongkok rumah yang selama bertahun-tahun hari demi hari kian mengenaskan, atapnya bocor, gedek berlubang dimakan rayap, tiang penyanggah yang reot, lantai pasir berdebu, tentu juga akan direnovasi layaknya rumah bapak kepala desa yang di garasinya duduk satu mobil beserta tiga motor mewah.

 

O, tidak, tidak! Bukan hanya itu yang dapat diwujudkan, pikir Jusup, kepalanya berputar-putar. Kali ini ia tidak bisa menyembunyikan garis bibirnya yang tersenyum pahit. Ia tiba-tiba teringat ucapan Ke Maksum, dukun yang dikenal sakti itu. Katanya, telunjuk bayi perempuan mati ngandung bukan hanya sebagai pesugihan, tetapi juga sebagai kesaktian. Sebab itu Ke Maksum menjadi dukun terkenal. Dan memang, kata-katanya dia salah seorang pemilik telunjuk bayi mati ngandung di desanya.

 

“Kau akan sakti dan kaya, Sup!!” Bisik dukun itu sewaktu ditemuinya.

 

“Benar, Ke?”

 

Dia mengangguk.

 

“Apa pun yang saya inginkan, dapat terkabul?” Jusup meyakinkan.

 

Dukun itu mengangguk berkali-kali. Ucapan dukun itu telah berhasil menyihir Jusup. Semua keinginannya tumbuh bertubi-tubi dalam kepala lelaki bertubuh tirus itu. Dalam angan-angannya, betapapun wajahnya yang jelek itu, akan ja sulap menjadi raut wajah paling tampan dan gagah di antara lelaki di kampungnya. Begitu juga Atmina, istrinya yang berkulit gelap keriput, akan dengan mudah ia sulap menjadi perempuan paling cantik melebihi si cantik istri kepala desa di desanya.

 

Jusup masih berdiri matung di sisi mayat, Sorot matanya tajam membentur perut buncit perempuan itu. Dalam benaknya terbayang, kulit perut buncit yang tipis dan kaku itu ia iris dengan ujung pisau perlahan-lahan, dari dada hingga ke bawah pusar. Sedikit demi sedikit darah merembes bersama isi perut yang mulai terkulai. Usus-ususnya merambat keluar dan sesosok bayi terkuak perlahan-lahan. Dengan begitu, betapa mudahnya ia memotong jari si bayi dalam hitungan detik.

 

Malam larut. Di emperan rumah, lampu strungking telah menyala. Sementara di beberapa sudut ruangan, hanya ada lampu teplok menggantung di dinding. Orang-orang dengan sendirinya beranjak memenuhi keperluan pemakaman. Ada yang ke sumur mengambil air untuk mensucikan mayat, ada yang mengambil cangkul dan pecok untuk menggali kuburan, dan di beranda rumah, beberapa lembar kain kafan tergeletak.

 

Malam kian gelap mencekam. Suara cicak kembali berdecak, disusul suara-suara makhluk malam lainnya saling bersahutan. Tepat di belakang rumah berduka suara gemericik air mengalir dari tubuh mayat yang tengah disucikan. Seirama dengan sobekan lembar-lembar kain kafan dengan disusul gedebuk cangkul pada tanah kerontang.

 

Pada sabut kelapa yang menyala, sejumput dupa ditaburkan. Letupan-letupan api berpendar. Bau dupa menyeruak merasuk ke setiap sudut ruangan. Tidak lama berselang, pemakaman akan dilakukan. Tidak jauh, hanya di samping rumah berduka mayat mati ngandung itu dimakamkan, tepat di bawah pohon kates yang rindang.

 

Jusup diam. Tidak perlu bertanya, mengapa perempuan mati ngandung itu dimakamkan di samping rumahnya? Padahal, 90 meter ke arah selatan dari rumah berduka terdapat sepetak tanah pemakaman umum. Tentu, tak ada alasan lain kecuali untuk memudahkan pantauan orang-orang dalam menjaga keamanan mayat itu.

 

Usai penanaman mayat itu, orang-orang yang ikut belasungkawa beranjak pulang. Sedankan para keluarga berkumpul dan mulai berjaga-jaga. Di antara mereka ada yang mulai menancapkan empat tiang bambu di samping kuburan, mendirikan atap dari beberapa lembar rajutan janur, dan digelarlah tikar daun siwalan untuk sekedar tempat duduk atau tiduran.

 

Sepanjang malam, orang-orang yang ikut berjaga disuguhi sejumlah makanan: cucur, pisang goreng, ketela, jagung bakar, tentunya juga kopi dan rokok beserta kartu untuk mengusir kantuknya selain mengobrol semalam suntuk mereka akan bergiliran menjaga keamanan kuburan.

 

Jusup, ya, dia juga ikut berkumpul dengan orang-orang yang menjaga Kuburan. Dalam beberapa menit di sela-sela riuh obrolan orang-orang yang membanting kartunya, dengan tertunduk Jusup mencuri-curi pandang, menatap tajam gundukan tanah di sampingnya.

 

Sesekali tercium aroma semerbak kembang yang menyebar di atas kuburan. Suara cicak tak henti berdecak. Kunang-kunang merayap di atas gundukan. Seekor kucing hitam mengeong dan melompat di tengah-tengah kuburan. Sementara, orang-orang terlihat begitu asyik mengusir kantuk dengan permainan kartunya.

 

Malam pun bergeser menjadi petang mencekam. Dua perempuan yang ikut suaminya menjaga kuburan beranjak pulang. Menggendong anaknya yang terlelap kecapekan. Sementara, sang suami tanpa peduli istrinya yang pulang sendiri. Mereka sibuk memikirkan kartunya agar bisa menang.

 

Jusup diam bergeming. Di antara orang-orang yang duduk melingkar, sepasang matanya tak henti-henti memandangi tumpukan tanah yang mulai basah dihinggapi embun malam. Ya, tanah yang menyimpan harta karun, yang tak lama lagi akan diambilnya.

 

Tiga puluh menit berlalu. Jusup kembali melempar pandangannya ke sekitar. Keningnya berkerut. Pikirannya berputar-putar mencari siasat agar bisa menuntaskan niatnya tanpa ada kecurigaan. Sekali-sekali melirik dua patok kuburan. Di sisinya ada sabut kelapa sisa menyulut dupa. Hampir saja ia mengambil untuk menyulutnya, tetapi ia segera sadar, orang-orang pasti akan mencurigai tindakannya. Untuk sesaat diurungkanlah niatnya.

 

la menoleh lagi ke kanan-kiri, lalu ke belakang. Lima meter dari tempat duduknya, terlihat sebuah kamar mandi dengan pintu terkuak. Tepat di sisi pintu terdapat setumpuk sabut kelapa. Ia pun tak mau menunda kesempatannya lagi. Ia berdiri perlahan, beranjak dari tempat duduknya sambil menjinjing sarungnya yang gelap, kusut, dan kumal.

 

“Kemana, Sup?” Tanya Maddawi sambil melempar kartunya.

 

“Kencing,” jawabnya singkat.

 

Orang-orang tidak memperhatikan ke mana Jusup pergi. Tidak peduli. Mereka pada sibuk masing-masing memelototi kartunya.

 

Denting jam berbunyi satu kali. Di dalam kamar mandi, Jusup keluarkan bungkusan kantong plastik dari gulungan sarungnya. Sabut kelapa yang baru saja diambil di dekat pintu kamar mandi, disulut. Lantas ditaburlah sejumput dupa yang didapat dari Maksum ke sabut kelapa yang menyala. Diiringi bacaan-bacaan mantra yang telah ia hafal yang diberi dukun itu dengan penuh khidmat.

 

Tidak lama setelah mantra-mantra dirapaikan, ia tiupkan pada asap yang meliuk-lingkar. Percik-percik api berpendar. Kakinya dihentakkan ke tanah tiga kali. Tak berapa lama, Jusup melangkah perlahan dengan mengendap-ngendap, menyusupkan asap dupa kepada orang-orang yang tengah berkumpul di dekat kuburan itu.

 

Cicak ramai berdecak, tiga kunang-kunang merayap, kucing hitam mengeong dan mencakar-cakar tanah di sisi kuburan. Orang-orang mulai mendengus. Bau dupa merasuk ke lubang hidungnya masing-masing, namun mereka tidak menghiraukan. Sepasang mata dan pikirannya lebih fokus pada lembaran-lembaran kartu. Mereka tidak merasa heran, apalagi takut, sebab bau dupa memang sebagai bumbu kematian di kampung itu. Akan tetapi, tidak dengan dupa yang Jusup sulut malam itu.

 

Tidak lama berselang, mulut mereka mulai menguap. Sepasang matanya memerah, tatapannya suram dan berkunang-kunang. Beberapa menit berikutnya, orang-orang telah tergeletak dalam bungkusan sarung dengan dibuai mimpi-mimpi indahnya.

 

Malam seperti telah dibungkan kesunyiam, hitam dan mencekam. Tak ada suara-suara makhluk apa pun yang dapat terdengar. Bahkan, angin enggan menggoyangkan sehelai daun kates di samping kuburan.

 

Malam lengang. Cicak yang menempel di dinding tiba-tiba terpelanting, jatuh ke lantai. Jangkrik dan hewan malam lainnya tak ada yang bersuara. Rumput-rumput dan dedaunan merunduk, kunang-kunang menepi, lampu teplok yang menyala remang, tiba-tiba padam. Malam menjadi gelap, sunyi dan benar-benar mencekam.

 

Dalam gelap, Jusup melangkah perlahan, mendekati kuburan, mencabut dua patok kayu, dan mencakar-cakar gundukan tanah itu dengan tanganya. Selang beberapa saat, beruntunglah ia melihat cangkul di dekat orang-orang yang tidur mendengkur.

 

Diambilah cangkul itu, digalilah kuburan tersebut, terus digali dan digali. Jantungnya tiba-tiba tersirap. Helaian kain kafan mulai terlihat samar-samar. Terciuam bau tanah bercampur bau busuk menyeruak. Ia membungkuk. Keringat panas menetes. Tangannya meraup bagian perut mayat yang masih terbungkus kain kafan. Ia bayangkan sosok bayi dalam perut perempuan itu adalah harta karun, yang dapat merubah hidupnya menjadi kaya.

 

Dengan cekatan ia buka tali yang melingkar di perutnya. Menyingkap beberapa helai kain putih itu. Ia raba-raba perut buncitnya. Tanpa berpikir panjang, cangkul yang masih ia genggam erat, diarahkan tepat ke pusaran perut si mayat, lalu ditekan kuat-kuat, dan diiriskannya hingga perut mayat itu terburai. Ia kembali menekan gagang cangkul lebih kuat, tepat pada pusaran, dan menariknya kembali kuat-kuat. Usus-ususnya keluar merambat, air ketuban merembas. Perut mayat itu terkoyak.

 

“Harta karun!” desisnya saat kepala bayi itu mulai terkuak.

 

Sontak, tiba-tiba Jusup tersentak dan melompat. Tubuhnya gemetar. Ada suara lenguhan dari dalam perut mayat itu. Ya, suara mirip desahan mulut dan hidung bayi tersebut. Kembali ia membungkuk. Bayi itu ia angkat perlahan-lahan. Dilihatnya jemari tangannya bergarak-gerak. Mulutnya terus mendesah seperti hendak memohon sesuatu pada Jusup, namun Jusup tidak peduli dengan suara tangis bayi itu.

 

Jusup setengah tersenyum dan khawatir. Akan tetapi tiba-tiaba ia ingat nasib istri dan anaknya yang hidup sengsara, sering mendapat caci makian dan umpatan tetangga. Termasuk cacian mulut busuk mayat perempuan itu sewaktu dia masih hidup.

 

Mulut bayi itu masih terdengar mendesah, jemari tangannya bergerak-gerak. Jusup tidak mau menunda kesempatannya untuk memotong jemari bayi tersebut. Ia pun dengan sigap langsung menggigit kuat-kuat jemari bayi itu. Sontak, Jusup tersentak mendengar jerit melengking dari mulut bayi itu. Hampir saja bayi tersebut terlempar.

 

Darah mengucur dari batang jemarinya yang telah patah. Jeritannya kian melengking.

 

Tidak seberapa lama, bayi itu lekas ia letakkan kembali di atas perut ibunya yang sudah hancur terkulai, bersama usus-ususnya yang merambat. Segeralah Jusup meraih cangkul, menimbun bayi yang masih menjerit-jerit itu.

 

Gumpalan-gumpalan tanah terus ia lempar ke lubang kuburan, ke tubuh bayi itu. Semakin banyak timbunan tanah pada lubang itu, pun semakin samar-samar suara jeritan bayi tersebut. Ia terus saja menimbun, lambat laun suara jeritan yang melengking panjang pun kian mereda, dan semakin menghilang, hingga akhirnya lenyap dari permukaan.

 

Malam kembali pada kesunyian yang mencekam. Jusup dengan senang meninggalkan kuburan, membawa jemari bayi itu menuju ke rumah Maksum. Wallahu a’lam bissawab. ©️KyaiPamungkas.

Paranormal Terbaik Indonesia

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.

Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)

NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)

NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)

WEBSITE: paranormal-indonesia.com/
(Selain web di atas = PALSU!)

NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)

ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)


Related posts

AKTIFNYA GUNUNG-GUNUNG DI NUSANTARA, PERTANDA MAKIN REDUPNYA KEKUASAAN?

Kyai Pamungkas

Kisah Kyai Pamungkas: TERHIPNOTIS PATUNG RORO JONGGRANG

Kyai Pamungkas

Kisah Mistis: HARTA GAIB GUNUNG SALAK

Kyai Pamungkas
error: Content is protected !!