Kisah Kyai Pamungkas

Kisah Mistis: SI PAHIT LIDAH, SETIAP UCAPAN JADI KENYATAAN

Kisah Mistis: SI PAHIT LIDAH, SETIAP UCAPAN JADI KENYATAAN

SEBUAH KESAKSIAN…

 

KEHIDUPAN ini memang sebuah misteri. Tak ada seorang pun yang mampu memastikan jalan hidup yang akan dilaluinya. Dalam banyak kasus, apa yang kita inginkan atau kita cita-citakan terkadang malah tak tercapai dan pergi menjauh. Sebaliknya, apa yang tidak kita inginkan justeru datang dengan sendirinya. Mungkin, itulah yang dikatakan sebagai takdir. Manusia hanyalah bisa berusaha untuk mengubahnya. Namun siapa yang bisa menolak kehendak dari takdir yang telah digariskan?

 

Mungkin, aku adalah salah seorang yang tak kuasa mengubah takdirNya. Kenyataan pahit memang harus kulalui, dan aku harus mempersiapkan diriku untuk kuat menghadapi segalanya.

 

Berikut ini adalah lembar-lembar Catatan Hitam yang terjadi dalam hidupku. Sebelum kuceritakan kisahku itu, maka terlebih dahulu akan kubeberkan latar belakang kehidupanku yang sebenarnya, dengan maksud agar kiranya pembaca bisa mengikuti jalan cerita ini dengan lebih jernih.

 

Aku adalah anak sulung dari 4 bersaudara dari suatu keluarga yang hidup sederhana. Kami bertempat tinggal di suatu daerah yang terletak di pinggiran kota Lhokseumawe, yang dikenal pula dengan sebutan “Kota Dollar”. Maklum saja, di kota ini memang ada beberapa proyek vital yang mendatangkan devisa amat besar bagi negeri ini, seperti: Mobil Oil, PT. Arun, PT. KKA, PT. AAF, PT. PIM, dan yang lainnya, yang yang rata-rata merupakan proyek eksploitasi hasil bumi.

 

Jauh sebelumnya, tepatnya pada tahun 1971, Bapakku pindah tugas dari CV. Lampung Beranting loging ke PT. Kraft Kertas Aceh (KKA) yang terletak di Aceh Tengah. Di tempat baru inilah Bapak dan Ibuku bertemu jodoh. Kedua orangtuaku kemudian menikah di kota Lhokseumawe. Kota ini pula yang menjadi tempat kelahiranku, dan juga adik-adikku.

 

Kami pun tumbuh dan dibesarkan di kota kaya ini, dalam suasana yang penuh dengan kebersehajaan.

 

Bapakku lahir di Metro, yang dulunya merupakan ibu kota Lampung Tengah. Bapakku berasal dari keluarga petani, sedangkan Ibuku lahir di Jakarta, bahkan beliau pernah sekolah di sebuah sekolah dasar negeri (SDN) yang terletak di daerah Sumur Batu, Jakarta.

 

Kini aku telah tumbuh dewasa. Bahkan aku sudah berkeluarga dan dikaruniai seorang puteri yang cantik. Usianya baru 1 tahun 6 bulan dan sedang lucu-lucunya. Kami, maksudnya aku, anak serta isteriku, selama beberapa waktu yang lalu terpaksa tinggal menumpang di rumah orangtua isteri alias mertuaku. Persisnya di sebuah desa yang agak jauh letaknya dari pusat keramaian kota Lhokseumawe. Jika ingin jalan-jalan ke kota, kami terpaksa harus menunggu mobil angkutan pedesaan, atau ojek sepeda motor yang siap mengantarkan kami ke kota. Jaraknya kurang lebih 10 Km.

 

Tinggal menumpang di rumah mertua sesungguhnya pilihan yang sangat pahit bagiku. Tapi apa daya. Statusku yang masih pengangguran memang memaksaku untuk memilih kenyataan pahit ini. Aku sadar sepenuhnya bahwa aku memang belum bisa memberikan nafkah lahir kepada isteri dan anakku. Melihat keadaanku yang masih menganggur, aku juga tidak bisa memaksa isteriku untuk tinggal menumpang di rumah kedua orang tuaku. Apalagi mereka hanya mengandalkan hidup dari pensiunan Bapak yang tidak seberapa besarnya.

 

Aku telah mencoba untuk bekerja apa saja, yang penting bisa menghasilkan uang. Namun entah bagaimana, kesialan selalu saja mengikutiku. Berulang kali melamar pekerjaan, bahkan jadi kuli bangunan sekalipun, tak pernah bisa diterima. Kenyataan ini membuatku Sangat bersedih hati.

 

Karena sulit mendapatkan uang untuk menafkahi isteri, maka sering kali aku nekad melakukan kejahatan. Misalnya saja mencuri ternak tetangga, mencopet di kota, atau membongkar rumah orang dan mengambil barang-barangnya, atau pun berjudi. Berkat kemampuan gaibku membaca berbagai kemungkinan yang akan terjadi, maka aku selalu saja selamat dalam melancarkan aksi-aksi jahatku. Kalau berjudi, aku juga selalu menang sebab aku bisa melihat kartu-kartu lawanku, walau mereka menyembunyikannya dengan rapat.

 

Belakangan, aku mulai sadar bahwa perbuatan itu sangatlah terkutuk. Karena itu walau sangat kesulitan dalam hal keuangan, aku selalu menahan, diri untuk tidak berbuat jahat. Hal ini terutama kulakukan karena aku merasa tak tega hati memberi makan anakku dengan uang haram. Ya, batinku memberontak, sebab aku menginginkan kelak anakku akan menjadi wanita yang salehah.

 

Memang, bila dibandingkan dengan adikadikku, nasib yang kualami sangatlah buruk. Adikku yang nomor 2, sebut saja namanya BB, keadaannya jauh lebih baik jika dibandingkan diriku. BB kini bekerja di ibukota propinsi Aceh, Banda Aceh. Dia ikut bersama Om J, adik Ibuku.

 

Adikku yang nomor 3 namanya TT. Di keluarga dia adalah anak tunggal wanita yang dulunya sangat manja. Namun, syukur Alhamdulillah kehidupan menuntunnya pada kenyataan yang sangat baik. TT sekarang bekerja di Korem 011 Lilawangsa dan sudah menjadi PNS. Sementara itu si bungsu, namanya PP. Adikku ini baru saja tamat SMU pada tahun 2007 lalu dan berniat melanjutkan kuliah ke perguruan tinggi.

 

Meskipun Bapak hanyalah sebagai buruh biasa dan sejak dulu kehidupan keluarga kami sangatlah sederhana, namun setidaknya dia begitu memperhatikan pendidikan anakanaknya. Beliau sering bilang begini, “Biarlah Bapak tidak mewariskan harta kepada kalian, yang penting kalian bisa sekolah setinggi-tingginya.”

 

Sebagai anak sulung, hidupku memang penuh dengan warna. Masa kanak-kanak yang kulalui terasa begitu indah. Terlebih bila kuingat masa-masa berkumpul bersama saudara-saudara sepupu anak dari Budeku da luar kota. Bila masa libur sekolah tiba, kami semua biasanya ngumpul di tempat Mbah Kakung yang ada di Lhokseumawe. Kami bermain bersama-sama di sana dengan penuh kegembiraan.

 

Masih kuingat, kala liburan dan berkumpul bersama, setiap pagi kami jalan-jalan ke tepi laut untuk melihat-lihat indahnya pemandangan samudera. Terlebih ketika nun di ufuk timur sana sang surya terbit dan tersenyum dengan begitu indahnya menyapa pagi menjelang. Kami pun menyambutnya dengan tawa ria.

 

Masa kecilku dulu juga selalu dihiasi dengan hari-hari yang penuh dengan kegiatan keagamaan. Setiap waktu sholat Maghrib tiba, aku selalu ke masjid. Selepas sholat Maghrib, aku pergi ke pengajian di rumah Bu Haji yang terletak di belakang rumahku.

 

Berkat kerajinan dan ketekunanku dalam belajar mengaji, syukur Alhamdulillah, aku sudah beberapa kali khatam Al-Qur’an. Ditambah lagi kala itu aku juga kerap mengikuti program pesantren di sekolahku, sehingga dengan demikian dapat dikatakan pengetahuanku dalam bidang ilmu keagamaan memang terbilang lumayan.

 

Di tengah-tengah semua kenangan indah itu, ada satu kenyataan yang tak kumengerti. Ya, dalam diriku ini seperti ada sebuah kekuatan besar yang amat sulit kukendalikan. Aku sendiri tak tahu bagaimana awal mulanya hingga kekuatan yang berbau gaib itu melekat pada diriku. Yang pasti, aku tak kuasa untuk mengendalikannya, apalagi memprogramnya.

 

Sebelum kubeberkan tentang kekuatan aneh itu, akan aku ceritakan dari awal peristiwa yang sangat memilukan yang telah menimpa keluarga besarku. Semua kepiluan ini sejatinya seperti berawal dari diriku, meski aku sendiri tidak ingin melakukannya. Namun sekali lagi. Sepertinya ada kekuatan sangat besar yang menggerakkannya dari luar alam bawah sadarku. Yang pasti, aku hanya bisa diam, tak bisa melakukan apapun. Hanya Gusti Allah SWT saja yang menentukan segalanya.

 

Masih kuingat waktu itu, persisnya sekitar 20 tahun yang silam. Kenangan masa yang indah, yang kemudian berubah menjadi kepiluan. Bila teringat masa itu, air mataku tak terasa menetes. Hatiku pun hancur lebur dibuatnya.

 

Masa kanak-kanak hingga lulus SD, memang tak ada kejadian aneh yang menyertai diriku. Hal itu baru terjadi setelah aku duduk di bangku SMP.

 

Ya, pada tahun 1991, aku sudah duduk di bangku SMPN 3 Lhokseumawe. Di sekolah, aku merupakan salah seorang siswa terbaik. Walaupun tidak pernah mendapatkan beasiswa, namun nila-nilai dan kemampuan belajarku mampu menyaingi siswa-siswi yang menonjol lainnya. Tak hanya itu, kegiatankegiatan di sekolah juga selalu kuikuti dengan rajin dan sepenuh hati. Salah satunya adalah kegiatan kepramukaan.

 

Sebuah kenyataan yang sangat aku benci, meski aku sendiri tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi pada diriku, mulai kurasakan sejak awal mula masuk SMP. Seperti ada dorongan dari luar alam bawah sadarku yang datang dengan perlahan-lahan, namun aku merasakan itu semua. Aku tak tahu apa itu. Yang jelas dalam diriku seperti ada makhluk atau sesuatu yang membuatku harus melakukan apa yang tidak ingin kulakukan. Aku sama sekali tak bisa melawannya. Aku hanya bisa pasrah. Dan bila kekuatan itu datang, maka aku sendiri tidak tahu apa yang akan terjadi pada diriku. Aku sadar, bahkan sepenuhnya tahu bahwa apa yang hendak kulakukan itu adalah salah dan bertentangan dengan hukum agama dan hukum negara. Namun sekali lagi, aku tak bisa melawan dorongan itu.

 

Sebagai seorang bocah polos dan awam, ketika itu aku memang tak tahu dengan sebentuk kekuatan yang berbau mistik yang melekat pada diriku. Meski aku sendiri sering mendengar pantangan-pantangan yang diwariskan oleh para leluhurku, namun ketika itu bagiku semuanya hanyalah omong kosonc belaka. Aku sama sekali tidak percaya dengan kekuatan mistik atau pantangan-pantangan berbau takhyul.

 

Tapi persoalannya bukan terletak pada sikapku yang percaya atau tidak percaya terhadap itu semua. Kekuatan itu datang dengan sendirinya dan menyatu di dalam jiwa ragaku.

 

Entah dari mana hal itu berawal. Hanya, menurut cerita Bapak dan Ibuku, sewaktu kecil aku memang sering terkena sakit demam yang kadang datang dengan tiba-tiba. Kalau sakit ini datang, maka seketika wajahku berubah pucat bagai mayat, nafsu makan berkurang secara drastis, dan yang paling penting aku sering menceracau yang bukan-bukan.

 

“Kalau sudah menceracau, omonganmu berubah seperti kakek-kakek yang banyak tahu segala persoalan.” Begitulah menurut cerita Bapakku.

 

Ketika aku duduk di bangku SMP, penyakit itu kadang-kadang juga masih datang. Seketika kurasakan kepala pusing bukan kepalang. Dan yang membuatku tidak mengerti dengan sakit yang kualami adalah setiap kali demam itu datang, maka seketika badanku rasanya lemas, dan mataku rasanya kepingin tidur terus.

 

Aku memang tak bisa melawan rasa kantuk itu. Anehnya. ketika aku tidur, maka aku selalu memimpikan hal yang sama. Anehnya mimpi itu datang disaat aku sakit demam. Secara singkat beginilah gambaran dasi mimpiku itu: “Dari jauh nampak kulihat setetes air, tepatnya setitik embun yang lama-kelamaan berubah menjadi seperti gelombang air laut yang siap menerjangku. Melihat ini, seketika aku kepingin menjerit dan ingin bertari sekuat tenaga untuk menghindari gelombang yang siap menerjangku itu. Tapi apa daya! Sekujur tubuhku tak bisa digerakkan lagi. Aku pun hanya bisa diam melihat gelombang yang siap menghantamku itu?”

 

Begitulah mimpi aneh yang kualami. Mengapa kukatakan aneh? Sebab mimpi yang sama selalu saja terjadi setiap kali demam itu datang menyerangku. Ya, setitik air bagai embun, kemudian berubah menjadi gelomban yang siap menerjangku, dan ketika gelombang itu bergerak cepat siap melumat tubuhku, maka seketika itu pula aku terjaga. Tubuhku menggigil, nafasku tersengal-sengal menahan ketakutan yang sedemikian sempurna menjalar di seluruh jaringan syarafku.

 

Entah apa makna mimpi itu. Hingga kini aku tak pernah mengetahuinya. Meski sekali waktu aku sempat menceritakan mimpi itu pada Bapakku, namun beliau tidak serius menanggapinya.

 

“Mimpi itu hal yang biasa. Mungkin hanya bunga tidur saja. Makanya, kalau mau tidur jangan lupa berdoa!” Begitulah jawaban Bapak yang sama sekali tidak bisa memuaskanku. Mungkin jawaban Bapakku itu memang hanya untuk membuatku agar jangan panik. Atau mungkin pula saat itu dia memang tidak menganggap senus persoalan mimpi kanak-kanak yang kualami.

 

Ketika duduk di bangku kelas 3 SMP. aku pernah terserang demam yang sangat hebat. Masih kuingat, waktu itu Bapak meminta tolong orang pandai yang bernama Om Dodis, orang Ambon, untuk melihat keadaan sakrtku yang sebenarnya. Anehnya, sewaktu Om Dodis membaca mantera, aku malah menangis dan ketakutan. Mengapa aku harus menangis? Sebab, tanpa sepengetahuan siapa pun, kecuali mungkin Om Dodis, ketika itu aku bisa melihat keberadaan makhluk yang sangat menyeramkan di hadapanku. Begitu menyeramkan, sehingga aku menangis dan ketakutan.

 

“Anak ini mempunyai suatu kelebihan yang tidak dimiliki anak lainnya. Karena itulah dia harus menjaga sebuah pantangan yang sangat penting,” kata Oom Dodis ketika itu di hadapan Bapakku, dan aku sempat mencuri dengar.

 

“Kelebihan seperti apa yang dimaksud Pak Dodis?” Tanya Bapak.

 

“Dia akan memilki lidah yang sangat tajam. Apa pun yang diucapkannya akan jadi kenyataan. Karena itu, Bapak harus mendidiknya agar pandai mengendalikan emosi, sehingga tidak terucap kata-kata yang membahayakan dari lidahnya,” jelas Oom Dodis kurang dan lebihnya.

 

Bapakku hanya diam. Aku menduga, Bapak tidak mudah percaya dengan kata-kata Oom Dodis. Sebagai bocah yang belum banyak mengerti, aku pun tidak terlalu menanggapinya.

 

“Ingat, anak ini jangan sampai berjalan melewati tali jemuran pakaian, apalagi berdiri di dekat tiang jemuran. Itulah pantangan yang aku maksudkan!” Tandas Oom Dodis.

 

Meskipun Oom Dodis bersungguhsungguh dengan semua perkataannya, tapi Bapak yang tidak percaya hal-hal mistik tidak menggubrisnya. Buktinya, Bapak tidak pernah menyampaikan hal tersebut kepada diriku.

 

Aku sendiri juga menganggap Om Dodis hanya mengada-ada. Sebagai anak usia SMP, rasanya lucu juga mendengar pantangan agar aku jangan sampai melewati atau melintas di bawah tiang tali jemuran pakaian. “Ah, Oom Dodis pasti hanya bercanda. Memangnya ada apa dengan tiang jemuran pakaian itu?” Batinku kala itu.

 

Tapi, aneh bin ajaib. Apa yang dikatakan memang tidak main-main, terbukti benar. Setiap kali aku melewati tali jemuran pakaian, maka pasti aku merasakan sesuatu terjadi didiriku. Ya, aku merasa seperti lemas, tidak bertenaga. Apalagi jika aku cobacoba berdiri di dekat tiang jemuran pakaian yang ada pakaian menggantung di atasnya, maka seketika itu di dalam tubuhku seperti ada kehidupan lain, yang entah itu apa, aku sama sekali tak tahu.

 

Kalau hal ini dipikirkan secara nalar sehat, tentu saja tidak masuk akal. Tapi begitulah yang terjadi dengan diriku.

 

Semakin tumbuh dewasa, aku juga mulai merasakan ada keunikan yang lain pada diriku. Misalnya saja, aku bisa mendapatkan ilham tentang sesuatu yang akan terjadi. Bahkan, aku juga bisa menebak angka-angka togel yang akan keluar. Yang lebih menakjubkan lagi, aku bisa hapal dengan sendirinya Doa Sayyidina Akassah dengan baik dan cepat, padahal aku tidak pernah membaca atau mempelajari doa yang katanya amat mustajab ini.

 

Keunikan yang sesungguhnya tidak pernah kukehendaki itu pun terus saja berkelanjutan. Dan seperti yang pernah dikatakan Oom Dodis, bahwa aku akan memiliki lidah yang sangat tajam, atau dalam arti apa pun yang aku ucapkan akan jadi kenyataan, pada akhirnya memang terbukti.

 

Aku masih ingat persis awal mula pembuktian tentang ketajaman lidahku itu. Kejadian berlangsung di bulan Ramadhan. Seperti biasa, ummat Muslim mengerjakan shalat tarawih di musholah dan masjid-masjid. Selesai shalat Isya biasanya diadakan ceramah atau kuliah keagamaan.

 

Waktu itu di masjid tempat aku tarawih, ba’da tarawih, juga diisi kegiatan ceramah keagamaan. Kebutulan penceramahnya adalah Imam masjid. Mungkin karena merasa telah akrab dengan para jamaah, maka begitu bangun dari duduknya, dia langsung saja ceramah di depan para hadirin. Sang imam masjid ceramah tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu.

 

Melihat hal yang tidak lazim ini, spontan terucap dari mulutku kalimat seperti ini, “Aduh… tidak sopan sekali Bapak ini. Masa ceramah tidak mengucapkan salam terlebih dahulu. Emangnya kita-kita ini dianggap mayat apa? Nanti, dia sendiri yang akan jadi mayat!”

 

“Husy, diam! Nanti dia dengar malah nggak enak lho!” Ujar temanku yang bernama Heri, yang ketika itu kebetulan duduk berdampingan denganku.

 

Barangkali, kata-kataku itu memang keterlaluan. Tapi sejujurnya, kata-kata yang keluar dari mulutku itu memang meluncur deras begitu saja. Begitu cepat dan terjadi secara spontan. Dan yang paling penting, itu bukanlah kemauanku, melainkan ada sesuatu kekuatan yang mendorong dari alam bawah sadarku. Aku juga berani bersumpah, bahwa apa yang kukatakan itu bukan yang berarti keluar dari hatiku, melainkan ada sesuatu yang berperan dari luar hati nuraniku.

 

Ringkasnya, aku tidak ingin berkata-kata seperti itu. Entah siapa yang mengatakannya, sebab kalimat yang keluar dari mulutku dengan tanpa kesengajaan itu mengakibatkan suatu kejadian yang sangat tak terduga. Pak imam yang baru saja memulai ceramahnya tiba-tiba yoboh kelantai, hanya beberapa saat setelah kata-kata berisi sumpah serapah itu meluncur deras dari dalam mulutku. Tak hanya itu, secepat itu pula sang imam masjid meninggal dunia.

 

Kejadian tersebut tentu saja membuat geger. Orang-orang menduga bahwa sang imam meninggal akibat serangan jantung. Hanya aku sendiri yang merasa risau, sebab aku jelas-jelas merasa bahwa kenyataan tragis yang menimpa sang imam adalah karena sumpah serapah yang keluar dari dalam mulutku. Tetapi tentu saja bukan aku yang melakukannya, melainkan sebentuk kekuatan gaib yang bersemayam dan menyatu dengan tubuhku.

 

CONTOH LAINNYA adalah seperti yang menimpa beberapa orang tetanggaku. Suatu ketika aku merasa sangat terhina oleh perbuatan mereka. Mungkin karena tahu kejahatan yang telah kulakukan, maka diamdiam mereka melaporkanku ke polisi. Tentu saja agar aku ditangkap.

 

“Orang ini harus dipenjara, Pak! Selama ini dia selalu membuat resah, sebab banyak di antara kami yang sering kecurian akibat perbuatannya!” Begitulah salah satu isi laporan mereka yang sempat aku dengar.

 

Rupanya, polisi juga sudah lama mengincarku. Karena itu, beg tu mendengar laporan warga yang sedemikian, maka mereka langsung saja menangkapku.

 

Ringkas cerita, setelah aku ditangkap, maka aku langsung dijebloskan ke dalam penjara di Polsek itu. Nah, karena merasa sangat terhina, maka ketika itu aku bersumpah di dalam hati, “Siapa yang menjebloskan aku ke penjara ini, maka anak-anak mereka akan mengalami kehilangan seperti aku dipisahkan dengan isteri dan anakku!”

 

Aneh bin ajaib! Tidak lama kemudian, anak Pak Hamzah, salah seorang tetanggaku, mati tergilas truk. Sedangkan anak Pak Ali meninggal ditelan tsunami beberapa waktu yang lalu. Memang, kedua orang inilah yang memprovokasi warga untuk melaporkanku kepada polisi.

 

Ketajaman lidahku juga pernah kubuktikan pada diri R, salah seorang yang sangat menghinaku. Bayangkan, kepada teman-temannya dia berkata begini tentang diriku, “Coba kalian lihat, si Dedi yang katanya jagoan itu sampai sekarang masih tinggal di rumah mertua. Apa nggak malu dia?”

 

Meskipun R mengatakan itu dengan bisik-bisik, tapi entah bagaimana aku bisa mendengarnya dengan jelas. Karena itu dalam hati aku langsung menyumpahinya, “Lihat saja, sebentar lagi kau pasti akan jatuh miskin!”

 

Sekali lagi, aneh bin ajaib! Selang tiga hari setelah itu, R memang kena tipu orang. Surat dan nomor polisi mobil Avanza miliknya ternyata palsu. Pihak berwajib mengambil paksa mobil itu dan langsung menetapkan R sebagai tukang tadah mobil curian. Akibatnya, R berurusan dengan pihak kepolisian. Kabarnya, dia telah menjual hampir seluruh hartanya untuk menyogok aparat agar dirinya tidak dipenjara.

 

Cerita lainnya yang tak kalah aneh justeru menimpa keluargaku sendiri, dalam hal ini orang tua dan adikku yang bungsu. Ceritanya, ketika itu anakku sedang demam. Karena itulah dia menangis terus. Aku kesal karena mendengar suara tangis anakku, sementara semua orang sepertinya tidak peduli. Mungkir karena kesal itulah maka semua orang yang ada di rumah itu jadi sasaran kemarahanku.

 

“Rasakan sendiri kalian juga nanti akan terkena demam!” Demikian sumpah yang keluar dari dalam mulutku.

 

Aku sendiri amat sulit untuk mempercayainya. Tak berapa lama setelah sumpah itu kutumpahkan, semua orang di dalam rumah itu memang langsung terkena serangan demam.

 

Karena berbagai keanehan yang telah kutunjukkan, terutama sekaitan dengan cerita serangan demam mendadak yang menimpa keluargaku itu, maka suatu ketika Ibuku berpesan demikian, “Kau ini jangan suka cepat emosi. Jangan tergesa-gesa dalam mengambil keputusan. Kau harus melihat bagaimana akibatnya kepada orang lain. Keputusan yang baik adalah keputusan yang menguntungkan orang lain. Tidak semata-mata untuk keuntungan diri sendiri. Apalagi hanya untuk memuaskan nafsumu saja.”

 

Ibu sepertinya sangat khawatir dengan ketajaman lidahku. Sesungguhnya, aku pun merasakan hal yang sama. Tapi, bila kesal itu datang, maka kekuatan itu juga datang. Kekuatan inilah yang sesungguhnya telah melontarkan sumpah serapah itu, sehingga aku sulit untuk mengendalikannya.

 

Satu hal yang selalu kupertanyakan, “Mengapa aku bisa memiliki kelebihan gaib seperti ini? Bagaimana asal mulanya?”

 

Sekitar tuhan 2004 silam, aku sengaja berkunjung ke Lampung. Persisnya ke tempat keluarga besar Bapakku yang ada di Desa Tempuran, Bedeng 12 A, Metro. Kehidupan di sana amat damai. Udaranya sejuk, dengan pemandangan alam yang indah.

 

Dalam kunjungan itu, aku juga menyempatkan diri sowan ke Mbah Kakung, yang walau sudah sepuh namun tetap menjadi seorang petani yang tangguh. Aku banyak mendengar cerita tentang perilaku Mbah Kakung semasa muda dulu. Beliau dikenal sebagai seorang yang suka menolong, penjaga pabrik, dan seorang jawara yang bisa berbuat kejam bila ada orang yang usil padanya. Beliau juga dikenal memiliki sejumlah ilmu gaib, warisan dari leluhurnya.

 

Kata Bapakku, sikap dan prilaku persis seperti Mbah Kakung. Pepatah mengatakan, “Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya” Kebetulan Bapak anak lelaki pertama dari Mbah Kakung, sedangkan aku anak sulungnya. Mungkin benar pepatah itu. Aku memang menuruni tabiat Mbah Kakung. Bahkan, mungkin juga kekuatan gaib yang bersarang dalam tubuhku adalah turunan dari Mbah Kakung

 

Entahlah! Yang pasti, aku tidak tahan hidup terus begini. Aku merasa bergemilang dosa, sebab sudah amat sering membuat orang lain celaka, atau tertimpa musibah, hanya karena disebabkan oleh sumpah serabah yang keluar dari mulutku.

 

Aku sendiri sudah berusaha keras untuk mengendalikan diriku, misalkan saja dengan rajin mengaji, shalat, dan mengerjakan puasa. Akan tetapi kekuatan misterius itu sepertinya selalu coba menggerakkanku untuk membuat sumpah serapah sehingga orang lain mengalami celaka.

 

Ya, aku masih suka marah-marah sama siapa saja, dan orang yang kumarahi itu pasti akan mendapatkan kemalangan.

 

Aku tidak tahu siapa yang melakukan ini pada diriku. Tapi aku yakin perbuatanku ini dilarang oleh agama. Namun aku tidak kuasa untuk menahan arus kekuatan misterius itu. Pernah aku hampir mau bunuh diri hanya gara-gara keinginanku tidak dituruti. Tapi ada sesuatu yang menahan agar aku jangan perbuatan nista itu.

 

Untuk meredam tabiatku, kini aku memitih hanya tinggal di rumah orang tuaku, walaupun aku banyak merepotkan mereka. Alhamdulillah mereka mengerti dengan keadaanku.

 

Aku memutuskan untuk tinggal bersama mereka, sebab aku tidak tahan dengan sesuatu yang ada di tubuhku. Biarlah kini aku di rumah orang tuaku, sebab aku takut kalau berada di luaran akan berbuat dosa lagi.

 

Saya juga mencoba mengisi hari-hari di rumat orang tua dengan membuka usaha biro iklan kecil-kecilan. Namun sejujurnya, usaha ini belum menunjukkan perkembangan yang berarti.

 

Jujur saja, sudah lama sekali saya ingin menceritakan masalah yang amat berat ini kepada penulis. Namun, baru sekarang saya berani mengutarakannya. Sungguh, saya tidak tahu, kapan masa keprihatinan yang saya alami akan berakhir.

 

Saya ingin usaha biro iklan saya ini maju. Dengan rejeki dari usaha ini, saya berharap bisa membeli sepetak tanah persawahan. Saya mau bertani, sebab saya yakin hanya dengan bertani jiwa saya bisa tenang dan damai. Demi anak, dan demi masa depannya yang lebih baik, apa pun akan saya lakukan asalkan halal dan diridhoiNya.

 

Saya tidak malu menceritakan masalah ini, sebab saya ingin kembali ke jalan yang benar-benar lurus.

 

Hari demi hari yang kujalani penuh dengan kesedihan. Aku merasa amat berdosa pada anak dan isteri. Selama menikah, kami hanya bisa tinggal di rumah mertua. Walaupun ada kerja, namun hasilnya tidak pernah terkumpul.

 

Saya sering menangis setiap kali menonton video berisi Dakwah Islam. Saya kerap berpikir, apakah semua keadaan yang saya alami ada kaitannya dengan masa lalu saya yang hitam, sehingga karma hinggap di kehidupan saya? Aku hanya bisa mengambil hikmah dari semua yang kualami. Aku mencoba untuk tidak berputus asa, sebab aku yakin pintu hidayah akan senantiasa diberikanNya. Puji syukur Gusti Allah SWT. Wallahu a’lam bissawab. ©️KyaiPamungkas.

Paranormal Terbaik Indonesia

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.

Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)

NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)

NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)

WEBSITE: paranormal-indonesia.com/
(Selain web di atas = PALSU!)

NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)

ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)


Related posts

Panggonan Wingit: MAKAM GANTUNG EYANG JOYODIGDO, BLITAR

Kyai Pamungkas

Kisah Kyai Pamungkas: PERBURUAN HARTA KARUN BUNG KARNO

Kyai Pamungkas

Kisah Kyai Pamungkas: MALING SAKTI

Kyai Pamungkas
error: Content is protected !!