Kisah Mistis: ASAL USUL AYAM SAWUNGGALING
Sebuah batu berukuran cukup besar dan berbentuk seperti tarangan ayam yang berada di Balasklumprik, Wiyung, Surabaya, sampai detik sangat dikeramatkan. Banyak yang berangapan bahwa batu ini memiliki sawab yang luar biasa. Ada cerita yang mengatakan inilah batu Sawunggaling yang pernah menetaskan telur ayam yang ditemuka dalam hutan. Oleh karena ditetaskan di batu, ayam Sawunggaling dikenal sebagai ayam aduan pilih tanding…
Sebagai kota yang mendapat sebutan Kota Pahlawan tidaklah mengherankan apabila di kota yang menjadi ibu kota Provinsi Jawa Timur ini banyak menyimpan jejak para pahlawan. Baik pahlawan yang telah dicatatkan namanya dalam buku sejarah nasional maupun pahlawan yang diyakini keberadaannya dalam mitos masyarakat setempat. Salah satu bukti yang diyakini menjadi jejak perjalanan salah satu pahlawan yang dimiliki masyarakat Surabaya adalah batu pstarangan yang berada di Balas Klumprik, Wiyung, Surabaya.
Masyarakat meyakini batu berbentuk tarangan (tempat ayam bertelur) ini pernah digunakan Sawunggaling untuk menetaskan telur yang ditemukannya di dalam hutan. Telur itu merupakan telur hasil persilangan antara ayam dengan elang. Sehingga setelah menetas karena dierami oleh seekor elang hutan, maka jadilah ayam jago Sawunggaling menjadi seekor ayam aduan yang sulit untuk dikalahkan.
Mengenai Sawunggaling yang kini makamnya berada di Lidah Wetan, Menganti, Surabaya ini juga memiliki beragam versi. Adapun versi kisah Sawunggaling menurut tutur tinular yang ada di kawasan Lidah Wetan adalah seperti yang diceritakan oleh Cak Dowi berdasarkan cerita tutur yang diturunkan secara turun-temurun.
Suatu peristiwa diceritakan terjadi pertengahan tahun 1686. Rombongan Adipati Surabaya Raden Mas Jayengranayang menunggang kuda singgah di wilayah pinggiran Kadipaten Surabaya, yakni di Desa Lidah Wetan. Waktu itu kawasan ini masih berupa hutan dan daerah rawa-rawa yang tidak begitu jauh dengan aliran sungai Kali Brantas.
Pada waktu tiba di desa Lidah Wetan itu, sang adipati berhenti di depan rumah Kepala Desa Lidah Wetan, Wangsadrana. Saat itu Raden Mas Jayengrana yang didampingi penasehat kadipaten Surabaya Arya Suradireja masuk dan beristirahat di rumah kepala desa itu. Sedangkan para pengawalnya tetap berada di luar bersama warga desa sembari memberi makan kuda-kuda yang sebelumnya mereka tunggangi.
Saat dilakukan jamuan makan siang, Adipati Jayengrana dan Arya Suradireja dilayani anak semata wayang kepala desa bernama Rara Blengoh yang kala itu telah berusia sekitar 19 tahun. Melihat perawan desa yang diperkenalkan Kades Wangsadrana sebagai anaknya, membuat hati Jayengrana bergelora. Kebekuan hati selama empat tahun menduda ditinggal isterinya yang meninggal dunia benar-benar mencair, bahkan memanas. Paman Arya Suradireja dan Kades Wangsadrana yang melihat pandangan mata sang adipati, bisa menebak gejolak hati “raja” Surabaya itu.
Kendati masih terbayang almarhumah isterinya yang sudah melahirkan lima orang putera, namun hasrat untuk menjadikan anak gadis Kades Wangsadrana sebagai pendamping hidupnya tak terbendung. Kegelisahan sang adipati dipahami oleh Wangsadrana dan Arya Suradireja. Tetapi Wangsadrana berpura-pura tidak tahu dan pergi ke luar rumah. Saat itulah Jayengrana menyampaikan hasratnya kepada Arya Suradireja untuk meminang Rara Blengoh sebagai calon isterinya.
Singkat cerita, lamaran sang Adipati Jayengrana yang serta merta itu disampaikan dengan sangat hati-hati oleh Arya Suradireja kepada Wangsadrana. Dengan perasaan hati gembira, tetapi raguragu menghadapi situasi itu yang mendadak itu, akhirnya Wangsadrama minta izin untuk menyampaikan kepada anaknya. Rara Blengoh benar-benar terkejut menerima informasi dari ayahnya. Namun setelah diberi pengertian dan status adipati yang sudah empat tahun menduda, Rara Blengoh menerima pinangan itu.
Setelah ditentukan waktunya, upacara pernikahan pun diselenggarakan di desa Lidah Wetan. Sengaja tidak dilaksanakan di Kadipaten Surabaya, untuk menjaga hati dan perasaan lima putera jayengrana dari isterinya yang terdahulu. Ke lima putera Jayengrana waktu itu adalah Raden Mas Sawungkarna berusia 9 tahun, adiknya Raden Mas Sawungsari (7 tahun), Raden Mas Jaya Puspita (6 tahun) dan dua anak bungsu lahir kembar, Raden Mas Suradirana dan Raden Mas Umbulsangga (4 tahun). Setelah pernikahan dan resmi menjadi isteri Raden Mas Jayengrana, Rara Blengoh mendapat gelar kehormatan Raden Ayu Dewi Sangkrah. Namun, sang adipati tetap tdak membawa isterinya ke kadipaten Justru sang Adipatilah yang sering menginap di rumah kepala desa Lidah Wetan itu. Hampir setiap hari Jayengrana menyempatkan diri ke isteri mudanya itu. Ini membuahkan kehamilan Raden Ayu Dewi Sangkrah. Oleh karena kesibukan di kadipaten, Jayengrana makin jarang ke Lidah Wetan. Sehingga sang adipati tidak menyaksikan kelahiran jabang bayi yang diberi nama Jaka Berek. Nah, andaikata dibuat sebuah hitung-hitungan secara normal, berdasarkan masa-masa berseminya cinta Jayengrana dengan Raden Ayu Dewi Sangkrah, maka diperkirakan tahun kelahiran sang bayi yang kemudian dikenal dengan nama Sawunggaling itu adalah tahun 1687.
Zaman itu, keadaan situasi membuat kesibukan Jayengrana sebagai adipati Surabaya luar biasa. Inilah yang membuat Sang adipati tidak sempat lagi mendatangi isterinya, karena situasi yang cukup gawat dampak dari pemberontakan Untung Surapati terhadap Belanda. Situasi ini berdampak buruk bagi Surabaya. Jayangrana benar-benar tak ada waktu berkunjung ke Lidah wetan.
Hari berganti bulan, bulan berganti tahun, usia Jaka Berek pun meningkat remaja. Pertengahan tahun 1704, saat Jaka Berek memasuki usia 17 tahun, ia meminta izin kepada ibunya, untuk menemui sang ayah di kadipaten Surabaya. Melihat kesungguhan hati si anak, maka kakeknya Wangsadrana berusaha meningkatkan ilmu dan kemampuan Jaka Berek. Disamping mengaji Al-Quran dan taat menunaikan ibadah shalat, Jaka Berek juga dibekali ilmu beladiri silat dan kanuragan, serta tatakrama di lingkungan kadipaten.
Sebenarnya keinginan untuk mencari sang ayah ini lantaran Jaka Berek atau Sawunggaling muda sudah merasa tidak tahan lagi atas hinaan yang diterimanya dari kawan-kawannya. Banyak kawan-kawannya yang mengatainya sebagaia anak yang tidak memiliki bapak. Oleh sebab inilah yang menjadikannya sangat mantab untuk mencari siapa sejatinya ayahnya dan kenapa dia bisa meninggalkan dirinya bersama ibunya.
“Bu, siapakah ayahku sebenarnya. Apakah dia masih hidup? Kalau masih hidup dimana dia sekarang berada dan kalau sudah meninggal dimana pula kuburnya?” tanya Sawunggaling pada sang ibu.
Sang ibu kemudian memberitahu siapa sejatinya ayahnya. Mendengar hal itu Sawunggaling kaget bukan kepalang. Sebab, dia tidak menyangka bahwa dirinya adalah putra dari salah seorang yang paling berkuasa di Surabaya kala itu. Dan sang ibu sebelum Jaka Berek pergi meninggalkan kampung halamannya ia dibekali oleh sang ibu dengan Cinde Puspita. Menurut cerita sang ibu Cinde Puspita ini adalah peninggalan sang ayah dan menurut si ibu pulalah Cinde Puspita tersebut yang akan mempertemukan Jaka Berek dengan ayahnya. Dalam perjalanan mencari ayahnya itu Sawunggaling ditemani oleh seekor ayam jago aduan.
Sembari mencari ayahnya ia sering mengadu ayam jagonya dengan ayam jago milik orang-orang yang ditemuinya disepanjang perjalanan. Dengan mengadu ayam jagonya itulah Sawunggaling mendapat bekal uang yang cukup banyak. Akan tetapi uang hasil kemenangan dari adu jago ini tidaklah dinikmati sendirian. Dia membagi-bagikan uang hasil kemenangan adu jagonya itu kepada orang-orang yang kurang mampu.
Semenjak kecil Jaka Berek memang dikenal sebagai anak yang gemar mengadu ayam jagonya dengan kawan-kawan sepermainannya. Dalam permainan mengadu ayam jago itu tidak sekalipun ayam jago milik Sawunggaling pernah mengalami kekalahan. Dan adapula yang menceritakan bahwa ayam jago milik jaka berek ini ditetaskan oleh seekor elang. Sehingga meski wujudnya ayam namun kekuatannya seperti kekuatan elang. Dan tak heran hal ini yang menyebabkan ayam milik Jaka Berek ada yang menandingi.
Perjalanan Jaka Berek dalam mencari ayahnya sampai juga di depan benteng kedaton kadipaten Surabaya. Pada waktu itu nampak beberapa orang laki-laki tengah mengadu ayam jagonya masingmasing. Seolah mendapat bisikan bahwa dengan mengadu ayam tersebut akan mempertemukannya dengan sang ayah Jaka Berek pun segera ikut mengadu ayamnya.
Benar saja, saat mengadu ayamnya semua ayam jago milik lelaki yang ada di depan kedaton surabaya berhasil dikalahkannya. Uang yang diperoleh dari hasil taruhan pun semakin menggunung namun karena waktu itu Jaka Berek hanya ingin mencari ayahnya uang hasil kemenangangannya itu tak sepeser pun ia ambil. Ia membagi-bagikan uang kemenangan tersebut kepada siapapun yang memintanya.
Pembagian uang yang dilakukan oleh Jaka Berek ini tersebar dengan begitu cepatnya. Dan hal ini membuat para masyarakat yang ada dipelosok daerah segera bergegas ke kota guna meminta uang kepada Jaka Berek. Kabar tentang Jaka Berek ini sampai juga ditelinga Adipati Jayengrana yang tak lain adalah ayah dari jaka Berek sendiri. Mendengar ada pemuda yang membagi-bagikan uang itu sang adipati menyuruh kedua putranya yakni Sawungrana dan Sawungsari untuk melihat Siapa sosok pemuda itu.
Sawungrana dan Sawungsari sendiri merasa senang mendapat tugas ini karena pada dasarnya ia sangat penasaran untuk melihat pemuda tersebut dan ingin menjajal ayam jago milik jaka berek yang kekuatannya telah menjadi perbincangan orang selama ini. Singkat cerita ketiganya bertemu dan akan segera bertarung. Sebelum bertarung Sawungrana dan Sawungsari ingin bertaruh dengan jaka berek. Kedua putra Adipati Jayengrana ini akan mengabulkan semua keinginan Jaka Berek andaikata mampu mengalahkannya.
Oleh karena waktu itu seluruh uang hasil kemenangannya telah diserahkan kepada orang yang membutuhkan maka ia menggunakan lehernya sebagai barang taruhan. Sehingga apabila ia kalah dalam adu jago tersebut kedua putra dari Adipati Jayengrana ini boleh menebas lehernya. Hal ini tentu saja membuat putra adipati tersebut merasa senang. Dan pertandingan adu jago itu pun segera dimulai.
Dalam pertandingan adu jago tersebut meski ayam jago kesayangan Jaka Berek yang diberi nama si bagong itu dikeroyok oleh dua ayam jago milik putra adipati Jayengrana namun pada akhirnya ayam jago milik Jaka Bereklah yang berhasil memenangkan pertandingan itu. Dan seperti apa yang dijanjikan sebelum Jaka Berek menuntut haknya. Saat itu Jaka Berel tidak meminta uang atau pun kekayaan namun dia hanya ingin meminta bertemu dengan sang adipati.
Akan tetapi karena melihat kesaktian ayam milik Jaka Berek tersebut tmbullan niat jahat kedua putra adipati tadi. Bukannya memenuhi janjinya kedua putraadipati surabaya itu justru membawa lari ayam milik jaka Berek. Terang saja hal ini membuat marah Jaka Berek. Oleh karena kemarahannya Jaka Berek kemudian mengejar kedua putra adipati tadi hingga Sampai kedalam katumenggungan.
Oleh karena merasa ketakutan dengan kemarahan Jaka Berek kedua putra adipati Jayengrana yakni Sawungrana dan Sawungsari ini lantas meminta pertolongan kepada ayahnya. Sesampai di ketemanggungan, Jaka Berek menyampaikan tujuannya meminta kembali ayamnya dan dia juga mengatakan akan mencari bapaknya yang bernama Jayengrono. Sebagai bukti ia memperlihatkan cinde yang diberikan ibunya. Mendengar hal tersebut, Jayengrono tidak percaya begitu saja. Untuk membuktikannya, Jaka Berek lantas diberi tugas merawat 144 ekor kuda.
Selama merawat kuda-kuda itu tidak boleh ada satupun bulu kuda yang rontok. Jika sampai rontok, maka Jaka Berek dianggap mengaku-aku saja sebagai anak Jayengrono. Ternyata diam-diam Jayengrono merasa yakin, Jaka Berek memang anaknya. Singkat cerita Sawunggaling berhasil diangkat menjadi anak dari Jayengrana setelah melakukan persyaratan tertentu dan kelak Swunggaling akan menjadi Adipati Surabaya.
“Secara umum kisah tentang batu tersebut memang ada hubungannya dengan Sawunggaling. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan apabila di batu petarangan itu banyak orang yang melakukan tirakat,” tutur Cak Dowi.
Cak Dowi juga menambahkan bahwa mereka yang ngalab berkah di batu petarangan ini umumnya ingin agar mendapat sawab gaib agar ayam aduan atau binatang yang ingin ditandingkannya menjadi hebat dan sulit untuk dikalahkan.
“Umumnya mereka yang ngalab berkah di tempat tersebut adalah mereka yang sedang mengikuti lomba atau pertandinga: tertentu. Dengan melakukan ritual dan mengambil sedikit lumut yang ada di batu tersebut diyakini akan membawa keberuntungan tersenderi bagi mereka yang ngalab berkah ditempat itu,” tambahnya.
Selain itu tempat menetaskan ayam aduan yang kelak membawa Sawunggaling menduduki tahta adipati di Surabaya, banyak orang yang percaya bahwa dengan ngalab berkah di tempat tersebut juga akan mendapat kenaikkan derajat. Wallahu a’lam bissawab. ©️KyaiPamungkas.

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.
Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)
NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)
NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)
WEBSITE: paranormal-indonesia.com/
(Selain web di atas = PALSU!)
NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)
ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)