Kisah Kyai Pamungkas: MAHLUK PENGUSUNG KERANDA
Empat sosok pocongan datang dengan mengusung keranda. Mereka siap merenggut nyawa korbannya. Si korban mati mendadak dengan kondisi mengenaskan…
Senja semakin tua. Matahari bergegas tenggelam meninggalkan kerak-kerak kehidupan di perkampungan terpencil itu, Ada sendikala jingga semburat di kaki langit dan sesekali angin kemarau menghempas keras menyibak rerimbunan rumpun bambu. Suasana benar-benar lengang. Dingin! Terlebih beberapa gerombot rumah penduduk tampak menutup pintu. Pemandangan seperti ini berjalan tiga pekan belakangan ini, setelah desa Wonotirto tertimpa petaka yang masih menjadi misteri. Banyak penduduk yang mati, yang hanya karena sakit sehari. Pagi sakit sorenya meninggal, begitu sebaliknya. Orang-orang mengatakan sebuah pageblug, tapi aku lebih suka mengatakan musibah atau epidemi.
“Bencana ini harus segera dicegah, Pak Lurah!” kataku di balai desa kemarin. Orang tua itu cuma tersenyum tawar, sembari melirik ke orang-orang yang piket di pendopo petang itu.
“Paling tidak, Bapak harus segera melaporkan ke Kabupaten, agar diterjunkan tim medis. Harus, pak Lurah!” tegasku.
Pak Lurah menghela nafas panjang. Dihisapnya kreteknya dalam-dalam. Tampak roman mukanya menegang memberi kesan ia tengah berpikir keras.
“Percuma, Nak!” tukasnya pelan.
“Maksud bapak, percuma bagaimana?” tanyaku serius.
“Benar, apa yang menimpa desa ini sebuah musibah. Namun, ini bukan sembarang musibah.
“Artinya?” potongku tak sabar.
“Artinya, penyakit aneh yang menimpa desa Wonotirto sangaja disebar oleh makhluk gaib!” tegasnya.
Aku terperangah mendengar ucapan yang konyol itu.
“Anda, boleh percaya boleh tidak. Tapi sebagai Kepala Desa yang sudah lebih dua dasawarsa menjabat di sini, saya hafal betul dengan kasus semacam ini,” paparnya sungguh-sungguh. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala atas keyakinan Pak Lurah yang tidak masuk akal itu.
Belum tuntas perbincangan kami, sekonyong-konyong dari luar pendopo tampak beberapa orang tergopoh-gopoh untuk menghadap. Kami berdiri.
“Ada orang mati, Pak Lurah!” kata orang yang baru saja datang itu.
“Siapa?” tanya Pak Lurah kian tegang.
“Pak Bayan!”
“Ya, Tuhanku!” pekik Pak Lurah.
Lalu, sela orang yang satunya, “Mbah Dipo, sesepuh kita juga meninggal!”
Kontan hal ini membuat Pak Lurah berdiri kelu. Bahkan, kulirik bibir Pak Lurah tampak gemetar seraya berkomat-kamit mengucap sesuatu.
Memang, diam-diam kurasakan ada sesuatu yang ganjil malam itu. Orang-orang yang sedang piket di kelurahan tiba-tiba pergi tanpa pamit. Entah kemana, namun Pak Lurah membiarkannya.
Bukan itu saja, sepanjang jalan yang kami lalui tak satupun rumah warga yang membuka pintu, bahkan hampir semuanya mematikan lampu -lampu. Herannya, Pak Lurah justru berteriak-teriak dari jalan memerintahkan agar semua cahaya dimatikan dan orang-orang segera keluar dari rumah masing-masing, melekan di luar rumah.
Aku diam saja. Tidak menanyakan mengapa keganjian semacam Itu justru didukung, bahkan malah diperintahkan oleh pimpinan desanya. Di rumah duka, Pak Lurah langsung menghampiri mayat yang telah terbujur kaku di ruang tengah. Tanpa cahaya, seluruh keluarganya ada di luar rumah meski semuanya meratapi jenazah itu. Dengan menggunakan korek api, Pak Lurah berusaha membuka kain panjang yang menutupi jasad beku itu. Akupun ikut melongoknya, dan betapa aku terkesiap tatkala wajah mayat itu tampak mengerikan. Matanya membeliak ke atas, mulutnya meringis dalam ekspresi sekarat, dan yang paling membuatku tak habis mengerti leher mayat itu tampak gosong seperti dijerat.
“pak!” bisikku di dekat Pak Lurah. Lelaki itu rupanya sudah tanggap dengan bisikanku. Ia mengajakku keluar.
“Seluruh penduduk yang mati ya seperti itu. Seperti dijerat tali. Semua akibat makhluk pengusung keranda…” ucap Pak Lurah nyaris tak terdengar.
Selanjutnya Pak Lurah bercerita.
Makhluk itu akan menghampiri orang-orang yang tidur sebelum dinihari. Kemudian menurunkan kerandanya seraya mengukur tubuh korban dengan alat ukur maut. Barang siapa tubuhnya terukur, ia akan menggelepar sejenak lalu ditemut sudah jadi mayat. Masih kata Pak Lurah, pengusung keranda itu terdiri dari empat makhluk gaib berseragam pocong. Ia perlahan-lahan turun dari langit, lalu mencari manusia yang sedang pulas.
Mendengar cerita konyol itu, bulu kudukku merinding jadinya. Tapi di sudut hatiku yang lain, aku merasa geli. Terlalu takhyul, kebohongan yang tiada tara, bahkan cenderung menyesatkan. Sebagai pemuda desa yang terpelajar, aku menentang persepsi konyol Pak Lurah itu, Aku masih tetap bersikukuh, semua jantaran wabah penyakit menular yang belum terdeteksi jenisnya.
Berhati-hati aku menjadi bingung memikirkan bencana yang sangat tragis itu. Hingga pada suatu hari, malam Jum’at, aku sengaja ingin membuktikan kekonyolan Pak Lurah itu. Selepas petang, aku segera merebahkan badan di balai-balai. Apalagi tubuhku memang terasa letih setelah seharian pontang-panting melayat orang mati,
Entah mengapa, rasa kantuk benar, pelita oleng oleh tiupan angin yang menerobos celah-celah dinding rumahku. Dinginnya udara malam benar-benar menusuk tulang sum-sum. Maklum, musim kemarau panjang. Suasana benar-benar sepi. Keluargaku ayah, ibu, dan adikku sudah hampir sebulan ini mengungsi keluar daerah. Aku hanya sendirian di rumah. Terlebih, tenaga dan pikiranku banyak diperlukan oleh Pak Lurah. Memang, satu-satunya pemuda yang sempat mengenyam pendidikan cukup lumayan tinggi di desa kami hanyalah aku. Meski, saat itu cuma bersekolah di STM, sudah termasuk tinggi.
“Han, Burhan…!” sebuah suara sayup-sayup menyentuh daun telingaku. Tak ayal, akupun terjaga. Mencoba membuka pintu depan. Suasana di luar rumahku sangat senyap. Gulita malam in seolah membalut pandangan mataku. Di langit ada taburan gemintang. Setelah aku celingukan sejenak, ternyata tak ada sosok manusia yang mencariku. Akhirnya aku balik lagi ke balai-balai.
“Burhan… buka pintunya, Han!” suara itu muncul lagi. Aku diam saja. Tak menggubris. Lama-lama ada angin berhembus cukup keras menabrak kamarku, si berbarengan dengan suara deritan pintu depan. Aku ingin bangkit, namun entah mengapa sekonyong-konyong tubuhku sepertinya dibelenggu!
Aneh! Ajaib! Aku ingin berteriak, tapi cuma tercekat di kerongkongan. Aku bingung. Aku kesal. Bahkan aku mulai takut dengan keadaan diriku.
Entah darimana asalnya, tahu-tahu ada asap bergulung-gulung memasuki bilikku. Asap itu akhirnya membentuk sebuah bayangan yang sangat aneh, yang begitu cepat akhirnya membentuk wujud berupa empat pocongan mengusung keranda.
“Yang ini belum tidur,” ucap salah satu makhluk menakutkan itu.
“Ayo, segera kita ukur saja!” usul makhluk satunya.
Waktu itu ruangan bilikku dipenuhi aroma dupa ratus. Juga kembang kenanga bercampur bau orang mati. Anyir! Hii… Makhluk pocong itu menurunkan keranda di samping tempat tidurku, serta merta mengeluarkan kain ka an, alat ukur orang mati, kapas dan minyak wangi, Degup jantungku kian berputar kala keempat makhluk itu mengukurku, Wajah pocong itu sudah parah, kulitnya banyak mengelupas, darah dan nanah berbau amis, berulat, tak hanya itu, banyak belatung menggelantung serta melata di kain kafannya! Perutku terasa mual tatkala tangan-tangan bangkai itu mengukur tubuhku.
“Aneh, tidak pas ukurannya. Ayo kita cari yang lain saja…!” ujar salah satu pocong itu.
“Tidak. Kita coba menjerat lehernya…” kilah yang satunya.
Aku terkesiap. Mereka mengeluarkan seekor ular welang untuk dililitkan ke leherku. Ular berbisa itu mendesis-desis di depan hidungku. Rasa geli dan dingin dari kulit ular yang kasar bersisik itu merambati dadaku, kemudian melingkari leherku dan membelit erat. Tapi, setiap kali membelit ular itu mental dan lepas.
Aku benar-benar pasrah. Aku memejamkan mata. Saat rasa takut dan jijikku memuncak itu, sekonyong-konyong aku ingat sesuatu, sebuah mantra! Ya, mantra itu, dulu kubaca dari sebuah buku kecil yang tidak sengaja kutemukan di almari. Isinya singkat saja, hingga mudah kuhafal.
“Kun, kem, kem, kun….
jadilah aku alif-Mua, jadilah
aku Alif-ka
Mingkem, seluruh niat buruk, sungkem seluruh jagad tak berderajad
Yahu Allah, Yahu Allah, lebur jadi abu
oleh Alif-Mu oleh Alif-ku
Kun-kem, kem kun fayakun..”
Begitulah terjemahan bebas mantra itu. Entah bagaimana arti sesungguhnya, entah bagaimana makna sebenarnya, yang jelas setelah kubaca acak dalam hati, seluruh apa yang ada di depanku raib seketika, meninggalkan aroma kembang dan dupa yang menyengat!
Aku terjaga seketika. Kucubit lenganku sendiri, ternyata aku tidak mimpi. Di tengah kebingunganku itu sayup-sayup dari arah Selatan jalan terdengar jentan histeris berkali-kali. Aku melompat, membuka pintu depan dan menerobos pekatnya maiam.
“Ada apa, Bu…?” tanyaku tergopoh pada perempuan tengah baya yang meraung-raung meratapi sesuatu.
“Woglah, Nak, bapaknya anak-anak, meninggal… !”
“Innalillahi wa innaiilaihi rojiuun…! ucapku terperangah. Akupun melangkah ke dalam rumah itu. Dengan lampu senter kusorot wajah yang terbujur itu. matanya terbeliak, mulutnya meringis, lehernya gosong, persis tercekik tangan-tangan perkasa.
Malam semakin merangkak, seolah mendesak ambang fajar. Malam yang berlari dalam misteri dan teka-teki yang akhirnya bisa terjawab setelah kedatangan seorang Kyai di desaku. Sang Kyai mengatakan semua itu adalah ulah seorang yang menganut ilmu sesat, yang dapat memerintahkan arwah orang mati untuk mencari tumbalnya. Setelah diadakan pengajian selama 40 malam, akhirnya semuanya usai. Dan, si penganut Ilmu sesat itu kabarnya terkena penyakit lumpuh yang berlangsung hingga bertahun-tahun lamanya. Wallahu a’lam bissawab. ©️KyaiPamungkas.

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.
Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)
NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)
NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)
WEBSITE: paranormal-indonesia.com/
(Selain web di atas = PALSU!)
NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)
ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)