Kisah Kyai Pamungkas:
BRERONG SI TUYUL BALI
Tuyul atau makhluk liliput yang biasa mencuri uang di pasar atau di rumah orang kaya ternyata tak hanya menjadi momok bagi orang Jawa atau tempat Iain di Indonesia. Di Bali yang dikenal dengan leak dan aneka kejadian gaib dan tempat angkernya juga mengenal tuyul.
“Tapi kami di Bali menyebutnya sebagai brerong, yakni makhluk kecil seram dan berbau busuk yang juga suka mencuri uang, membuktikannya cukup dengan melihat apakah seseorang yang dulunya miskin tiba-tiba kaya, tapi didahului dengan kehilangan kematian orang yang mereka cintai,” ungkap Mangku Jangkir (64) dukun di Sanur Bali yang telah Iebih dari 20 tahun akrab dengan dunia brerong ini.
Menurut Mangku Jangkir, brerong biasanya bersemayam di jurang atau di tebing, tapi dengan perantaraan orang sakti dia bisa dijinakkan dan dilatih untuk menjadi pencuri andal. Syaratnya hanya satu, harus ada nyawa anak atau suami/isteri yang dikorbankan.
“Mereka yang memelihara brerong biasanya dalam waktu singkat bisa membangun rumah bertingkat, membeli mobil dan kehidupannya super kaya, padahal tidak punya bisnis besar bahkan biasanya sebelumnya sempat bangkrut,” tambahnya.
Di Glogor Carik, satu tempat yang hanya 7 km arah selatan kota Denpasar, menurut Mangku Jangkir merupakan tempat yang paling banyak ditemui brerong. Penduduk di tempat itu yang umumnya petani sejak beberapa tahun silam berubah profesi menjadi pengasong atau pemijat di pantai Kuta.
“Mereka biasanya melengkapi diri dengan brerong sambil berjualan di pantai, sehingga sang brerong dengan Ieluasa mengutil dompet atau uang sang turis ataupun sesama pengasong di pantai, ungkap Jangkir.
Pengalaman di lumat brerong diceritakan oleh Made Sari, pedagang patung asal Kintamani yang sehari-harinya berjualan di Kuta. “Uang saya di dompet tiap hari ada saja yang hilang, tapi dipilih hanya Rp.5.000, bila tak ada uang jenis itu brerong tak mengambilnya,” ungkap dia.
Menurut Jangkir, brerong memang seperti tuyul, harus diajak berkeliling ke tempat orang menyimpan uang, bisa di pasar, hotel, restorant maupun di tempat lain. “Tapi kalau masuk ke bank umumnya brerong malah kebingungan karena uang di sana terlalu banyak,” ujar Jangkir menandaskan. Dia sendiri pernah berburu brerong sampai ke Kediri Jatim, di tempat itu ada dukun yang menjajakan brerong di pinggir jalan seperti pedagang kembang di tempat ziarah atau pekuburan.
”Waktu itu saya bersama orang ingin kaya dari Renon yang ingin membeli brerong tapi tak bisa memilih, saya terpaksa mencarikannya setelah berkeliling Jawa Timur selama seminggu baru ketemu pedagangnya,” ujar dia belum lama ini. Di tempat itu Jangkir dan calon orang kaya itu harus membuat sajian berisi tumpeng dan kambing, juga memberi uang mahar karena brerong tidak dibeli tapi ditukarkan dengan mas kawin. Jangkir kemudian disuruh memasukkan tangannya ke dalam toples yang diambil dari sebuah sumur tua, kemungkinan sumur mati.
“Begitu memasukkan tangan, terasa ada jutaan rangrang atau semut merah yang menggigit tangan saya, konon itu gigitan brerong, tapi saya tak melihat makhluknya, kata pak dukun di Kediri itu, saya harus mengambil salah satunya dan menyerahkan pada sang calon pemelihara,” ujar Mangku Jangki.
Setelah prosesi yang gampang-gampang sulit itu, brerong lalu dibawa ke Bali oleh pemeliharanya, tak lama kemudian ada keluarga si pemelihara brerong itu yang meninggal. “Perjanjiannya memang begitu, kalau mau pelihara brerong harus mengorbankan keluarga tersayangnya, meninggalnya juga sengsara, ada karena kecelakaan, atau mati mendadak,” tambahnya.
Sekarang ini keluarga dimaksud sudah memiliki 5 petak sawah seluas 7 hektar di beberapa tempat di Bali, kebun cengkeh, hotel dan restaurant di Nusa Dua. “Juga rumahnya seperti istana raja, bertingkat dan semua dindingnya menggunakan marmer, tapi saya sudah tidak berhubungan Iagi dengan mereka, takut jadi sasaran brerong yang suka menggigit telunjuk itu,” tambahnya.
Menurut Jangki, harga brerong bervariasi, sejak kejadian pertama di tahun 2000 itu sampai sekarang telah puluhan kali dia mengantar orang ke Kediri untuk membeli brerong.
“Dan kebanyakan dari mereka sekarang ini telah jadi kaya raya, walaupun tidak bekerja keras seperti kita-kita kebanyakan,” ungkap Jangki. Mereka umumnya hanya mondar-mandir di pasar, atau ke tempat-tempat yang ditenggarai banyak uangnya. Selain rela kehilangan keluarga tersayang menurut Jangki mereka juga umumnya berprilaku aneh.
“Tak mau makan makanan yang masih hangat, mereka blasanya makan nasi dingin, ikan laut mereka juga tak mau. karena itu akan membuat brerong itu semakin busuk. juga mereka akan selalu membangun rumah baru setiap tahun sekali tak peduli di halaman tak ada tempat membangun lagi rumah barupun dirubuhkan agar bisa membangun rumah yang lebih bagus itu memang persyaratan sang brerong,” ujar Jangki.
Mengenai bentuknya, brerong memang bisa nampak bila dekat bulan purnama, saat dia harus dimandikan dengan air bunga kenanga. “Bentuknya seram, setinggi 10 inci, berambut pirang, ada taring dan giginya tajam, kaki pendek tapi tangannya ada 4, itu mungkin yang membuat dia bisa membawa uang banyak tiap kali diajak berkeliling pasar,” paparnya.
Si pemilik brerong bisa ditandai dengan, penampilannya yang kumal, baju tak pernah ganti, rambut tak pernah dikeramas, mirip seperti brerong peliharaannya. Tapi di dalam dompetnya harus selalu ada uang tunai Rp 560.000,-. “Jumlah itu sebagai persyaratan agar sang brerong mau diajak bekerja sama, darimana mereka menentukan jumlah saya juga kurang paham,” tambahnya.
Menghindarkan rumah dari serbuan brerong menurut Mangku Jangki sangat mudah, cukup dengan menaruh pot yang berisi tanaman kaktus liar bukan kaktus hias di halaman depan. “Tanaman berduri mirip jarum pentul itu memang ditakuti brerong, dan si pemilik menghindarkan mengajak brerongnya ke tempat yang ada kaktusnya, juga brerong takut sama daun suji yang berwarna hijau karena membuat sang brerong silau, jadi musuhnya sebenarnya adalah kaktus dan daun suji,” tutur Jangki menyakinkan.
Dari puluhan orang yang diketahuinya memelihara brerong sebagian besar tak bisa menikmati hidup kaya raya itu. Dia tak bisa meninggalkan rumah lebih dari 2 jam tanpa menengok brerongnya. “Karena setiap saat brerong harus diberi makan berupa telur katak yang dicari di got atau di tengah sawah, tanpa itu brerong akan melarikan diri kembali ke jurang atau ke tebing-tebing,” tambahnya.
Hanya saja walaupun bisa jadi kaya raya mendadak si pemilik brerong juga senantiasa terlihat seperti orang sakit-sakitan. “Biasanya badannya kurus seperti asma padahal tidak mengidap penyakit asma, suaranya seperti menghilang dan hanya terdengar seperti berbisik-bisik, mungkin karena memang terbiasa tidak bersuara keras agar tak mengganggu tidur sang brerong,” paparnya.
Seperti dialami Made Losan (61) mantan pemilik brerong di salah satu kampung di Bali Selatan. “Saat itu saya masih umur 30 tahun, beli brerongnya di Jatim, harganya waktu itu sudah jutaan,” ujar Losan berkisah.
Enam bulan setelah brerong ada di rumahnya, anak bungsu yang lelaki meninggal tanpa sebab. Tapi Losan tak kaget karena itu memang perjanjiannya. Tapi setahun kemudian dia sudah bisa punya rumah bertingkat, 5 mobil dan tabungan bermilyar-milyar.
“Waktu itu saya hanya jadi pengepul bandeng dan udang di kampung saya, menjualnya ke Sidoarjo, sekali kirim tak sampai 10 kantong, keuntungannya perhari tak banyak, tapi orang heran hidup saya super mewah.” ungkap Losan.
Konon si brerong menguras uang para pengepul bandeng dan udang yang di Sidoarjo itu, karena uang yang ditemukannya menumpuk di kasur adalah uang yang beredar di Jatim bukan di kawasan Bali. “Tapi uang itu uang asli bukan uang palsu, dan saya temukan masih dalam bendelan yang utuh menumpuk di bawah kasur saya setiap pagi,” paparnya.
Si brerong bukan hanya bertandang ke pengepul nener dan bandeng yang uangnya wangi, seringkali juga dia masuk pasar dan membabat uang dagang ikan asin. “ltu ketahuan karena uangnya berbau busuk mirip bau ikan asin, tapi tak jarang juga dia menyelusup ke tempat tukang pijat atau ke karaoke dan tempat hiburan, uangnya penuh belepotan lipstik,” ujarnya ketawa.
Hanya saja setelah dia sampai di puncak kejayaannya, bisnisnya lancar dan mobilnya bertambah terus, si brerong melarikan diri ke pemilik lain. Istilah Losan dia menjualnya dengan harga yang kurang pantas. “Penyebabnya ya itu tadi, saya merasa seperti selalu berada dalam keadaan sesak nafas, meriang demam dan suara seperti hilang yang tentu saja membuat orang curiga dan menjauhi saya,” tambahnya.
Tentang rumah yang harus dihancurkan itu padahal masih baru, menurut Losan itu adalah bisikan si brerong. Dia konon tak mau tinggal di rumah yang sudah berumur lebih dari 5 tahun, jadi harus ada rumah baru yang dikorbankan untuk huniannya.
“Bandingkan dengan manusia, rumah warisannya yang berumur 30 tahun saja masih dengan setia dihuninya walau tanpa perawatan yang berarti, artinya brerong lebih tinggi seleranya dari manusia biasa.” ujar Losan mengakhiri perbincangan. ©️KyaiPamungkas
KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.
Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)
NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)
NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)
WEBSITE: paranormal-indonesia.com/
(Selain web di atas = PALSU!)
NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)
ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)