BUNGA LIMAN AZIMAT KESELAMATAN PENAMBANG BATU MULIA
Demi menghindari kecelakaan pada saat proses penambangan, penduduk desa senantiasa memberikan sesaji bunga liman di lokasi tambang batu Fire Opal.
Trend batu mulia atau batu akik tidak hanya merambah lapisan masyarakat di daerah perkotaan saja. Tetapi para petani yang ada di pedesaan sekarang juga turut mengikuti trend merebaknya minat pada batu mulia atau batu akik, dengan beralih profesi menjadi penambang batu akik dadhakan. Dari yang semula bekerja sebagai seorang buruh, petani, kuli bangunan dan pekerjaan lainya, sekarang mereka beramai ramai beralih berprofesi sebagai penambang batu akik. Fenomena seperti ini dialami oleh penduduk desa yang ada di Kecamatan Tirtomoyo, Wonogiri.
Selama ini Kecamatan Tirtomoyo di kenal sebagai salah satu sentra penghasil batu akik di Kabupaten Wonogiri. Selain sumber daya alam bahan batu akik yang berlimpah ruah, Tirtomoyo menjadi salah satu penghasil tambang batu Fire Opal atau Berjad Api, atau juga di kenal dengan sebutan batu Segara Geni. Dari beberapa titik lokasi titik penambangan yang ada di Kecamatan Tirtomoyo, dua diantaranya ada di Desa Girirejo dan Dusun Manggal, yang masuk di wilayah Desa Hargantoro.
Tambang batu Fire Opal selama ini memang tidak pernah di sentuh lagi oleh para penambang. Meski harga batu tersebut sudah relatif mahal apabila beredar di pasar batu mulia. Di karenakan kurangnya animo masyarakat terhadap pasar batu mulia saat itu, sehingga membuat penduduk enggan mengais rejeki dari hasil tambang batu akik. Akan tetapi sejak merebaknya batu mulia atau batu akik yang menjadi trend batu mulia belakangan ini, tambang batu Fire Opal yang semula di tinggalkan sekarang mulai di rambah dan di tambang kempali oleh penduduk desa.
Warga yang semula berprofesi sebagai petan dan buruh, kini beralih profesi menjadi penambang batu Fire Opal yang lebin menjanjikan keuntunganya. Tidak bagi Warga di dua desa, Hargantoro dan Girirejo, tetapi seluruh warga desa yang ada di sekitar Kecamatan Tirtomoyo, beramai ramai mendatangi lokasi penambangan batu Fire Opal. Oleh karena itu, untuk melihat lokasi penambangan batu yang di buru para penggemar batu akik dan penghobi batu mulia tersebut, secara khusus misteri menilik lokasi penambangan dengan menempuh medan yang sangat berat di atas tebing gunung.
“Lokasi penambangan yang ada di Desa Girirejo sekarang ini sudah di tutup oleh pihak perhutani, karena di kawatirkan merusak alam,” kata Katno, salah satu warga Desa Girirejo yang juga berprofesi sebagai penambang batu Fire Opal dadakan.
Menurut keterangan Katno, hampir setiap hari ratusan penduduk desa berbondong-bondong mendatangi lokasi penambangan. Meski medan yang harus tempuh dari desa terdekat dengan lokasi penambangan memakan waktu kurang lebih satu jam, tetapi hal itu tak membuat para penambang dadakan mengurungkan niat mereka. Jalan yang harus di tempuh selain terjal, juga berkelok kelok menanjak curam berbukit di lereng gunung.
Tak mudah menempuh perjalanan hingga ke lokasi penambangan apabila tidak memiliki stamina yang kuat. Jalan setapak tersebut pada jaman dahulu hanya dipakai para perambah kayu di dalam hutan. Oleh sebab itu apabila tak mengenal medan jalan setapak dengan baik, sudah dapat dipastikan akan tersesat berputar putar terus di dalam hutan. Selain jalan setapak yang berkelok kelok menerabas lebatnya hutan jati, jalan yang harus dilewati tersebut harus menyusuri sungai dan menerabas air terjun.
“Meski dengan kondisi medan yang sangat sulit, tetapi setiap harinya jalur pendakian selalu ramai dilalui para penambang,” tambah laki laki paruh baya yang juga berprofesi sebagai petani tersebut.
Sulitnya jalur ke lokasi penambangan tak membuat Katno menyia nyiakan kesempatan mengais rejeki dari trend batu mulia. Biarpun lokasi penambangan di tutup batu polo kethek oleh pihak perhutani, tetapi tidak demikian bagi warga desa sekitar. Pihak perhutani sendiri sangat mengkawatirkan dengan dampak kerusakan lingkungan yang di timbulkan dari para penambang ‘dhadhakan’ ini. Larangan penambangan selain untuk menjaga keselamatan para penambang sendiri, lokasi tambang dengan kemiringan yang sangat curam di kawatirkan akan membuat tebing menjadi longsor.
Oleh karena alasan tersebut, maka lokasi penambangan yang ada di Desa Girirejo sekarang ini tertutup untuk penambangan. Di lokasi jalan masuk kedalam hutan pihak perhutani memampang sebuah papan peringatan yang berbunyi, “Dilarang menambang di dalam hutan.” Larangan ini demi menjaga kelestarian alam di lokasi penambangan yang ada di Desa Girirejo.
“Pihak aparat setempat menjaga akses jalan masuk ke dalam hutan dan di lokasi penambangan,” terang Katno.
Di dua tempat lokasi penambangan cara menambangnya tidaklah serupa. Di lokasi penambangan Desa Manggal, para penambang harus beradu maut dengan cara menaiki tangga setingi hampir 25 meter di tebing puncak gunung. Para penambang harus memahat urat batu yang ada di atas tebing untuk mencari sebongkah batu Fire Opal, yang besarnya tak lebih dari ibu jari orang dewasa. Dari bekas pahatan yang ada diatas tebing, terlihat banyak lobang goa di dinding tebing gunung.
Resiko jatuh tak lagi di hiraukan oleh para penambang, memanfaatkan trend batu mulia demi mengais rejeki membuat mereka nekad tak mempedulikan nyawa Sebagai taruhanya. Dinding tebing yang di tambang setinggi lebih dari 50 meter, oleh karena itu apabila di lokasi terendah sudah tidak lagi di temukan bongkahan batu Fire Opal, maka para penambang akan menambah ketinggian anak tangga agar mampu mencapai tebing yang lebih tinggi.
Cara penambangan batu Fire Opal di Dusun Manggal berbeda dengan cara menambang yang ada di Dusun Girirejo. Meski resiko yang harus di tanggung juga sama, tetapi di lokasi penambangan Desa Girirejo, para penambang hanya menggali tanah di sebuah lereng tebing. Di lokasi ini para penambang beramai ramai menggali tanah secara bergantian. Satu persatu para penambang mengais bebatuan yang ada di dalam tanah dengan tangan, untuk memastikan batu tersebut Fire Opal atau bukan.
Tanah gembur di lereng tebing membuat lobang yang di gali para penambang akan mudah longsor apabila terkena getaran sedikit saja. Bahkan di beberapa lobang galian sempat longsor ambruk, saat penambang menggali tanah yang di tambangnya. Dengan kondisi seperti itu, nyawa tak lagi di hiraukan, yang penting memperoleh rejeki dari hasil tambang batu mulia. Pada awai ramainya penambangan, ratusan penambang setiap hari memenuhi lokasi penambangan. Meski hasil yang di dapat belum tentu di peroleh setiap harinya, tetapi alam lingkungan rusak oleh ulah para penambang.
Namun sejak lokasi tambang di tutup, kini hanya warga sekitar saja yang di perbolehkan untuk menambang batu. Cara menambangnya pun juga tidak semrawut seperti pada saat pertama kali musim batu akik. Warga menyepakati cara menambang di lakukan secara bergotong royong, tidak berebut lokasi tambang. Karena dengan Cara ini hasil yang di peroleh bisa merata di dapat para penambang.
Memang, tidak setiap hari para penambang memperoleh hasil tambang batu Fire Opal, meski sudah seharian bekerja keras menggali tanah di lereng tebing. Alasan inilah yang akhirnya menyatukan para penambang dan di sepakati, dengan cara bergotong royong hasilnya di bagi rata. Dari hasil tambang tersebut, keuntunganya sebagian kecil dibagikan untuk kas daerah dan keperluan lain bagi desa mereka.
Bagi Katno, uang hasil tambang sangat membantu kebutuhan ekonominya. Selama ini Katno berprofesi sebagai petani disaat musim hujan, tetapi beralih profesi sebagai buruh apabila di musim kemarau. Mengingat Kecamatan Tirtomoyo merupakan daerah yang sulit mendapatkan pasokan air saat musim kemarau datang. Hasil yang di dapat dalam sebulan, Katno bisa memperoleh tambahan berkisar satu juta hingga dua juta rupiah, tergantung dari hasil perolehan tambang.
“Hasil tersebut terkadang tidak sampai satu juta apabila dalam seminggu tidak mendapatkan bahan baku batu Fire Opal,” ungkapnya seraya menambahkan harga jual bahan baku Fire Opal sebesar ibu jari dari penambang dihargai dengan harga kisaran 250 ribu, tergantung kualitas bahan batunya.
Masih menurut pengakuan Katno, meski keuntungan yang didapat tidak begitu relatif besar jika dibandingkan dengan taruhan nyawa yang harus diterimanya, namun sedikit banyak keuntungan tersebut bisa untuk membantu perekonomian keluarga. Paling tidak mendekati musim kemarau tahun ini, ada lumbung rejaki lain yang bisa digali bagi Katno dan warga desa lain di Girirejo.
Di lokasi tambang selain bahan baku batu Fire Opal, terdapat juga jenis bahan batu akik lain yaitu batu Polo Kethek (otak kera). Batu ini berwarna putih santan, dengan tekstur lurik seperti riak ombak. Bagi penduduk desa, batu Polo Kethek dianggap tidak memiliki nilai jual. Berbeda dengan batu Fire Opal, yang dianggap batu papan atas di kalangan para pecinta batu mulia di tanah air dan mancanegara. Batu Polo Kethek banyak di jumpai di aliran sungai dan air terjun yang ada di dalam kawasan hutan. Nama polo kethek menurut Katno, dikarenakan warna dan tektur batu yang menyerupai bentuk otak kera. Nama polo kethek diambil, karena kawasan hutan yang menjadi lokasi tambang juga banyak dipenuhi hewan kera. Karena faktor inilah penduduk desa menyebut nama batu tersebut dengan julukan nama batu polo kethek.
RITUAL KHUSUS
Bagi penduduk desa keyakinan terhadap penunggu gunung adalah sebuah hal yang biasa, apalagi bagi warga di Kecamatan Tirtomoyo. Oleh sebab itu sedekah sesaji bukanlah hal yang aneh setiap kali sebuah kegiatan dilakukan. Tak terkecuali pada saat warga hendak melakukan penambangan di lokasi tambang batu Fire Opal yang ada di atas gunung. Meski tidak semua penduduk melakukan ritual sesaji, tetapi ada juga sebagian penduduk desa yang masih melakukan ritual sesaji pada saat akan mengawali proses penambangan batu.
Ritual tersebut diyakini sebagai salah satu cara, agar mereka senantiasa diberikan keselamatan. Persembahan sesaji dilakukan hanya sekali dalam seminggu, atau pada saat hasil tambangan batu Fire Opal mulai sulit didapat. Biasanya usai diberi sedekah sesaji para penambang akan mendapatkan hasil yang lumayan. Sedekah tidak hanya diperuntukan bagi keselamatan para penambang, mengingat kondisi medan yang sangat curam dengan resiko nyawa sebagai taruhanya.
Tetapi sesaji tersebut ungkapan wujud rasa syukur para penduduk desa kepada alam sekitar yang telah memberi mereka berkah dari hasil bumi yang berlimpah ruah.
Hutan yang menjadi tempat penambangan, selama ini memang menjadi sumber mata pencaharian para penduduk desa. Selain dijadikan sebagai lahan untuk bercocok tanam padi, menanam sayur dan palawija, penduduk desa juga menggantungkan pasokan air dari sumber mata air yang ada di atas gunung. Oleh karena itu sedekah sesaji tidak hanya dilakukan pada saat trend batu akik ini saja, tetapi tiap tahun sekali penduduk desa memberi sesaji pada saat upacara bersih desa. Sesaji yang di persembahkan juga sangat sederhana.
“Hanya setakir bunga liman yang dibungkus dengan daun pisang,” pungkas Katno kepada penulis. Wallahu a’lam bissawab. ©️KyaiPamungkas.

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.
Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)
NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)
NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)
WEBSITE: paranormal-indonesia.com/
(Selain web di atas = PALSU!)
NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)
ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)