Cerita Kisah Kyai Pamungkas

Kisah Mistis: PESAN DARI ALAM KUBUR

Kisah Mistis: PESAN DARI ALAM KUBUR

Mungkin, inilah kisah nyata yang paling musykit. Bagaimana bisa seorang sahabat yang telah meninggal dunia melepaskan kerinduannya? Tapi, itulah yang terjadi. Dia datang untuk melepas: rindu dan menyampaikan pesan yang teramat agung…

 

Semua orang tahu bahwa Pak Iwa salah satu keluarga yang sukses setelah merantau di Bandung, padahal sebelumnya ketika menjadi warga Desa Mekarjaya kehidupannya biasa-biasa saja.

 

Begitu mendengar tawaran untuk bekerja di Bandung aku merasa senang. Karena dengan adanya lapangan pekerjaan yang waktunya cukup lama, berarti ada sumber penghasialan yang lumayan. Lebihlebih bekerja bareng dengan Kang Atang, karena aku kenal baik sejak kecil sampai sekarang.

 

Antara keluarga kami dengan Kang Atang layaknya seperti saudara saja. Di kala mendapat kesenangan maupun kesusahan sama-sama saling merasakan. Hanya kepadanya aku mengadukan setiap persoalan keluarga yang tidak bisa kupecahkan sendiri.

 

Begitu juga dia, walaupun sudah cukup lama merantau di Bandung menjadi sopir pribadi Pak Iwa, tapi selamanya jalinan persahabatan tidak terhalang oleh jauhnya tempat maupun keadaan.

 

Setiap ada kesempatan pulang ke Ciamis, dia selalu meluangkan waktu untuk mengunjungiku guna melepas kerinduan. Biasanya dalam perjumpaan tersebut dia sedang berusaha mencarikan pekerjaan yang sesuai dengan keahlianku sebagai tukang bangunan.

 

Kang Atang orang baik, sabar dan jujur. Tak segan-segan dia membantu teman yang menemui kesusahan. Oleh karenanya menurut penilaianku dia merupakan sahabat yang baik.

 

Makanya ketika dia datang kemudian mengajak aku bekerja sebagai buruh bangunan, tanpa pikir panjang lagi aku menyanggupinya. Dia nampak senang sekali mendengar kesediaanku karena antara aku dan dia akan bekerja bersama-sama walau dia sebagai supir dan aku sebagai tukang.

 

Singkat cerita, aku bekerja sebagai buruh pembangunan rumah Pak Iwa yang besar dan megah itu, bersama sejumlah pekerja lainnya. Setelah kurang lebih delapan bulan aku bekerja, akhirnya pembangunan rumah itu selesai. Aku pulang lagi ke desa kelahiranku sedang Kang Atang tetap bekerja sebagai sopir. Satu bulan satu kali dia pulang mengunjungi isterinya, Nyi Entin, sambil menyerahkan gaji hasil kerjanya.

 

Sepulangnya dari Bandung, beberapa minggu kemudian aku berangkat lagi ke Purwakarta untuk bekerja pada Proyek Pembangunan Industri Sepatu. Kepergianku ke Purwakarta diaiak oleh seorang teman yang pernah bekerja bersama-sama di Bandung dahulu, sewaktu mengerjakan pembangunan rumah Pak Iwa.

 

Semenjak itu hubungan aku dan Kang Atang seolah-olah putus. Aku tidak mendengar lagi bagaimana kabar Kang Atang. Apakah dia masih bekerja di Bandung atau tidak. Sama sekali aku tidak tahu.

 

Karena kesibukan aku tak pernah mengirim surat kepadanya. Sebaliknya dia juga tidak pernah mengirim kabar berita tentang dirinya baik langsung kepadaku atau kepada isteriku di rumah.

 

Hampir satu tahun aku bekerja di proyek tersebut. Memang, tak terasa waktu terus berjalan, tahu-tahu ketika aku pulang ternvata tinggal beberapa hari lagi menjelang Hari Raya Idul Fitri. Sehabis lebaran, aku tidak akan kembali lagi ke Purwakarta, karena pekerjaan telah selesai.

 

Begitu hari Lebaran tiba, aku baru lima hari berada di rumah. Sebagaimana adat kebiasaan, Hari Lebaran merupakan hari kebahagiaan yang tidak-bisa dilupakan. Pada saat itu kita saling memaafkan antara keluarga, tetangga, serta kerabat yang jauh maupun yang dekat.

 

Tak ketinggalan pula menziarahi kepada anggota keluarga yang telah meninggal dunia. Memang lebaran sungguh mulia, karena kita kembali lagi kepada kesucian asal sebagaimana fitrahnya manusia tatkala diciptakan setelah kita melaksanakan ibadah puasa sebulan lamanya.

 

Sehabis melaksanakan sholat sunnah Idul Fitri, kami sekeluarga siang harinya akan melakukan ziarah ke makam ayah dan ibuku di Pemakaman Umum Balemoyan, Desa Mekarjaya.

 

Kami sekeluarga tidak menggunakan kendaraan umum dengan pertimbangan jarak dari rumah ke makam tidak terlalu jauh. Lagipula aku ingin ketemu dengan teman-teman lama yang rumahnya ada di sepanjang perjalanan.

 

Biasanya pada waktu lebaran, temanteman yang merantau ke kota-kota besar, mereka menyempatkan pulang kampung atau mudik untuk berkumpul dengan keluarganya.

 

Setibanya di pemakaman kami sekeluarga langsung menuju makam ayah dan ibuku. Saat itu di makam keadaannya telah sepi. Mungkin peziarah cuma keluarga kami saja. Kami mempunyai anggapan bahwa mungkin yang lain telah melakukannya pagi hari. Yang kelihatan cuma batu nisan bertebaran di sana-sini diselingi pohon-pohon kamboja yang bunganya sedang berguguran menimpa pusara di bawahnya.

 

Harumnya bunga kamboja yang berpadu dengan semerbaknya bunga rampai yang bertaburan di setiap pusara, merupakan ciri yang khas di pemakaman setiap lebaran.

 

Hati akan terenyuh manakala melihat pusara yang di bawahnya berbaring jasad orang-orang yang kita cintai yang kini sudah menjadi hancur tinggal tulang belulang. Inilah akhir perjalanan hidup manusia di dunia yang berakhir sama.

 

Kubur tidak mengenal kaya dan miskin, pejabat maupun rakyat. Di akhir hayat mereka sama, yang dibawa cuma kain kafan dan amal selama hidup di dunia yang fana

Cukup lama kami berdoa di makam ayah dan ibuku. Tak terasa hari sudah menjelang waktu dzuhur. Kami sekeluarga berkemas-kemas untuk meninggalkan makam dengan maksud akan melanjutkan silaturahmi kepada saudara lainnya.

 

Tatkala kami akan meninggalkan gerbang makam dari belakang terdengar suara yang memanggilku, “Hai Atim!”

 

Dengan spontan aku menoleh, ternyata Kang Atang sedang berdiri di bawah pohon sambil tersenyum.

 

“Kang Atang? Masya Allah, tak menyangka bakal bertemu di sini. Mengapa Akang sendirian? Mana keluarga?” Tak terasa aku berbicara begitu nyaring karena saking kagetnya.

 

Kemudian aku merangkulnya, begitu pula dia memelukku erat-erat. Sesaat setelah aku berpelukan kutatap wajahnya, sambil tanganku belum lepas berjabatan. Kelihatan mukanya agak pucat dan badannya kurus tidak seperti dahulu.

 

Setelah melepas kerinduan denganku, baru Kang Atang bersalam-salaman dengan isteriku dan anak-anakku serta menanyakan kesehatan keluarga.

 

“Aku juga habis berziarah ke makam ayah dan ibuku karena kalau bukan waktu lebaran seperti sekarang ini, tidak ada kesempatan lagi.” Kang Atang membuka pembicaraan.

 

“Betul, Kang, kita berdua sama-sama sudah tidak punya ibu bapak. Dalam suasana seperti sekarang ini yang terbayang bagaimana kasih sayang orang tua kepada kita. Sedangkan kita sendiri belum mampu membalas budi atas jasa dan kasih sayang mereka,” sahutku.

 

“Makanya orang yang durhaka terhadap orang tua, hidupnya tidak akan mendapat kebahagiaan, malah dimurkai Allah!” Katanya. Selanjutnya dia berkata lagi: “Sekarang mau terus ke mana?”

 

“Bersilaturhami ke saudara-saudara di Pulomaju,” jawabku.

 

“Kalau begitu sama-sama satu arah, mari kita jalan bersama sambil mengobrol!” Ajaknya.

 

Setelah berbicara demikian berangkatlah kami bersama. Kang Atang dan aku berdampingan di depan, sedangkan isteriku dan anak-anak berdampingan mengikuti dari belakang.

 

Sepanjang jalan dia tak henti-hentikan menceritakan pengalamannya tatkala menjadi supir di Bandung, kemudian dia keluar walaupun oleh Pak Iwa tetap dipertahankan. Namuh dia memaksa karena sudah tidak betah lagi. Dia memilih pekerjaan di daerah sendiri walaupun penghasilannya lebih kecil, tapi enaknya bisa berkumpul! dengan keluarga.

 

Ketika Toko Netral membutuhkan pegawai, Kang Atang melamar dan kebetulan diterima sebagai sopir juga untuk mengantarkan barang-barang pesanan para langganan yang tersebar di daerah.

 

Di tempat yang baru inipun dia tidak bekerja lama, hanya beberapa bulan saja. Selanjutnya dia minta berhenti dengan alasan kondisi badannya sering sakit-sakitan. Seterusnya dia melanjutkan pembicaraan lagi, “Sekarang aku benar-benar sadar dan menyesal, Atim!” Kelihatan raut mukanya serius.

 

““Menyesal bagaimana. Kana?” Tanyanya.

 

“Ya, menyesal sekali karena selama aku menjadi sopir aku sering meninggalkan shalat lima waktu,” jelasnya.

 

“Ooo… begitu. Bukankah Akang sekarang setelah berhenti bekerja banyak waktu untuk digunakan ibadah dan bertobat, karena Allah itu Maha Pengampun,” aku menimpali.

 

“Memang seharusnya begitu. Tapi kan masalahnya mana bisa aku melakukan tobat sesudah begini?” Jawabnya.

 

“Begini bagaimana, Kang?” Tanyaku, heran.

 

Kang Atang menarik nafas panjang. Dia sepertinya merasa berat untuk mengatakan hal yang sebenarnya.

 

Aku sendiri tak habis mengerti melihat sikapnya. Akhirnya aku diam. Suasana hening, karena Kang Atang tak melanjutkan pembicaraannya yang terdengar cuma gemersiknya daun-daun bambu sepanjang jalan yang tertiup angin. Jauh di angkasa terdengar suara burung gagak berkoak-koak yang kian lama kian jauh suaranya.

 

Beberapa saat pembicaraan terhenti, ketika dari arah timur kelihatan rombongan keluarga Ibu Encih menuju ke arah kami, mungkin akan berziarah ke makam keluarganya. Begitu rombongan keluarga Ibu Encih berpapasan, kami saling bersalaman, saling memaafkan.

 

Yang menjadi keheranan aku waktu itu, kenapa semua keluarga Ibu Encih seOrang pun tidak ada yang bersalaman dengan Kang Atang? Jangankan bersalaman, menyapa pun mereka tidak. Seolaholah mereka tidak melihat Kang Atang sama sekali.

 

Namun keheranan tersebut tidak aku ceritakan kepada Kang Atang karena menurut dugaanku mungkin Ibu Encih telah bertemu tadi pagi, karena antara rumah Ibu Encih dan Kang Atang memang tidak terlalu jauh, masih satu kampung.

 

Setelah pertemuanku dengan keluarga Ibu Encih, kini giliranku yang menceritakan pengalaman selama kurang lebih satu tahun bekerja di Purwakarta. Selama itu pula rasa kangen kepada keluarga dan kepada Kang Atang sering mengganggu pikiranku.

 

Di hari lebaran saya harapkan bisa bertemu dengan Akang. Betul juga, pertemuan itu tanpa direncanakan dan diduga sebelumnya bisa terlaksana,” kataku.

 

Mendengar pembicaraanku, Kang Atang menatapku dalam-dalam kemudian dia berkata, “Atas ijin Allah juga, kita bisa bertemu hari ini. Mungkin salah satu hikmah Idul Fitri, serta pada kesempatan yang baik ini sudah lama aku ingin menyampaikan sesuatu hal kepadamu, Atim.”

 

“Pinta apa, Kang?” Tanyaku, merasa agak aneh.

 

“Karena aku sahabatmu dari kecil, rasanya aku akan merasa bahagia apabila aku telah menyampaikannya kepadamu. Sudah tidak ada beban lagi bagiku. Pesan itu tiada lain, jangan sekali-kali meninggalkan sholat lima waktu. Karena betapa pun banyaknya amal kebaikan yang kita perbuat apabila tidak diwadahi dengan sholat lima waktu, semuanya akan Sia-sia. Malah akan menyesal di akhirat nanti serta akan mendapat murka Allah.”

 

“Terima kasih, Kang. Mudah-mudahan aku bisa melaksanakannya,” jawabku.

 

“Itu saja sebagai tanda kasih sayang dari seorang sahabat, karena setelah pertemuan ini, kita akan berpisah selama-lamanya dan tidak akan bertemu lagi. Karena aku akan pergi jauh,” katanya dengan serius.

 

“Wah, Akang kalau bicara kok terus melantur. Pergi jauh kemana? Paling-paling ke kota, kan?” Ujarku.

 

Saking asyiknya mengobrol tak terasa berjalan sudah sampai kepada persimpangan jalan yang menuju rumahnya. Memang rumahnya agak jauh dari jalan desa, harus masuk gang ke selatan dan terhalang oleh beberapa rumah.

 

“Mumpung sekarang bertemu, bagaimana kalau kalian mampir dahulu ke rumahku. Bukankah kalian belum bertemu dengan isterku?” Pinta Kang Atang.

 

“Terima kasih. Lain kali saja, Kang. Hari ini kami akan melanjutkan silaturahmi kepada saudara-saudara kami. Insya Alah besok lusa, aku akan ke rumah Akang.” Jawabku.

 

Pembicaraan berhenti setelah Kang Atang mohon diri untuk berpisah. Sebelum meninggalkan kami, dia bicarakan sekali lagi, “Selamat jalan Atim, dan ingat selalu pesanku.“ Aku mengangguk.

 

Di bawah rumpun bambu pada pertigaan jalan yang menuju rumah Kang Ratim, kakakku, kami sekeluarga berbelok menyusuri jalan setapak. Begitu tiba kebetulan Kang Ratim dan semua keluarganya ada di rumah. Setelah berbasa-basi dan melakukan silaturahmi, Kang Ratim bertanya, “Bagaimana banyak peziarah yang datang ke makam?”

 

“Kebetulan ketika kami tiba di sana keadaan sudah begini.” jawabku. Lalu aku melanjutkan, “Tapi kebetulan tatkala kami mau pulang, tak disangka bertemu dengan Kang Atang. Sendirian lagi, katanya baru menziarahi makam orang tuanya.”

 

“Apa, Kang Atang baru menziarahi makam orang tuanya?” Tanya Kang Ratim dengan nada kaget.

 

“Iya, betul. Malah pulangnya pun bareng dengan kami. Saking sudah lamanya tidak bertemu aku kangen sekali, sehingga ngobrol menjadi asyik sepanjang jalan.”

 

“Benar apa yang kau ceritakan ini?” Kang Ratim terus bertanya.

 

“Benar, ini saksinya anak-anak dan isteriku!”

 

“Masya Allah!”

 

“Ada apa sih sebenarnya. Kok Akang jadi kaget banget aku berbarengan dengan Kang Atang?” Aku balik bertanya.

 

“Sebenarnya… sebenarnya…”

 

“Sebenarnya apa?” Potongku, penasaran.

 

“Sebenarnya Kang Atang itu telah meninggal dunia!”

 

“Apa, telah meninggal dunia?” Aku kaget bukan kepalang.

 

“Benar, dia telah meninggal dunia 3 bulan yang lalu. Kamu pasti tidak akan tahu beritanya, karena masih bekerja di Purwakarta.”

 

“Innalillahi wa inna lillahi rojii’un,” spontan aku mengucapkan kata itu. Badanku mendadak menjadi lemas, serta bulu kudukku merinding.

 

Lama aku termenung mengingat-ingat kejadian barusan yang kualami sekeluarga. Aku tak habis pikir, kalau Kang Atang telah meninggal dunia. Lalu siapa sebenarnya yang tadi bareng serta asyik ngobrol denganku? Malah dia sampai mengingatkanku agar aku tidak melalaikan sholat lima waktu? Apakah itu arwahnya Kang Atang yang menjelma karena saking kangennya padaku?

 

Sekarang, aku baru sadar banyak halhal yang aneh selama aku bareng dengannya. Masih terngiang perkataannya: “Akan berpisah selamanya-lamanya dan tidak akan bertemu lagi.”

 

Sesampainya di rumah, pikiranku agak terganggu. Wajah Kang Atang terus terbayang serta sikapnya yang begitu baik terhadapku, dan tak menyangka kepergiannya begitu cepat sehingga tak diberi kesempatan untuk bertemu dahulu sebelum meninggal dunia.

 

Tiga hari setelah lebaran, sesuai janjiku kepadanya, aku sengaja meluangkan waktu untuk mengunjungi makamnya. Di sana tampak gundukan tanah merah ditaburi oleh bunga rampai yang berserakan diatas pusaranya.

 

Pada nisannya tertera tulisan, ATANG bin WIKARYA lahir tanggal 14 April 1957 meninggal pada tgl. 29 Oktober 2002.

 

Tak terasa air mataku menetes membasahi pipiku. Pengalaman selama bergaul dengannya, semuanya terbayang kembali persis VCD yang sedang diputar, jelas tampak pada layar monitor mengingatkan kembali kepada kenangan yang sulit untuk dilupakan.

 

Selamat jalan Kang Atang, semoga mendapat ampunan serta mendapat kenikmatan di alam kubur. wallahu a’lam bissawab. ©️KyaiPamungkas.

Paranormal Terbaik Indonesia

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.

Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)

NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)

NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)

WEBSITE: paranormal-indonesia.com/
(Selain web di atas = PALSU!)

NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)

ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)


Related posts

Kisah Kyai Pamungkas: LEGENDA TASBIH ARYA KEMUNING

Kyai Pamungkas

Panggonan Wingit: MARKAS JIN DI LEMPUYANG, INDRAMAYU

Kyai Pamungkas

Kisah Mistis: TUMBAL PESUGIHAN RINGIN PITU

Kyai Pamungkas
error: Content is protected !!