Petualangan Astral: PLANET MARS
Planet Merah… Planet Mars disebut dengan planet merah karena warnanya yang kemerahan. Warna merah ini disebabkan permukaannya yang mengandung besi oksida.
Nama Mars sendiri diambil dari nama dewa perang Romawi yang juga dijadikan simbol untuk laki-laki. Berlawanan dengan planet Venus yang dijadikan simbol untuk perempuan.
Mars memiliki dua satelit, yaitu Phobos dan Deimos. Kedua satelit ini bentuknya lebih mirip asteroid dan ukurannya lebih kecil dari “Bulan” (satelit planet Bumi). Di planet ini juga terdapat gunung tertinggi di tata surya kita yang dinamai Olympus Mons. Konon gunung tersebut diperkirakan tingginya 2,5-3 kali lipat dari gunung Everest.
Keistimewaan Planet Mars
Apa yang terlintas dalam benak kalian saat mendengar nama Mars? Planet urutan keempat dari matahari di tata surya kita ini merupakan tetangga dari planet Bumi. Meski bertetangga, saat Mars dekat dengan Bumi, jarak terdekatnya mencapai 56 juta kilometer. Sementara saat saling berjauhan, jaraknya bisa mencapai 401 kilometer.
Mars menjadi planet yang menarik bagi sebagian manusia Bumi untuk dikunjungi, bahkan untuk membuat koloni di sana. Berbagai macam usaha sudah mulai dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut. Namun, tentu itu bukanlah sesuatu yang mudah untuk diwujudkan.
Gravitasi Mars hanya 3,7 m/s? yang berarti dua setengah kali lebih lemah dibanding gravitasi Bumi. Ini akan berdampak pada banyak hal pada tubuh kita. Otot-otot tubuh akan melemah. Tulang akan lebih cepat terkena osteoporosis atau pengapuran tulang.
Atmosfer Mars sangat tipis, sehingga sangat besar resikonya terpapar radiasi sinar ultraviolet dari matahari. Dimulai dari sunburn (kulit terbakar) hingga bisa merusak sistem kekebalan tubuh. Dan jika mengenai kulit dalam jangka waktu tertentu, ia bisa menimbulkan kanker.
Dari segi ukuran, Mars pun ukurannya hanya 5245 dari ukuran Bumi atau bisa dikatakan setengah dari ukuran planet kita. Suhu permukaannya terbilang sangat dingin. Rata-rata suhunya adalah minus 60 derajat celcius. Dan akan semakin turun saat musim dingin tiba.
Dari segi ukuran waktu harian, Mars tidak terlampau berbeda dengan Bumi. Ia memiliki waktu 24 jam 37 menit untuk berhasil melakukan satu kali rotasi. Sementara satu tahunnya di sana terdiri dari 687 hari atau hampir dua kali lebih lama dibandingkan Bumi. Dengan teknologi saat ini, kita bisa sampai di Mars dengan memakan waktu 7-9 bulan lamanya.
Dari berbagai fakta tantangan yang ada di Mars, aku tak habis pikir mengapa sebagian orang begitu terobsesi untuk bisa tinggal di sana. Daripada berjuang mati-matian untuk bisa tinggal di Mars, bukankah lebih baik jika kita buat Bumi menjadi planet ternyaman untuk kita hidup? Mengapa tidak kita perbaiki saja apa yang harus kita perbaiki di Bumi ini? Mengapa harus pindah ke planet lainnya? Apa karena kesombongan manusia yang menjadi motifnya?
Masa lalu Mars
Awal ketertarikanku untuk menelusuri Mars adalah saat ada seorang spiritualist yang memberikan bocoran informasi terkait kondisi spiritualitas penghuni Mars saat ini yang begitu tinggi. Aku sangat penasaran, bagaimana peradaban yang ada di sana. Apakah benar ada peradaban atau tidak ada sama sekali.
Kuputuskan untuk melakukan perjalanan bersama Krieva dan Mynthalla. Dengan sigap Krieva menyiapkan device yang selalu ia bawa dalam perjalanan untuk membuat portable portal. Setelah tujuan sudah ditentukan, muncul sebuah portal yang siap menghubungkan kami ke Mars. Mynthalla masuk terlebih dulu dan memimpin perjalanan. Sebelum berangkat, Sramvita mengingatkanku untuk menggunakan pakaian khusus agar bisa beradaptasi dengan lingkungan di Mars.
Visual yang kudapatkan sangat jelas. Planet Mars yang kami kunjungi masih banyak dipenuhi air seperti halnya planet Bumi saat ini. Kami bertiga menapakkan kaki di sebuah rumah yang beratapkan miring. Desain yang pernah kulihat sebelumnya di Bumi. Hanya saja halamannya dibuat melingkar dan diselingi parit yang juga berbentuk lingkaran dan dipenuhi air.
“Krieva, tahun berapa ini?” tanyaku.
“Berdasarkan waktu yang berlaku di Bumi, ini adalah masa di 49 juta tahun yang lalu,” jawabnya.
Aku cukup kaget mendengarnya. Artinya kami sedang tidak melakukan astraling secara real time, akan tetapi kami sedang berada di masa lalu. Pantas saja kondisi Mars masih sangat indah, tak beda jauh dengan Bumi.
Tak beberapa lama, ada seorang wanita berkulit cokelat keluar dan melihat ke arah kami. Aku mengucapkan salam padanya dan memperkenalkan diri. Wanita tersebut sangat ramah, kami pun diajaknya duduk di kursi halaman rumahnya.
“Namaku Druinna. Kamu bilang tadi kalau kalian berasal dari masa depan?”
“Iya benar, kami berasal dari 49 juta tahun yang akan datang. Waktu tersebut berdasarkan penanggalan waktu yang kami miliki di planet Bumi.”
“Bumi?” “Hmm, sebenarnya nama planet kami ada banyak. Hanya saja bagi makhluk yang tinggal di luar planet kami, mereka lebih mengenalnya dengan nama Terra. Aku sendiri menyebutnya Bumi.” “Terra, nama yang bagus sekali.” “Kedatangan kami ke sini sebenarnya ingin mengetahui peradaban yang ada di planet Mars ini.” “Mars? Apakah bangsa kalian menyebutnya dengan nama Mars?” Druinna tampak bingung sekaligus tertarik pada obrolan kami. Aku mengangguk mengiyakan. “Kami menyebut planet kami sendiri dengan nama Masimar.” Mendengar nama Masimar malah mengingatkanku pada judul telenovela asal Meksiko “Marimar”.
“Tapi tunggu, apa yang terjadi dengan planet ini di masa kalian?” Raut wajah Druinna menjadi berubah. Sudah tampak genangan air yang siap jatuh di sudut matanya.
Astaga, rupanya Druinna punya kemampuan membaca pikiran kami. Dia melihat memoriku terkait Mars yang kuketahui saat ini. Kondisi yang amat jauh berbeda dengan 49 juta tahun yang lalu.
“Ah, hmm … tenanglah.” Sikapku agak kikuk saat meminta Druinna untuk tetap bersikap tenang meski sudah melihat kondisi planetnya di masa depan. Jujur saja aku tak menyangka manusia Mars bisa memiliki kemampuan membaca pikiran seperti itu.
Druinna mencoba untuk mengendalikan dirinya. Air matanya pun dihapusnya.
“Silakan masuk. Akan lebih nyaman jika kita berbincang di dalam.” Druinna mengajak kami memasuki rumahnya. Benda-benda yang ada di dalamnya sangat futuristik. Ini sudah sangat menggambarkan betapa modernnya peradaban di Mars puluhan juta tahun yang lalu.
Kami duduk di sebuah ruangan. Seisi rumah berubah menjadi pemandangan angkasa luar. Seolah sedang berada di sebuah planetarium yang begitu canggih. Semua benda yang ada di ruangan tersebut menjadi sejenis reflektor atau proyektor yang menghasilkan visual menakjubkan. Benar-benar terlihat nyata! Beberapa menit, aku larut menikmati keindahan alam semesta di ruangan tersebut.
Druinna memiliki seorang anak perempuan remaja. Vreillin namanya. Aku mencoba untuk berbincang dengannya. Namun, sepertinya Vreillin tipikal orang yang pemalu dan sulit mengobrol dengan orang asing atau orang yang baru dikenalnya. Maka dari itu, berbagai pertanyaan yang masih tersisa di kepalaku mau tak mau harus kutanyakan pada Druinna.
“Kami melihat rumahmu dikelilingi oleh air. Apa fungsinya air tersebut?” Aku penasaran dengan desain halaman rumah yang mirip seperti yang digambarkan orang-orang mengenai Atlantis.
“Air memiliki peranan sangat penting untuk kami. Sistem perairan yang kalian lihat merupakan sistem pertahanan untuk melindungi diri kami dari binatang buas atau binatang liar. Sehingga mereka tidak bisa masuk ke area rumah,” papar Druinna memberikan penjelasan.
Aku terkesima dengan teknologi yang dimiliki peradaban modern di Mars. Secara umum, kehidupan penghuni Mars yang kami temui memiliki peradaban secara teknologi yang begitu canggih. Bahkan teknologi kita di planet Bumi masih amat jauh tertinggal dengan yang dimiliki mereka. Padahal sudah berlalu puluhan juta tahun lamanya.
Dari penjelasan Druinna, orang-orang Mars di zamannya sudah mulai untuk mencari sumber energi terbaik yang bisa digunakan. Mereka telah mengenal nuklir yang berbahan dasar Uranium. Karena jumlah Uranium sangat terbatas di Mars, maka mereka menjelajahi berbagai macam bintang dan planet untuk mendapatkannya.
Druinna pun mengungkap bahwa orang-orang di Mars memberikan campuran logam “Srautire” yang mirip dengan baja. Logam inilah yang katanya akan mampu melipatgandakan daya nuklir. Hanya saja Druinna mengakui bahwa pengetahuan mereka mengenai nuklir masih tingkat awal. Diperlukan banyak lagi penelitian untuk bisa mengembangkannya.
Di sisi lain, dalam hal spiritualitas, hanya sedikit sekali penghuni Mars yang mendalaminya. Mayoritas dari mereka lebih senang menggeluti ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena dengan itulah, mereka menganggap peradaban mereka bisa dianggap maju dan berkembang.
Lantas bagaimana dengan ciri-ciri fisik mereka? Secara fisik aku tidak bisa membedakan mereka dengan manusia di Bumi. Mereka pun memiliki warna kulit yang beragam. Mungkin satu-satunya perbedaan yang terlihat secara fisik adalah bagian dahi. Bisa dibilang dahi mereka lebih lebar dibanding dengan kita, karena kapasitas volume otak mereka lebih besar.
Mungkin itu juga sebabnya mereka lebih cerdas dibanding kita. Selain itu, mereka ternyata bernapas dengan menghirup karbondioksida.
“Aku penasaran dengan usia kehidupan kalian di sini. Apakah kalian juga mengalami yang namanya kematian?” Kuajukan lagi pertanyaan pada Druinna.
la tertawa saat aku memberikan pertanyaan yang mungkin menurutnya konyol.
“Tentu saja. Kami pun mengalami kematian.” “Berapa usia rata-rata kalian bisa bertahan?” “Kami bisa bertahan hidup hingga ratusan tahun.
Beberapa ada yang sampai ribuan tahun, namun sudah sangat jarang sekali.”
Dengan kondisi planet Mars saat itu, sangat wajar
jika mereka bisa bertahan hidup lama. Lebih lanjut
Druinna mengatakan bahwa hal yang paling mengancam keberlangsungan hidup mereka justru datang dari luar planet Mars. Banyak pihak yang ingin menginvasi dan menguasai planet tersebut untuk menjadi bagian wilayah kekuasaan mereka.
Maka dari itu, para penghuni Mars berusaha untuk mencari cara perlindungan diri dari pihak-pihak yang ingin menginvasi Mars. Mulai dari memperkuat sistem pertahanan planet hingga pembuatan senjata berbasis teknologi modern.
Selama menulis catatan ini, ada hal menarik yang kualami. Aku bisa dengan mudah berdialog, bertanya jawab dengan Druinna tanpa harus melakukan perjalanan astral. Kami hanya dua kali menemui Druinna langsung ke tempat dan waktu di mana ia tinggal. Selebihnya untuk mendapat informasi lanjutan, aku bisa menghubunginya hanya lewat telepati.
Ini sangat aneh. Mengingat perbedaan antara kami bukan hanya ruang, tapi juga rentang waktu yang begitu jauh. Aku pun bertanya para Sramvita akan hal ini.
“Jadi apakah itu mungkin terjadi?” tanyaku pada Sramvita.
“Buktinya kamu sendiri yang melakukannya, bukan?” sahutnya.
“Iya juga sih. Tapi maksudku, tolong jelaskan bagaimana ini bisa terjadi!” Pengalaman ini jadi yang pertama bagiku dan berhasil membuatku bertanyatanya. Karena selama ini kupikir untuk bisa telepati hanya bisa dalam satu frame waktu yang sama.
“Ingat bahwa manusia sepertimu adalah makhluk multidimensi yang sebenarnya tidak terbatas pada ruang dan waktu jika sekiranya tanpa ada tubuh fisik yang kalian miliki. Kamu juga sudah terbiasa kan melakukan telepati dengan Labradas di Thiaouuba? Apakah waktu di Bumi dan Thiaouuba sama? Tentu berbeda bukan? Dan perbedaan waktu yang ada tidak akan membatasi seseorang untuk melakukan telepati.”
Penjelasan Sramvita akhirnya membuatku benarbenar mengerti. Sudah tak ada lagi keraguan dalam pikiranku mengenai dahsyatnya kekuatan telepati yang bisa menembus jarak dan waktu. Aku pun sepertinya mulai bisa membuktikan bahwa masa lalu, masa kini dan masa depan rupanya berjalan bersamaan. Druinna yang menurut perspektif waktu linier kita berada di masa lalu, bisa berdialog denganku yang ada di masa kini.
Penelusuranku tentang Mars rasanya tak lengkap jika tidak mengeksplorasinya di zaman terkini. Mynthalla yang seharusnya menjadi rekan perjalananku meminta untuk digantikan. Guntrasaka akhirnya menggantikan posisinya. Aku, Krieva dan Guntrasaka pun mulai menjelajahi Mars secara real time.
Kondisi Real Time Mars
Portal yang kami gunakan adalah salah satu portal yang ada di Kendan. Bukan portable seperti perjalanan kami sebelumnya. Kami memilih wilayah yang sedang mengalami siang hari di Mars agar bisa mengamati keadaan sekitar dengan jelas. Di permukaannya, tak ada yang istimewa. Semuanya hanya pemandangan hamparan padang bebatuan tandus.
Kami mencoba untuk masuk ke dalam tanah. Mencari kehidupan yang mungkin saja ada di sana. Tubuh kami seolah diarahkan pada sebuah tempat yang bagiku sangat menakjubkan. Kami yang awalnya turun tegak lurus, kemudian bergerak secara horizontal, hingga menemukan jalan keluar dari mulut gua.
Rasanya benar-benar menakjubkan. Aku melihat sebuah bangunan yang begitu tinggi. Bangunan yang secara arsitektur mirip candi-candi, hanya saja bangunan tersebut merupakan tebing batu tinggi yang dipahat. Mungkin bangunan bersejarah Petra atau Madain Saleh bisa membantu kalian membayangkan apa yang kumaksud.
Bangunan tersebut bukan hanya tinggi, tapi juga besar. Banyak orang berlalu-lalang di sekitaran bangunan tersebut. Kami bertanya kepada salah seorang pejalan kaki yang ada di sana. Secara fisik, ia mirip sekali dengan manusia Bumi. Memiliki rambut hitam dan juga kumis. Saat aku bertanya kepadanya, ia menjawab dengan bahasa yang sama sekali tidak kumengerti.
Dari situ aku sadar, bahwa seseorang yang kuajak bicara tersebut memang memiliki tubuh fisik. Untuk bisa memahami perkataannya, kucoba untuk berkonsentrasi. Akhirnya aku pun mengerti apa maksud dari kata-katanya.
Awalnya kami bertanya siapa yang dianggap sebagai pemimpin di daerah tersebut. Ia pun mengarahkan kami untuk masuk ke dalam bangunan tinggi yang berada di depan kami. Setelah masuk ke dalam, kami menaiki sejenis lift yang membawa kami ke atas. Bisa kulihat dengan jelas orang-orang di luar bangunan tersebut saat berada di atas.
Seorang pria gemuk berkumis dengan pakaian seperti pakaiannya para pemeran serial Ramayana menyambut kami. Dia menyebut dirinya Mamalek. Aku tak yakin apakah itu nama dirinya atau sebuah nama profesi. Karena ia memang bertugas sebagai penerima tamu dan memiliki kedudukan.
Dari Mamalek, kami mendapat informasi, para penghuni Mars saat ini lebih memilih untuk tinggal di bawah tanah. Hal tersebut dilakukan untuk melestarikan tanaman maupun hewan di sana. Selain itu memang permukaan Mars masih diliputi sisa radiasi nuklir, sehingga akan sangat membahayakan tanaman dan hewan.
Kami meminta izin kepada Mamalek untuk bisa menemui seseorang yang dianggap tokoh penting di Mars. Akhirnya, kami pun mendapat kesempatan untuk bisa menemui tokoh yang dimaksud. Bahkan beliau sendiri yang sangat menantikan pertemuan di antara kami.
“Selamat datang. Sudah beberapa hari aku menantikan kehadiran kalian,” ucapnya ramah sambil tersenyum.
Kami dipersilakan duduk di sebuah ruangan yang minim pencahayaan, namun masih bisa jelas untuk melihat sekitar. Sosok yang ada di depan kami bernama Cdorl (baca: Sidorel). Aku merasakan vibrasinya mirip sekali dengan Druinna. Sramvita mengonfirmasi bahwa beliau memang garis keturunan dari Druinna.
Cdorl menggunakan pakaian mirip yang pernah kulihat di film “The Eternals”. Sama seperti Druinna, ia berkulit coklat. Berambut pendek warna hitam. Wajahnya bersih tanpa janggut atau kumis. Badannya tinggi besar, namun proporsional.
“Apa yang ingin kalian ketahui dariku?” Cdorl mengawali dialog kami dengan sebuah pertanyaan.
“Tolong ceritakan kondisi penghuni Mars saat ini,” pintaku.
“Orang-orang Mars saat ini lebih berfokus untuk hidup lebih baik dari sebelumnya. Kami membangun kembali peradaban dengan kebijaksaan yang telah diwariskan oleh para pendahulu.”
“Saya pernah mendapat kabar, perubahan drastis Mars sehingga menjadi Mars yang seperti saat ini disebabkan perang nuklir antar penghuninya. Benarkah demikian?”
“Tidak sepenuhnya benar. Kami mengembangkan teknologi nuklir yang salah satunya dijadikan senjata, untuk melindungi diri kami dari berbagai macam intervensi atau invasi dari luar Mars.”
“Invasi dari luar Mars juga sudah pernah kami dengar dari Druinna. Mengapa banyak sekali pihak luar Mars yang ingin menginvasi planet ini?”
“Sama seperti planet Bumi, lokasi Mars berada di koordinat yang strategis di alam semesta. Sangat mendukung keberlangsungan kehidupan.”
“Ya, bahkan ada juga kok manusia-manusia Bumi yang berencana membuat koloni bahkan juga menginvasi planet ini,” selorohku sambil menahan tawa.
“Mereka tak akan pernah berhasil melakukannya.”
“Alasannya?”
“Tuhan telah memberikan jatah masing-masing tempat kepada kita. Keserakahan untuk menguasai yang bukan haknya, menjadi hal yang akan membinasakannya.”
Kata-kata Cdorl membuatku terkesan. Makna dari pernyataannya tersebut sungguh dalam. Mungkin ini jadi pelajaran terpenting yang bisa kupetik dari perjalananku ke Mars ini.
“Dulu, kudengar dari Druinna, orang-orang Mars sangat aktif menjelajah luar angkasa. Tapi sepertinya sekarang tidak demikian.”
“Itu karena kami lebih fokus pada ada yang ada di dalam diri kami maupun yang telah kami miliki. Maka dari itu, kalian akan melihat orang-orang Mars lebih spiritual dibandingkan dulu. Perkembangan teknologi yang kami miliki harus disadari dengan kesadaran Spiritualitas, agar apa yang pernah kami alami dulu tidak terulang. Perlu adanya keseimbangan di antara keduanya.”
Aku berhasil memahami apa yang baru saja Cdorl katakan. Spiritualitas dan teknologi tak boleh dipisahkan. Saat seseorang menguasai teknologi yang tinggi, namun memiliki tingkat spiritualitas yang rendah, besar kemungkinan ia malah akan membawa banyak kerusakan dengan teknologinya tersebut.
“Jujur saja, saya penasaran. Mengapa penghuni Mars dulu bisa berperang satu sama lain. Sebenarnya apa pemicunya?”
“Seperti yang telah kuungkapkan tadi. Keserakahan, ketamakan, keangkaramurkaan serta intervensi makhluk luar Mars.”
“Intervensi? Siapa? Reptilian?”
Cdorl tak mengiyakan, namun dari abstraknya, sepertinya reptilian punya juga andil dalam konflik sesama penghuni Mars.
“Mereka yang terhasut dijanjikan banyak hal dari pihak luar.”
“Seperti apa contohnya?”
“Kekuasaan, kekuatan dan teknologi,” ungkap Cdorl serius.
“Bagaimana dengan sekarang? Apakah tawarantawaran dari pihak luar masih ada? Kudengar saat ini orang-orang Mars semuanya memiliki tingkat kesadaran yang tinggi.”
“Hampir semuanya sudah memiliki kesadaran yang tinggi. Namun tetap saja akan ada satu dua orang yang tak mampu mencapainya. Kembali terhasut oleh iming-iming mereka yang mengintervensi dan berniat menginvasi.”
Rasanya, aku tak lagi memiliki pertanyaan yang tersisa. Sudah saatnya kami undur diri dan meminta izin untuk pulang. Kuucapkan terima kasihku kepada Cdorl yang banyak memberikanku pelajaran berharga tentang kehidupan.
“Jika ada yang bisa kami bantu, jangan segan untuk datang kembali ke sini,” pungkas Cdorl.
Perjalananku ke Mars menjadi salah satu perjalanan yang mengesankan. Bahkan sebelumnya aku tak menduga akan semenarik ini. Semoga Mars bisa tetap menjadi sahabat bagi Bumi. Dulu, sekarang ataupun nanti.
PETRA
Situs kuno Petra terletak di negara Yordania. la merupakan kota batu yang saat ini dijadikan salah satu tempat wisata terkenal di dunia. Konon tempat ini dibangun 312 SM.
MADA’IN SALEH
Sementara Mada’in Saleh terletak di negara Arab Saudi. Dianggap sebagai tempat terkutuk dan dihindari zaman dulu. Konon dbangun oleh orang-orang bangsa Nabath.
Bangunan yang kulihat di Mars mirip dengan Petra dan Mada’in Saleh. Hanya saja secara arsitektur lebih mirip bangunan candi raksasa yang dipahat.

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.
Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)
NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)
NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)
WEBSITE: paranormal-indonesia.com/
(Selain web di atas = PALSU!)
NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)
ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)