Panggonan Wingit: MEULABOH
Untuk menghindari pertumpahan darah, maka ketiga datuk yang berasal dari Minangkabau itu sepakat untuk mengungsi ke utara dengan menggunakan perahu dari Bandar Tanjung Mutiara dan berlabuh di suatu negeri yang kala itu dikenal dengan sebutan Pasir Karam…
Sejarah mencatat, pada suatu masa, Kaum Paderi melakukan penyerangan terhadap Kaum Adat yang waktu itu menguasai Minangkabau. Pertempuran yang terjadi, sudah barang tentu sangat berpengaruh pada para penghulu pemangku adat misalnya para datuk yang menjadi kepala suku di luhak nan tigo, yakni Luhak Agam, Luhak Tanah datar dan Luhak Limapuluh Koto.
Sekarang, luhak-luhak tersebut lebih dikenal dengan sebutan kabupaten. Di mana-mana, perang mengakibatkan arang habis besi binasa, demikian kata pepatah. Oleh sebab itu, salah seorang datuk dari keluarga Kerajaan Minangkabau, yakni Datuk Rajo Agam sekaligus penghulu Suku Sikumbang di Luhak Agam, bersama Datuk Rajo Alam dari Luhak Tanah Datar dan Datuk Makhudum Sati dari Luhak Limopuluh Koto, lebih sepakat untuk menghindari pertempuran yang tengah terjadi.
Ketiganya sepakat untuk mengungsi ke arah utara dengan menggunakan beberapa perahu dari Bandar Tanjung Mutiara.
Berbilang waktu mereka terombang-ambing di laut lepas hingga akhirnya perahu pun berlabuh di suatu negeri yang kala itu dikenal dengan sebutan Pasir Karam.
Menurut tutur yang berhasil dihimpun oleh penulis, kedatangan suku Minangkabau agaknya merupakan asal mula dari munculnya kata Meulaboh. Diperkirakan, diambil dari ucapan atau kata-kata mereka ketika menentukan tempat untuk berlabuh, “di sikolah kito belaboh.”
Seperti biasa, kata-kata yang dianggap sebagai sesuatu yang baru pasti selalu diulang-ulang oleh yang mendengarnya, hingga akhirnya, jadilah Meulaboh.
Seiring dengan perjalanan sang waktu, ketika Kerajaan Aceh diperintah oleh Sultan Iskandar Muda, maka, pembangunan negeri pun terus dilakukan. Walau sultan telah memerintahkan segenap masyarakat untuk bertanam lada, akan tetapi, Aceh belum bisa menyaingi keramaian Negeri Singkil yang banyak didatangi oleh kapal-kapal dari negeri yang jauh untuk mengambil hasil bumi yang berupa kemenyan dan kapur barus.
Pembukaan lahan untuk perkebunan terus saja dilakukan. Dan pada masa pemerintahan Sultan Djamalul Alam, Negeri Pasir Karam kembali meminta rakyatnya untuk menanam lada dengan secara besarbesaran. Untuk mengolah kebun-kebun yang sedemikian luas itu, sengaja didatangkan orang-orang yang berasal dari Pidie dan Aceh Besar, kemudian disusul oleh orangorang Minangkabau yang sengaja merantau atau menghindar dari Perang Padri.
Pada akhirnya, para perantau dari Minangkabau itu berbaur bahkan kawinmawin dengan masyarakat setempat. Hal itu menunjukkan betapa pepatah Minang yang berbunyi, “… di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung …”, tak lekang dimakan oleh zaman dan berlaku sampai kapan pun. Betapa tidak, secara singkat, pepatah tersebut dapat diartikan sebagai seseorang harus mampu menyatu dengan keadaan sekitarnya.
Sehingga, tidak heran, kala itu, ada beberapa pemimpin yang berasal dari Minangkabau, di antaranya adalah Datuk Machadum Sakti dari Rawa, Datuk Raja Agam dari Luhak Agam dan Datuk Raja Alam Song Song Buluh dari Sumpu. Ketiganya berhasil membuka hutan di tiga wilayah yang berbeda dan menjadikannya sebagai daerah perkebunan sekaligus pemukiman Datuk Machdum, Sakti membuka negeri di Merbau, Datuk Raja Agam di Ranto Panyang dan Datuk Raja Alam Song Song Buluh di Ujong Kala dan sekaligus mempersunting gadis yang merupakan salah seorang putri dari orang yang sangat berpengaruh di sana.
Sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat setempat, ketiga Datuk tersebut juga memerintahkan warganya agar membuka lahan untuk ditanami segala sesuatu yang bermanfaat. Sehingga, hidup dan kehidapan mereka pun menjadi bertambah sejahtera. Hingga pada suatu Saat, ketiganya sepakat mencari waktu yang tepat untuk menghadap Sultan Mahmud Syah yang lebih dikenal dengan sebutan Sultan Buyung untuk memperkenalkan diri.
Sebagai buah tangan, masing-masing Datuk membawa sebotol emas urai dan ketiganya meminta kepada Sultan Buyung untuk memberikan batas yang jelas pada negeri mereka. Gayung pun bersambut, permintaan ketiganya dikabulkan oleh Sultan Mahmud Syah. Bahkan, Raja Alam Song Song Buluh kemudian juga diangkat menjadi uleebalang di Meulaboh, dengan ketentuan, wajib mengantarkan upeti pada tiap tahunnya kepada bendahara kerajaan.
Pada mulanya, semua berjalan sesuai dengan harapan. Namun, karena tiap tahun harus mengantarkan upeti, maka lama kelamaan, ketiganya pun merasa keberatan. Akhirnya, ketiganya kembali menghadap Sultan Aceh yang baru: Sultan Ali Iskandar Syah, agar dapat menempatkan wakilnya di Meulaboh sebagai penerima upeti. Setelah sejenak mempertimbangkan, akhirnya, Sultan Ali Iskandar Syah menunjuk Teuku Chik Purba Lela sebagai wazir sultan sekaligus menerima pelbagai upeti dari Uleebalang Meulaboh.
Para Datuk dengan gembira menyambut utusan sultan yang ditempatkan di Meulaboh. Ternyata tak cukup sampai di situ. Para Datuk kembali meminta Sultan Aceh untuk menempatkan seorang wakil yang khusus mengurusi pelbagai perkara adat dan pelanggaran di dalam negeri kembali gayung bersambut. Sultan Aceh pun memerintahkan Penghulu Sidik Lila Digahar untuk menyidik pelbagai pelanggaran perkara adat dan pelanggaran di dalam negeri.
Permintaan para Datuk untuk menata negerinya ternyata terus berlanjut. Kepada Sultan Aceh, mereka juga meminta agar dikirim ulama yang mengatur tata cara pernikahan dan hukum syariat. Permintaar itu diluluskan dengan mengirimkan Teungku Cut Din, seorang ulama yang bergelaf Almuktasimubinlah untuk menjadi kadhi Sultan Aceh di Meulaboh.
Seiring dengan perjalanan sang waktu, Meulaboh bertambah maju ketika Kerajaan Aceh dipimpin Sultan Ibrahim Mansjur Sjah. Orang-orang dari Minangkabau banyak yang datang ke Aceh, sehubungan kampung halaman mereka telah dikasai oleh Belanda maklum, mereka tak lagi leluasa menggarap sawah dan lahannya karena penjajah menerapkan peraturan oktrooi dan cultuur stelsel yang mewajibkan warga menjual hasil kebunnya kepada Belanda.
Di tempatnya yang baru, Meulaboh, para pendatang dari Minangkabau itu membuka perkebunan lada sehingga membuat daerah tersebut banyak disinggahi kapal-kapal Inggris untuk membeli rempah-rempan. Melihat perkembangan yang demikian pesat, akhirnya, Sultan Aceh pun membentuk federasi Uleebalang yang megatur tata pemerintahan negeri.
Federasi itu kemudian dinamai Kaway XVI yang diketuai oleh Uleebalang Keudruen Chik Ujong Kala sebutan tersebut mengingat federasi tersebut memang dibentuk oleh enam belas Ulgebalang, yakni: Uleebalang Tanjong, Ujong Kala, Seunagan, Teuripa, Woyla, Peureumbeu, Gunoeng Meuh, Kuala Meureuboe, Ranto Panyang, Reudeub, Lango Tangkadeuen, Keuntjo, Gume/Mugo, Tadu, serta Seuneu’am.
Menurut tutur yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, Machdum Sakti, salah seorang dari 3 datuk yang berkuasa di Meulaboh tidak lain adalah kakek dari Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien. Dikabarkan, kala itu, Datuk Makdum Sakti mempunyai dua Orang putra, yaitu Teuku Nanta Setia dan Teuku Achmad Mahmud.
Teuku Achmad Mahmud kemudian menikah dengan adik raja Meulaboh Cut Mahani selanjutnya dikaruniai keturunan Teuku Umar sementara, Teuku Nanta Setia (penerus Uleebalang) adalah ayahanda dari Cut Nyak Dhien sehingga, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar adalah adalah merupakan saudara sepupu. Kala itu, di Aceh, pernikahan antar sepupu masih sangat lazim, mengingat masih kuatnya paham pernikahan sekufu.
Jika kita mau merunut sejenak ke belakang, tidak ada yang bisa memungkiri, betapa Meulaboh adalah merupakan kota atau saksi bisu dari 2 perang yang berkecamuk di Andalas pada masa dahulu, yaitu perang Paderi di Minangkabau antara Kaum kerajaan dan kaum paderi serta perang Aceh yang salah satu daerahnya dipimpin oleh Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien melawan tentara Belanda di Pantai Barat Aceh. (Dari berbagai sumber terpilih). Wallahu a’lam bissawab. ©️KyaiPamungkas.

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.
Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)
NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)
NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)
WEBSITE: paranormal-indonesia.com/
(Selain web di atas = PALSU!)
NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)
ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)