Kisah Mistis: USAHAKU DITEROR SERANGAN GAIB
NABI Muhammad SAW bersabda dalam salah satu haditsnya: “Berlaku hemat dalam membelanjakan harta, ialah separuh daripada penghidupan,” Berbekal dari kedalaman filosofi yang terkandung dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al Khatib itu, selama ini aku memang selalu berlaku hemat. Apalagi, aku sadar sepenuhnya bahwa Mas Hadi, suamiku hanyalah seorang karyawan biasa, yang penghasilannya hanya cukup untuk menutupi beban kebutuhan seharihari dan biaya sekolah ketiga anak kami. Karena itulah aku harus pandai-pandai menyisihkan uang belanja. Walau nilai uang yang kusisihkan itu relatif sedikit, tapi tak jadi masalah. Yang terpenting bagiku, harus ada yang disimpan, sekalipun itu hanya sedikit. Toh, ada kata-kata mutiara yang mengatakan, “sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit.”
ikap hidupku yang selalu hemat ini pada akhirnya memang membawa berkah. Ketika Mas Hadi di PHK tiga tahun lalu dari pekerjaannya, akibat perusahaan tempatnya bekerja terpaksa tutup karena tak kuat menahan deraan badai krisis perekonomian, sebagai ibu rumah tangga aku tidak terlalu pusing tujuh keliting. Kepada suami, aku mengusulkan untuk membuka warung sembako kecil-kecilan di depan rumah kami.
“Apa mungkin uang pesangonku cukup untuk modal buka warung, Bu? Padahal, kamu juga tahu aku ingin buka kedai bakso. Kebetulan, ada kios yang dikontrakkan di depan kompleks perumanan kita ini. Kamu tahu sendiri kan berapa jumlah uang pesangonku? Mungkin cuma cukup buat buka gubuk warung gado-gado, jawab suamiku dengan nada pesimis.
Memang, aku tahu persis uang pesangon yang diterimanya hanya sekitar Rp. 10 juta. Jumlah ini sesungguhnya amat tidak layak bila dibandingkan dengan masa kerjanya yang sudah lebih dari 10 tahun. Tapi apa boleh buat. Sebagai buruh kecil Mas Hadi harus menerimanya. Ini masih jauh lebih baik jika dibandingkan dengan Pak Anwari, tetangga sebelah kami, yang perusahaan tempatnya bekerja juga bangkrut, dan sampai kini dia belum mendapat kejelasan akan nasibnya. Jangankan uang pesangon, dua bulan gajinya saja belum dia terima.
“Kan kita masih bisa dapat tambahan uang asuransi dari Jamsostek, Pak!” Kataku sambil menerima amplop berisi uang pesangon suamiku itu.
Mas Hadi menarik nafas berat. “Jumlahnya pasti tidak seberapa juga, Bu. Paling-paling cuma lima jutaan” jawabnya.
“Kalau begitu bisa kita tambah dengan uang tabunganku, Pak!”
Suamiku terkejut mendengar jawabanku. “Tabungan? Tabungan apa, selama ini Bapak kan selalu kasih uang belanja Ibu pas-pasan saja?” Dia menatapku dengan rasa tidak percaya.
Aku tersenyum meyakinkannya. “Sebelumnya Ibu mohon maaf, sebab selama ini Ibu nggak pernah cerita kalau diam-diam Ibu selalu menyisihkan sedikit uang belanja dan menabungnya di bank,” kataku lagi.
Suamiku lebih terkejut lagi setelah melihat jumlah uang yang tercetak dalam buku tabunganku, Besarnya lebih dari Rp. 17 juta.
“Kan itu kutabung hampir selama 10 tahun ih!”
“Subhanallah! Engkau telah memilihkan Wanita terbaik untuk menjadi isteriku, Ya Allah” puji suamiku dengan suara bergetar. Dia hampir-hampir tidak percaya dengan apa yang telah kuperbuat selama ini. Dengan Pemberian uang belanja yang pas-pasan tuk Naa aku masih bisa menyisihkan, tahun tah Ungkan, Dan hal ini kulakukan sejak pertama kami menikah. Persisnya kelahiran Handika, putra pertama kami.
Ya, begitulah awalnya sampai kami bisa membuka toko sembako di depan rumah kami. Karena kami tinggal di lingkungan perumahan Tipe 26, maka bisa dibayangkan betapa kecil dan sempitnya areal tempat kami berdagang itu. Bisa juga dibayangkan berapa banyak jumlah barang yang bisa kami perjualbelikan di dalam warung yang ukurannya hanya sekitar 2 X 3 meter. Lebih jauh lagi, bisa dikira-kira berapa jumlah keuntungan yang dapat kami peroleh setiap harinya. Tentu tidak seberapa, bukan?
Tetapi berkat prinsip hidup hemat dan tertib anggaran yang selalu kutanamkan kepada suami dan ketiga anakku yang masih kecil-kecil, maka hal yang sedikit itu pada akhirnya menjadi amat berarti. Apalagi, selalu kutekankan pada suami dan diriku sendiri bahwa, uang dari toko tidak boleh dipergunakan untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, termasuk biaya sekolah anak-anak. Guna menutupi biaya keduanya kuambilkan dari sisa hasil usaha suamiku yang juga membuka usaha kedai bakso kecil-kecilan di depan kompleks perumahan sederhana tempat di mana kami tinggal.
Berkat ketulusan dan kesungguhan kami dalam berusaha, syukur Alhamdulillah segalanya berjalan dengan baik. Kedai bakso suamiku yang semula hanya mempekerjakan seorang karyawan, karena belakangan semakin berkembang akhirnya sudah bisa mempekerjakan 4 orang karyawan. Bahkan, kedai yang dulunya cuma kami kontrak itu sudah bisa dibeli suamiku, sehingga dia bisa lebih berkonsentrasi lagi dalam meningkatkan mutu pelayanan karena tak perlu merasa takut akan kehilangan pelanggan.
Yang perkembangannya jauh lebih mengejutkan adalah toko yang kukelola dengan cucuran keringatku sendiri. Usaha yang dulunya cuma kecil-kecilan itu berkembang sangat pesat. Dari yang semula hanya menempati lahan kurang lebih 2 x 3 meter, belakangan bertambah luas hampir 10 kali lipatnya. Ini karena uang keuntungan toko yang selalu aku kumpulkan dengan telaten sudah cukup untuk membayari rumah Pak Anwari, tetangga kami yang nasibnya kurang baik itu. Rumah itu kupugar sedemikian rupa, sehingga akhirnya berubah menjadi semacam mini market. Sementara itu, setelah menjual rumahnya, Pak Anwari dan keluarganya pulang ke kampung halaman mereka di Lampung.
Perjalanan hidup keluargaku sepertinya memang jauh lebih baik jika dibandingkan dengan keluarga Pak Anwari yang rumahnya beradu dinding denganku, dan kini rumah itu telah menjadi mini market milikku. Namun demikian, di tengah kelimpahan rahmat Illahi, selalu saja ada musibah yang datang ke dalam kehidupan kami.
Seperti yang terjadi hari itu. Wandi, salah seorang karyawan warung bakso suamiku datang dengan tergopoh-gopoh. Dia memberitahukan bahwa Mas Hadi tiba-tiba jatuh pingsan saat sedang membuat bakso untuk para pelanggannya. Masih untung kuah bakso yang panas mendidih itu tidak menyiram tubuhnya.
Apa sesungguhnya yang terjadi dengan Mas Hadi? Mengapa dia tiba-tiba hilang kesadaran dan jatuh pingsan?
“Bapak tidak tahu apa yang terjadi, Bu! Entah bagaimana, tiba-tiba kepalaku pusing sekali, dan pandangan mataku jadi gelap. Selanjutnya, aku tidak tahu apa-apa lagi,” cerita Mas Hadi saat berada di Unit Gawat Darurat (UGD) sebuah rumah sakit swasta di kota tempat kami tinggal.
Hanya sehari semalam suamiku diopname di rumah sakit. Karena menurut hasil pemeriksaan laboratorium dan diagnosis secara umum tidak terdapat gejala penyakit apa pun dalam tubuh suamiku, maka dia diperkenankan segera pulang.
“Mungkin aku kurang darah ya, Bu?” Cetus Mas Hadi ketika kami tengah berduaan di kamar.
“Kalau begitu mulai besok Bapak harus banyak minum vitamin,” jawabku sambil terus memijiti tubuhnya dengan penuh kasih sayang.
Tapi, asupan vitamin nampaknya tidak berarti apa-apa. Atau bisa jadi juga karena dugaan Mas Hadi yang merasa dirinya kuran darah itu memang salah seratus persen. Buktinya, hanya 4 hari setelah dia pingsan kemarin, kenyataan yang lebih buruk lagi menimpa dirinya. Mas Hadi kembali jatuh pingsan saat melayani bakso untuk para pelanggannya. Dan sekali ini nasibnya tidak sebaik yang kemarin. Kuah bakso yang mendidih panas itu menyiram dada dan perutnya. Karuan, Mas Hadi kembali dilarikan ke rumah sakit. Karena luka akibat tersiram air panas yang cukup parah, maka kali ini Mas Hadi harus diopname selama seminggu.
“Sebenarnya, apa sih penyakitku, Bu? Kenapa sekarang kepalaku bisa mendadak pusing tujuh keliling dan pandanganku jadi gelap gulita?” Tanya Mas Hadi dengan risau.
Sambil mengupaskan jeruk untuknya, kukatakan hal yang sejujurnya sesuai dengan pemberitahuan dokter padaku, “Katanya tekanan darah Bapak kurang. Selebihnya, Bapak tidak menderita gejala penyakit apapun. Bapak sehat. Kalau lukanya sudah kering, Bapak pasti segera diperbolehkan pulang.”
Malangnya, ketika aku masih sibuk mengurusi suami di rumah sakit, Handika anak terbesar kami juga mengalami kejadian yang sama. Entah kenapa, Handika terserang gejala penyakit yang sama seperti yang diderita oleh ayahnya. Kalaupun ada hal yang berbeda, itu semata terletak pada pengakuan Handika yang terdengar sangat aneh dan hampir sulit diterima akal sehat.
Ceritanya, sepulang sekolah hari itu, aku meminta tolong kepada Handika untuk menjaga toko, menemani Wati pegawaiku, yang kuberi tugas di kasir. Aku sendiri harus segera ke rumah sakit karena tidak ada yang menyediakan kebutuhan Mas Hadi, yang rencananya akan pulang sore harinya. Nah, sewaktu aku tengah mengurus kepulangan Mas Hadi, tiba-tiba Wati menghubungiku via ponsel dan memberitahukan tentang keadaan Handika, yang katanya mendadak pingsan saat tengah menjaga toko.
“Sekarang keadaan Handi bagaimana, Wat?” tanyaku dengan tangan gemetar memegang ponsel.
“Dia sudah sadar, Bu! Tadi ditolong Pak Subur, tetangga di depan rumah. Tapi sekarang badan Handi panas sekali,” beritahu Wati dengan suara diliputi kecemasan.
“Ya, sudah, kalau begitu secepatnya Ibu pulang!” Jawabku sambil segera menutup pembicaraan.
Sengaja hal ini tidak kuberitahukan pada Mas Hadi, sebab aku takut akan membuat batinnya kembali terguncang. Meski akhirnya Mas Hadi tahu apa yang telah menimpa putra sulungnya itu, namun sepertinya dia sudah lebih kuat menerimanya.
“Kok aneh, kenapa aku dan Handika mengalami penyakit yang sama, dalam waktu yang hampir bersamaan pula?” Cetus Mas Hadi dengan heran.
“Mungkin ini suatu kebetulan saja, Pak! Lagi pula, Handika tidak apa-apa kok. Katanya dia kecapekan sebab tadi ada latihan bola di sekolahnya,” jawabku, berbohong. Yang sebenarnya, aku sendiri merasa heran melihat kenyataan ini. Ya, mengapa Handika dan Bapaknya harus mengalami gejala penyakit yang sama, dan dalam waktu yang hampir bersamaan pula?
Yang tak kalah mengherankan adalah bila menyimak pengakuan Handika yang dituturkannya kepadaku. Begini katanya, “Waktu Handi menjaga toko, tiba-tiba ada ibu-ibu yang datang. Badannya gemuk dan besar, Pakaiannya berwarna putih, tapi kotor banyak noda seperti lumpur. Handi menanyakan, apakah ibu itu mau berbelanja, dan mau beli apa? Bukannya menjawab, ibu itu malah meniupkan sesuatu ke muka Handi. Setelah itu, kepala Handi mendadak pusing, dan penglihatan Handi berubah gelap gulita. Kemudian, Handi nggak ingat apa-apa lagi.”
“Kamu kenal siapa ibu itu, Han?” Kejarku, penasaran bercampur heran. Handi menggelengkan kepalanya. “Kayaknya dia bukan warga kompleks perumahan ini, Bu!” Tegasnya.
“Lantas, kamu tahu apa yang ditiupkan ibu itu ke wajahmu?” Tanyaku lagi.
“Seperti asap rokok, Bu!” Jawab Handi.
“Seperti asap rokok?” Kuulangi jawaban Handika di dalam batinku. Aku benar-benar heran dengan penuturannya. Siapakah sesungguhnya ibu bertubuh tambun berpakaian serba putih yang penuh noda lumpur itu? Dan benarkah yang ditiupkan ke wajah Handika hanyalah sesuatu yang serupa dengan asap rokok? Lantas mengapa benda mirip asap rokok itu bisa membuatnya pusing serta penglihatannya jadi gelap hingga akhirnya dia jatuh pingsan? Ajaib, zat apa yang digunakannya?
Karena pertanyaan itu terus berputar-putar di dalam otakku dan amat mengganggu konsentrasiku, maka akhirnya kucoba mengkonfirmasikan pengakuan Handika kepada Wati.
“Benar kemarin ada ibu-ibu bertubuh gembrot, berpakaian serba putih dan kotor yang datang ke toko kita, Wat?” Tanyaku kepada satu-satunya pegawai di tokoku itu.
“Sepertinya nggak ada tuh, Bu!” Jawab Wati setelah mengingat-ingat sebentar. Lalu, dia yang malah balik bertanya, “Memangnya ada apa, kok Ibu nanya seperti itu?”
Aku menarik nafas berat. Dan kataku sambil menghembuskan nafas berat juga, “Entahlah, Wat! Ibu sendiri sedang bingung memikirkannya. Tapi, Handika tidak mungkin berbohong. Dia bilang, kemarin ada ibu-ibu gembrot yang datang ke toko kita. Ibu-ibu itu berpakaian serba putih, tapi penuh noda seperti lumpur. Handika juga bilang, sewaktu ditanya mau belanja apa, ibu gembrot itu malah meniupkan asap ke wajahnya. Nah, pengaruh asap itulah yang membuat Handika kemarin jatuh pingsan. Aneh kan, Wat?”
Wati tidak menjawab. Dari roman wajahnya, aku tahu persis kalau dia merasa takut dengan cerita yang kututurkan. Karena itulah kucoba menetralisir keadaan dengan kata-kata ini, “Ah, sudahlah, tak perlu terlalu kau pikirkan. Mungkin, Handika kemarin memang sedang ngelantur!”
Tanpa menunggu respon dari Wati, aku segera pergi meninggalkannya. Namun tanpa kuduga, di ruang tengah aku malah menemukan kejadian yang lebih menegangkan lagi. Kulihat Mas Hadi sedang membrifing 4 orang pegawainya. Dalam brifing ini Mas Hadi sempat menyinggung soal ibu-ibu gembrot dan berpakaian serba putih yang kotor dengan noda lumpur itu.
“Ingat, kalian harus waspada dengan ibu-ibu gembrot dan berpakaian serba putih yang kotor dengan noda mirip lumpur itu. Kalau dia datang ke warung bakso kita, dengan cara apapun kalian harus bisa mengusirnya,” kata Mas Hadi dalam brifingnya. Hal ini sengaja dia lakukan sebab sejauh ini dia memang belum bisa bekerja seperti biasa di kios baksonya.
“Ibu itu sudah dua hari ke kios bakso kita. Dialah yang bikin pingsan, sampai aku tersiram dan sakit seperti ini. Jadi, bagaimana pun kita harus bisa mengusirnya, sebab ibu itu punya maksud yang jahat.”
Aku berdesir mendengar kata-kata Mas buni barusan. Untuk meyakinkan bagaimana ekspresi anak buahnya, segera saja aku keluar dari persembunyian dan coba bergabung dengan mereka. Sungguh aneh, kulihat wajah keempat karyawan Mas Hadi itu tegang, diliputi perasaan heran. Bahkan kemudian Wandi, karyawan yang paling dipercaya oleh suamiku berkata dengan risau, “Kami semua tidak pernah melihat ada pelanggan dengan ciri-ciri seperti yang Bapak sebutkan barusan. Bapak pasti setuju, bukankah selama ini pelanggan kita sebagian besar adalah kaum remaja? Jarang sekali ada ibu-ibu yang datang ke tempat kita, apalagi dengan ciri-ciri seperti yang Bapak sebutkan barusan.”
Kening Mas Hadi tampak berkerut-kerut sangat dalam, sebab dia tentu sulit menerima penjelasan dari Wandi. Namun, setelah dikonfrontir dengan tiga orang lainnya, ternyata semua karyawan memang mengaku belum pernah melihat pelanggan ibu-ibu dengan ciri seperti tadi.
Karena pendapat Wandi didukung oleh ketiga orang kawannya, maka dengan bijak akhirnya Mas Hadi harus menyerah. Setelah dirasa cukup, dia pun segera membubarkan pertemuan itu dengan wajah yang masih tampak diliputi perasaan heran.
“Memangnya, siapa sih ibu-ibu yang kau sebutkan itu. Kok kayaknya jadi masalah besar sih?” Tanyaku, memancing.
Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, Mas Hadi menjelaskan, “Entahlah, Bu! Tapi sekarang aku mau jujur sama kamu. Terus terang, sejak awal sebenarnya aku merasa ada yang aneh dengan diriku belakangan ini”
“Maksudnya aneh bagaimana, Pak?” Tanyaki lagi.
Mas Hadi menghempaskan nafas berat. Tanyanya, “Ibu tadi dengar sendiri kan perbincanganku dengan anak-anak?” Dia menatapku sambil meneruskan, “Heran, mereka semuanya mengaku tidak pernah melihat ibuibu gembrot dengan pakaian serba putih yang kotor penuh noda lumpur itu. Padahal, ibu itu nyata-nyata datang ke kios bakso kita. Dan, jujur Bapak katakan sama Ibu. Perempuan gembrot itulah yang membuat aku dua kali pingsan, sampai terakhir badanku tersiram kuah bakso. Aneh, siapa ya ibu-ibu gembrot itu?”
Aku balas menatapnya sambil berkata, “Bapak tahu tidak, Handika juga mengalami hal yang sama seperti Bapak.”
“Maksud Ibu?” Mas Hadi balik bertanya.
“Ibu-ibu gembrot dengan pakaian serba putih yang kotor penuh noda lumpur itu juga datang ke toko kita, Pak. Dia menemui Handika sebelum anak kita itu jatuh pingsan. Katanya, ibu gembrot itu meniupkan sesuatu ke wajah Handika, kemudian kepalanya pusing dan matanya jadi gelap, dan akhirnya dia jatuh tak sadarkan diri.”
Mas Hadi amat terperanjat mendengar keteranganku. Dengan wajah pucat dia berkata dalam nada setengah menggumam, “Aneh sekali! Kejadian yang sama juga menimpaku, Bu. Ya, perempuan gembrot itu melangkah mendekatiku, lalu meniupkan sesuatu mirip asap rokok ke wajahku. Dan, setelah itu kepalaku langsung pusing dan pandanganku berubah gelap, sampai akhirnya aku jatuh pingsan.”
Pengakuan Mas Hadi yang sama persis dengan pengakuan Handika, anak kami yang baru duduk di bangku kelas satu SMP itu, benar-benar telah menyiratkan suatu keanehan yang sulit untuk dicarikan jawabannya. Sesungguhnya, apakah yang sedang atau akan terjadi dengan keluarga kami? Apakah keanehan yang dialami oleh Mas Hadi dan Handika cukup untuk dijadikan alasan bahwa memang ada sesuatu yang kurang beres di tengah-tengah kami?
Sebelum aku sempat mendiskusikan kecurigaanku itu dengan Mas Hadi, ayah dari ketiga anakku itu malamnya berkata seperti ini, “Setelah Bapak pikir-pikir, apa yang kualami dengan Handika itu benar-benar tidak masuk akal. Bapak curiga, jangan-jangan ada orang yang ingin berbuat jahat pada keluarga kita, Bu!”
“Aku juga berpikir seperti itu, Pak! Tapi, siapa kira-kira orang itu ya?” Tanyaku.
“Tidak penting kita tahu siapa orangnya, sebab hal itu hanya akan menimbulkan dugaan dugaan dan fitnah. Yang paling penting, kita harus mencari jalan keluar agar bisa terhindar dari kejahatan ilmu hitam orang yang ingin mencelakakan kita itu, Bu!” Jawab Mas Hadi.
Setelah menarik kesimpulan sedemikian, kami akhirnya sepakat untuk meminta bantuan orang pintar. Untungnya ada Syahrial, adik suamiku, yang secara kebetulan kenal dengan seorang paranormal yang katanya ahli dalan hal melakukan pageran gaib. Sebut saja namanya Mbah Jenggotsari.
Singkat cerita, setelah melihat kondisi rumah, toko, dan kios bakso kami, Mbah Jenggotsari itu mengatakan bahwa memang ada seorang yang berniat jahat ingin menghancurkan usaha kami. Cara yang dilakukannya memang tidak secara frontal, melainkan dengan cara yang amat perlahan-lahan dan terukur.
“Terlebih dahulu orang itu bermaksud membuat kalian menderita. Contohnya, nak Hadi jatuh pingsan dan tersiram kuah bakso. Orang itu juga berusaha mengganggu anak kalian. Kalau saja rumah kalian ini tidak diselubungi cahaya ke-llahian, di antara kalian pasti sudah ada yang jatuh sakit parah. Untung, kalian termasuk orang-orang yang taat beribadah,” kata Mbah Jenggotsari.
Bulu kudukku agak merinding mendengarnya. Sambil menekan perasaan, aku berkata, “Kalau demikian, kami mohon dengan sangat agar Mbah bisa memberikan jalan keluar yang terbaik buat kami.”
Pria berwajah klimis itu manggut-manggut. Dia sepertinya cukup merespon harapanku. Buktinya, dia segera minta izin untuk mengelilingi rumah dan toko kami. Nah, sambil berkeliling inilah kulihat Mbah Jenggotsari menaburkan serbuk berwarna kuning yang ternyata adalah garam yang telah dicampur dengan bahan tertentu, sehingga warnanya berubah jadi kekuning-kuningan.
“Insya Allah kalian akan aman dari serangan gaib. Kalau ada apa-apa lagi kalian nanti boleh menghubungi Mbah!” Katanya setelah selesai melakukan semua ritual.
Syareat gaib yang diberikan oleh Mbah Jenggotsari memang bisa membuat kami kembali merasa lega. Selama hampir tiga bulan sejak disyareati olehnya, keadaan memang berlangsung adem ayem. Usaha mini marketku juga terus berkembang pesat. Demikian pula dengan kedai bakso yang dikelola oleh suamiku.
Kami bersyukur sebab Allah telah mempertemukan kami dengan seorang yang memiliki kemampuan linuwih seperti Mbah Jenggotsari. Dengan tanpa bermaksud menyekutukanNya, kami juga merasa yakin bahwa sarana pageran gaib yang diberikan oleh orang tua itu akan cukup mumpuni melindungi keselamatan kami, juga kelangsungan usaha yang kami kelola.
Tetapi, keyakinan kami ini kiranya tidak seratus persen benar. Memasuki bulan keempat sejak kunjungan Mbah Jenggotsari ke rumah kami, peristiwa super aneh itu akhirnya menimpaku.
Hari itu, seperti biasa aku tengah duduk di meja kasir, sedangkan Wati, karyawanku sedang mengatur letak sejumlah barang yang baru saja dikirim distributor. Kebetulan ketika itu toko sedang sepi pembeli.
Saat aku sedang asyik menghitung uang receh pecahan Rp. 1000, tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara ledakan kecil mirip sebuah petasan. Spontan pandangan kuarahkan ke depan toko, sebab syaraf reflekku langsung merasa bahwa suara itu memang bersumber dari sana. Tetapi, apa yang kulihat kemudian?
Aneh sekali! Di depan toko kulihat ibuibu gembrot dengan ciri-ciri seperti yang disebutkan oleh Handika dan ayahnya. Ya, dia tidak hanya gembrot, tapi juga berpakaian serba putih dengan kondisi kotor seperti diselemoti lumpur. Tapi yang membuatku terkesima, suara ledakan tadi berasal dari percikan kilat yang berasal dari tubuh sosok misterius itu.
Ya, sepertinya perempuan gembrot dengan dada besar itu tengah berusaha memutuskan semacam kawat yang menghalangi langkahnya. Apakah kawat yang memancarkan api itu merupakan perwujudan dari pageran gaib yang dipasang oleh Mbah Jenggotsari?
Entahlah! Yang pasti, ibu gembrot itu berhasil memutuskannya. Dan rupanya suara ledakan yang kudengar tadi merupakan efek dari putusnya pageran gaib Mbah Jenggotsari. Hal ini juga dapat dibuktikan dengan gerakan perempuan misterius itu yang dengan begitu cepat menaburkan serbuk merah menyala di sepanjang pelataran tokoku, dengan tatapannya yang tertuju tepat ke arahku. Ah, betapa menakutkan tatapan itu, sebab laksana aku melihat sepasang mata iblis.
“Ja… ja… ja…!” Aku tak bisa berkata-kata, padahal yang sesungguhnya aku ingin berkata seperti ini, Jangan lakukan itu! Jangan ganggu ketentraman kami!” Tapi, semua kata-kataku tersangkut di dalam kerongkonganku. Bahkan ketika aku bermaksud bangkit untuk mengejar si ibu misterius, sedikit pun aku tak bisa menggerakkan tubuhku. Ya, tubuhku seperti melekat erat pada kursi yang kududuki.
“Ibu kenapa?”
Tiba-tiba kudengar suara itu. Ya, suara Wati yang rupanya melihat ekspresi tubuhku yang tiba-tiba berubah aneh di matanya. Bersamaan dengan itu si ibu gembrot yang nampak jorok itu bergerak cepat ke arah jalan raya di depan toko. Dia kemudian menghilang di tikungan.
Anehnya, hanya selang sekitar 15 detik setelah ibu itu menghilang, tubuhku bisa digerakkan. Syaraf reflekku memerintahkan agar aku segera mengejarnya. Namun malang, ketika aku bermaksud berlari mengejar sosok misterius itu, kakiku tersandung peti botol minuman. Karena lariku yang kencang, aku langsung terjatuh dengan kepala membentur pilar. Kudengar Wati menjerit. Setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi…
BEGITULAH rentetan kejadian aneh yang aku alami bersama suami dan anakku. Kini, sudah beberapa bulan kejadian itu berlalu. Aneh bin ajaib! Sejak itu baik toko maupun kedai bakso yang kami kelola berubah sepi. Yang lebih menyedihkan, gara-gara kakiku menabrak peti botol minuman pada hari itu, maka hingga kini kaki sebelah kananku selalu terasa ngilu, dan kalau sedang kumat sakitnya bukan kepalang. Sudah coba kuobati. Tapi hampir-hampir tidak ada perubahan.
Kami juga sudah mencoba kembali meminta pertolongan kepada Mbah Jenggotsari.
Tapi malangnya, Mbah Jenggotsari juga tengah menerima cobaan dari Tuhan. Entah karena sebab lain, atau karena sebab medis sehubungan dengan usianya yang sudah relatif tua, Mbah Jenggotsari dikatakan Syahrial sedang terbaring sakit. Jadi, mustahil kami meminta bantuannya.
Di tengah kebingungan, pikiran buruk memang sering menghinggapi aku dan Mas Hadi. Kami menduga, orang yang telah tega mencelakakan kami adalah Bu Baroto. Dia adalah seorang rentenir dan makelar rumah yang dulu bersaing denganku saat memperebutkan rumah Pak Anwari. Mungkin, Bu Baroto merasa sakit hati sebab Pak Anwari pada akhirnya menjual rumah itu kepada kami, padahal dia sudah memberi uang panjar dan berani membeli dengan harga yang lebih tinggi. Rupanya, Pak Anwari lebih senang menjualnya kepada kami, sebab selama ini kami memang banyak membantunya apabila dia tengah menghadapi kesulitan.
Apakah benar Bu Baroto orang yang telah berbuat jahat terhadap keluarga kami? Kalau dipikir-pikir, penampilan ibu-ibu gembrot dengan baju serba putih dan penuh noda lumpur itu memang ada kemiripannya dengan Bu Baroto. Ya, terutama ukuran tubuhnya yang sama-sama tambun. Masalahnya, mengapa Bu Baroto bisa seperti hantu, misterius dan menakutkan! Wallahu a’lam bissawab. ©️KyaiPamungkas.

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.
Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)
NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)
NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)
WEBSITE: paranormal-indonesia.com/
(Selain web di atas = PALSU!)
NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)
ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)