Cerita Kisah Kyai Pamungkas

Kisah Mistis: PUTRI SILUMAN BUAYA PUTIH

Kisah Mistis: PUTRI SILUMAN BUAYA PUTIH

PENGALAMAN LANGKA DIALAMI OLEH SEORANG PEMUDA BERNAMA JENGGOH, SESOSOK GADIS CANTIK YANG BERASAL DARI BANGSA SILUMAN BUAYA PUTIH MEMBAWANYA MEMASUKI KERAJAAN GAIB DI DASAR SUNGAI CIMANUK. BERIKUT ADALAH KISAH LENGKAPNYA…

 

SAMA SEKALI tidak kusangka jika gadis yang berusia sekitar 20-an tahun itu bukanlah manusia biasa.

 

Gadis cantik itu adalah puteri Raja Siluman Buaya Putih. Nama yang disandangnya pun sama sekali tanpa gelar serta tidak berbau ningrat atau darah biru, seperti layaknya nama-nama keturunan keraton pada bangsa manusia.

 

Ya, sederhana sekali dia menyandang nama. Danisem! Nama khas penduduk zaman dulu, yang lebih menyukai huruf terakhir “M’, yang berarti “hemat” karena saat mengucapkannya, posisi mulut mengatup. Tidak ada embel-embel Raden Ajeng ataupun Nyimas, seperti gelar yang disandang kalangan puteri keraton bangsa manusia. Kendati demikian, jika membicarakan kencantikannya, andai dibandingkan dengan ratusan gadis yang menjejali pentas pertunjukkan sandiwara malam itu, maka Danisem-lah yang paling bersinar.

 

Andai saja dia berasal dari bangsa manusia seperti diriku, tentu akulah pemuda yang paling beruntung di jagat raya ini. Bagaimana tidak? Karena aku mendapatkan gadis cantik, kulit kuning langsat, sepasang mata tajam, postur tubuh sangat proposional juga seksi.

 

Hanya semalam aku berada di kamar tidur Danisem, suatu malam yang sejuk, sunyi, hampa serta tanpa ada bola matahari. Betah dan kerasan rasanya berada di lingkungan xeraton Siluman Buaya itu, yang keberadaannya tepat di Sungai Cimanuk, kawasan Desa Plumbon, Kecamatan/ Kab. Indramayu, Jawa Barat.

 

Meski hanya semalam, namun di alam manusia, orangtuaku sudah selesai selamatan tahlillan yang ke tujuh harinya. Ya, aku dinyatakan sudah meninggal akibat hanyut terbawa arus sungai Cimanuk tujuh malam silam. Sesuai dengan kesaksian Saklan, 40 tahun, pamanku yang malam itu bersamaku nonton pentas sandiwara di desa tetangga.

 

Karena itulah tidak aneh, jika pada saat aku pulang ke rumah, bukan hanya dua orangtua atau adik-adikku, bahkan para kerabat yang malam itu sedang berkumpul pun langsung lari berserabutan. Mereka mengira, yang muncul saat itu sesosok hantu atau jin yang menyerupai bentuk fisikku.

 

Setelah aku mengucapkan nama Allah SWT seraya menjelaskannya dengan tenang tentang keaslian diriku, baru mereka berani menghampiriku. Ibu adalah orang yang pertama kali berani menghampiri dan memelukku dengan tangisnya. Aku yakini Ibuku menangis bahagia, karena tidak jadi kehilangan anak kesayangannya. Nalurinya sebagai orang yang telah mengandung dan membesarkanku, merasa yakin kalau aku memang bukan jin ataupun setan.

 

Malam itu, aku dibiarkan tidur di kamarku yang sudah dipenuhi bunga rampai serta lampi minyak, khas pertanda kematian. Pagi-pagi sekali, persisnya seusai sarapan, seluruh keraba: dan keluarga berkumpul ingin mendengar peristiwa sesungguhnya yang telah aku alami. Berikut ini adalah kisahku yang sangat sulit diterima akal itu…

 

AKU terlahir sebagai anak kelima dari sepuluh bersaudara. Namun keempat kakak laki-lakiku seluruhnya meninggal saat masih balita, akibat serangan cacar air yang mewabah di daerah Indramayu di era tahun 1960 hingga 1970-an. Sehingga posisiku kini sebagai anak sulung dari lima bersaudara.

 

Adik pertamaku seorang perempuan, Tariyem namanya. Kini sudah punya dua puteri dan seorang putera. Disusul adik kedua seorang laki-laki bernama Watipan yang kini sudah punya seorang puteri.

 

Berikutnya adik perempuanku bernama Neni Rusnenti menempati nomor tiga yang kini mengadu nasib di Timur Tengah sebagai TKW dan kini sudah punya satu orang puteri, sedangkan yang paling bungsu, masih pemuda tanggung. Edi Karyadi namanya.

 

Di antara kelima bersaudara itu, hanya akulah yang menamatkan sekolah hingga jenjang SLTA. Aku memang paling dimanja ibuku. Karena perlakukan istimewa itulah membuat perjalanan hidupku sejak masih duduk di bangku SLTA penuh gelimang dosa.

 

Bergaui dengan minuman keras, nyaris tiap malam. Suka berantem dan suka gonta-ganti pacar. Maklum, kata orang, tampangku di atas rata-rata pemuda sekampungku.

 

Hanya ada dua pantangan yang masih terus kupegang teguh, yakni melakukan hubungan intim di luar nikah dan mencuri. Dua pantangan itu selalu aku pelihara dalam hati sanubari, meski dalam keadaan mabuk sekalipun.

 

Untungnya, selain Ibuku, aku ternyata sangat disayang Tuhan. Terbukti, masa kelamku dapat berakhir lewat perantara seorang santri asal luar kecamatan. Sejak kenal dengan Sarmadilaga, sedikit demi sedikit aku tinggalkan kubangan dosa yang sepuluh tahun lebih aku jalani.

 

Bukan itu saja, setahap demi setahap aku menimba ilmu agama melalui jamiyah serta mulai belajar menegakkan shalat lima waktu dan rukun Islam lainnya.

 

Tanpa terasa lima tahun berlalu dan hidupku selalu berada di bawah naungan Nur Illahi.

 

Aku mulai menyukai pengajian, namun pentas hiburan masih tetap kusukai. Itu semata-mata mengikuti hasratku sebagai anak muda.

 

Hanya bedanya, saat berada di pentas hiburan orang hajatan, mulutku tidak bau miras Miras sengaja aku ganti dengan kopi susu yang baik buat kesehatan.

 

Malam itu di Blok Lebu, Desa Plumbon, Indramayu, digelar pentas sandiwara “Pulung Sari”. Bersama Saklan, pamanku yang kini tinggal di Jatibarang, Indramayu, pentas sandiwara itu pun aku kejar.

 

Cuaca awal kemarau memang kurang begitu bagus. Di langit masih ada selembar mendung yang sewaktu-waktu bisa menumpahkan gerimis. Sekitar pukul sembilan malam, tepat gamelan bertalu, aku dan Saklan tiba di lokasi pementasan. Layaknya anak muda,

 

Pertama-tama yang dibidik setibanya di pentas sandiwara, adalah gadis-gadis manis yang juga berharap dibidik para pemuda. Banyak juga gadis manis di samping panggung sandiwara, namun belum ada yang cocok dengan seleraku.

 

Gerak-gerik menggoda dari para gadis, hanya aku balas dengan senyum datar. Berpuluh-puluh gadis manis sudah aku lewati tanpa selera, kini langkahku tepat berada di pojok belakang panggung. Di situ, puluhan pemuda tengah mengerumuni sesuatu. Aku pun penasaran, apa yang sedang mereka kerumuni.

 

Di tengah-tengah kerumunan anak-anak muda itu, ternyata ada sesosok gadis manis. Ya, dia sangat manis ketika tertimpa cahaya lampu dari pentas sandiwara. Aku tatap lekat-lekat. Rupanya puluhan pemuda itu tengah berjuang untuk mendapatkan perhatian khusus dari si gadis cantik.

 

Tapi ada harapan cerah dalam rongga dadaku. Ternyata gadis itu menunjukkan wajah dingin terhadap godaan puluhan pemuda. Sebagai pemuda yang sudah berpengalaman menjerat gadis-gadis, aku punya cara tersendiri untuk menarik perhatian gadis itu. Aku tidak akan serampangan. Tidak akan grasa-grusu, karena aku yakin gadis itu punya selera tinggi dalam hal menentukan pemuda idamannya.

 

Ternyata strategiku mengena juga. Dalam satu benturan lirikan mata, aku sempat menangkap kilasan senyum pada sudut bibirnya yang bak kelopak mawar sedang merekah. Reaksi sekecil apapun dapat aku tangkap dalam sinyal kelaki-lakianku. Akupun beranjak menghampirinya.

 

Melihat gadis itu merespon kehadiranku, satu demi satu para pemuda itupun menjauh dan membidik sasaran gadis-gadis lain yang ada di sekitar pentas sandiwara. Secara singkat, perkenalanku berlangsung hangat di pojok panggung. Sementara pamanku hanya bertindak sebagai bodyguard-ku. Gadis itu menyebut namanya Danisem. Nama yang sederhana, sekaligus kampungan. Bahkan, sama sekali tidak serasi dengan wajahnya yang jelita.

 

“Rumahmu di mana?” Tanyaku setelah kami saling mengenalkan nama.

 

“Rumahku tidak jauh dari sini,” jawab Danisem sambil tersipu-sipu.

 

Percakapan setengah berbisik berlangsung hangat, tanpa jarak. Di luar dugaan, Danisem punya temperamen tinggi, terbukti, sejak berkenalan, tubuhnya terus menempel ke tubuhku.

 

Sekitar satu jam kemudian, selembar mendung di langit mulai berubah jadi butiran gerimis. Saat itulah terjadi keganjilan. Aku merasakan lenganku digamit, persisnya diseret Danisem untuk berteduh di bawah emper rumah di belakang panggung.

 

Dia laksana nahkoda kapal melihat gulungan gelombang dan badai, tubuhnya gemetar saat berteduh di bawah atap. Keanehan lainnya, di tengah-tengah ratusan penonton, hanya ada sepasang laki-laki paruh baya yang menyapanya. Mestinya, untuk gadis seperti dia pasti punya sanak keluarga untuk mengawasinya.

 

Untungnya gerimis itu hanya berlangsung singkat. Ketika jarum-jarum gerimis berhenti dan para penonton kembali ke area pentas sandiwara, Danisem mengajakku singgah ke rumahnya. Aku pun menyambut ajakannya dengan suka cita. Lalu kami berjalan bergandengan tangan. Sementara Saklan mengekor beberapa meter di belakangku.

 

Jalan alternatif penghubung Jatibarang-Indramayu kami seberangi. Kini langkah kami pun menaiki undakan tanggul sungai Cimanuk melalui samping pohon Kepuh yang batangnya dililit kain kafan. Pohon Kepuh sebesar perut gajah itu, konon sangat dikeramatkan warga setempat.

 

Kami melangkah sangat mepet hingga tanpa jarak. Tak terasa langkah kami pun melewati rumah paling ujung. Tapi Danisem terus saja mengayun langkah dan mengatakan rumahnya masih di depan.

 

Ada kebimbangan dalam batinku, sebab aku sedikit mengenal lokasi ini. Setelah rumah berdinding bilik tadi, sudah tak ada rumah lain dan hanya ada hamparan rumpun bambu.

 

Memang benar. Kini langkah kami memasuki punggung tanggul yang di sisi kiri-kanannya dipagari rumpun bambu sangat rapat. Namun Danisem masih terus mengayun langkah.

 

Pada lorong antara rumpun bambu, Danisem mengajakku menuruni tanggul tanpa undakan, menuju aliran sungai yang tengah penuh. Aku menendok ke belakana, Saklan sudah tak kelihatan lagi.

 

Ketika langkah mulai meninggalkan rumpun bambu paling akhir, aku merasakan pada tubuhku seperti ada sengatan listrik. Jantungku seakan berhenti memompa darah. Pandanganku mula-mula seperti melihat kabut tebal. Ketika melewati kabut tebal, mataku terbelalak lebar. Sungguh sangat menakjubkan, kini, aku memasuki gapura dengan jalan terbentang sangat lenggang. Nun jauh di depanku, tersaji pemandangan pemukiman yang sangat asing.

 

“Itu rumah orangtuaku,” tunjuk Danisem.

 

Apakah bukan mimpi? Ya, Danisem menunjuk bangunan megah yang tak layak disebut rumah, tapi lebih tepat disebut keraton. Keanehan itu aku simpan dalam hati.

 

Langkah kami pun menapaki peramadani sangat indah terhampar di lantai ruang tamu yang luasnya seluas rumahku sendiri. Di sini juga tidak ada siapa-siapa selain kesunyian dan suasana yang lenggang.

 

Kami menghentikan langkah di sebuah kamar teramat indah. Ternyata itu kamar tidur Danisem. Dan memang bukan mimpi, ketika Danisem menjelaskan dengan suara lembut.

 

“Maaf, Kang! Sesunguhnya aku bukan manusia, dan saat ini Kakang ada di alam lain. Alam gaib Jin Buaya Putih”

 

“Kamu Siluman Buaya Putih?” Ucapku tanpa sadar.

 

“Jangan ngomong soal siluman. Kedengarannya kurang enak. Siluman itu jenis jin kafir. Sedangkan aku dan keluargaku jenis Jin Muslim,” kata Danisem.

 

Muslim? Apa mungkin. Sepertinya mustahil. Rupanya Danisme bisa membaca jalan pikiranku. “Mulai ayah dan ibuku sampai dengan aku sendiri adalah murid Ki Solekhuddin Abbas, ulama tersohor di masa Wali Songo. Ayahku sudah menunaikan ibadah haji puluhan kali, begitu pula ibuku. Tinggal aku yang belum memenuhi panggilan berangkat ke Tanah Suci,” urainya.

 

Penjelasannya makin membuat kepalaku mau meledak. Aku memang tidak paham dengan seluk beluk bangsa jin dan bangsa manusia. Yang aku tahu, bahwa Tuhan menciptakan manusia dan jin hanya untuk beribadah kepadaNya.

 

“Aku berterima kasih karena sudah diantar sampai ke rumah. Sebagai timbal baliknya, aku ijazahkan salah satu hizib yang aku peroleh dari guruku:

 

“Hizib? Hizib apa dan buat apa?” Tanyaku bingung.

 

Danisem menuliskan huruf Arab dan akupun mengikutinya dalam hati. Setelah selesai, secarik kertas itupun dia serahkan ke tanganku. Danisem menyebutnya Hizib Alwana.

 

Menurutnya, jika sudah menjalankan laku puasa dan wirid sesuai aturan, Insya Allah dalam diriku terbungkus setrum hikmah yang mampu mendeteksi hal-hal gaib dan punya jurus bela diri khusus yang bergerak dengan sendirinya jika terdesak dan teraniaya.

 

Sementara sebagai perisainya, dalam keadaan tak berdaya bakal timbul kekuatan anti cukur. Tidak mempan segala macam senjata tajam. Serta tidak mempan disengat berbagai serangga beracun.

 

“Sekarang pejamkan mata, tunggu lima tarikan nafas, lalu buka mata kembali,” perintah Danisem.

 

Akupun menurutinya. Aku mulai menghitung tarikan nafasku, sekitar enam atau tujuh tarikan nafas, aku membuka mata. Aku pun terlonjak kaget, manakala aku lihat sekelilingku gelap gulita.

 

Aku celingukan. Tidak ada lagi kamar indah milik Danisem. Aku terus mengamati sekelilingku. Alhamdulillah, rupanya tempatku berdiri kini tak lain kebun mangga milik ayahku sendiri. Tanpa ragu, aku ayunkan langkahku. Tak beberapa lama, sampai juga di belakang rumahku sendiri. Ketika itulah aku menyaksikan suasana rumah yang ramai sebab banyak orang yang tengah melakukan tahlilan untuk memperingati hari ketujuh kematianku. Subhannallah! Padahal, aku merasa beberapa jam saja bersama Danisem, gadis putri raja Siluman Buaya Putih itu…

 

SEPERTI anjuran Danisem, akupun mengamalkan Hizib Alwana hingga tiga kali patigeni. Sampai terjadi peristiwa dahsyat yang sulit dicerna akal sehat. Suatu senja menjelang Maghrib, sedikitnya 25 pemuda berandalan dipimpin Ade alias Denggol bin Cutin melakukan penjarahan buah mangga milik pamanku. Atas permintaan Dasma, pamanku, akupun mendatangi gerombolan itu, maksudnya menyarankan agar menyudahi aksi penjarahan tersebut.

 

Akibatnya, benar-benar fatal. Dengan menggunakan clurit, golok, samurai, pisau serta bambu runcing, sekitar 25 pemuda berandalan itupun mengeroyokkku. Aku dikeroyok selama hampir satu jam mulai Maghrib hingga Isya. Meskipun sudah kehabisan tenaga dan tergeletak di atas tanah. Puluhan senjata terus saja mencincang sekujur tubuhku. Mulai kepala hingga ujung jempol kaki. Anehnya, hanya kain baju dan celana pendekku yang menjadi mirip sisiran daun tembakau. Sedangkan kulitku sedikitpun tidak lecet. Bukan itu saja, ternyata di luar kesadaranku, aku melancarkan gerakan bela diri yang belum pernah aku pelajari sebelumnya hingga mengakibatkan lima berandalan itu ambruk penuh luka bacokan oleh senjata tajamnya sendiri.

 

Mungkin karena kelelahan terus-terusan mencincang tubuhku, mereka serempak kabur sambil memapah teman-temannya yang luka parah. Sejak peristiwa itu, aku makin dekat dengan Tuhan. Tiap malam, aku berupaya membacakan wiridan Hizib Alwana sebagai perantara Tuhan menyelamatkan tubuhku dari cincangan senjata tajam. Wallahu a’lam bissawab. ©️KyaiPamungkas.

Paranormal Terbaik Indonesia

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.

Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)

NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)

NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)

WEBSITE: paranormal-indonesia.com/
(Selain web di atas = PALSU!)

NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)

ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)


Related posts

Kisah Mistis: KAYA LEWAT SEKS DENGAN NYI BLORONG

Kyai Pamungkas

Kisah Kyai Pamungkas: ANEKA KEJADIAN MISTIS MELANDA LAMONGAN

Kyai Pamungkas

Kisah Kyai Pamungkas: PACAR HANTU SANG PENYANYI

Kyai Pamungkas
error: Content is protected !!