Kisah Kyai Pamungkas

Kisah Mistis: MISTERI SELEMBAR ULOS

Kisah Mistis: MISTERI SELEMBAR ULOS

DUA ORANG PEMUDA BERTEMU DENGAN SEORANG INANG YANG MEMBERI MEREKA SELEMBAR ULOS. KEMUDIAN BARU DIKETAHUI KALAU SANG INANG YANG BERNAMA TIARMA BR. SINAGA TERSEBUT SUDAH 10 TAHUN MENINGGAL! BAGAIMANA DETAIL CERITANYA…?

 

BEBERAPA waktu yang lalu para ilmuan sejagat, mereka yang menggeluti ilmu fisika n merekayasa produk “mesin waktu” sel sarana untuk menelusuri lorong-lorang waktu ke masa lalu dan ke masa depan ilmuan tersebut merasa yakin waktu dimanfaatkan guna membantu para agamawan untuk bidangnya masing-masing.

 

Kisah misteri berikut ini, dialami mahasiswa perguruan tinggi di kota Medan, yang pernah terjebak menelusuri lorong waktu ke masa lalu. Sepuluh tahun ke belakang.

 

Untuk jelasnya, silakan simak penuturannya guna mengetahui apa sebenarnya yang telah dialami si mahasiswa:

 

Pengalaman aneh ini kualami ketika aku dan seorang teman akrab berada di kota turis Parapat, 200 Km dari kota Medan. Kami menginap di sebuah villa yang berlokasi tidak jauh dari tepian Danau Toba milik pamanku.

 

Kemudian kami mengisi hari-hari libur sekolah tersebut dengan naik sampan kecil mengadakan perjalanan keliling guna menikmati fenomena pemandangan yang indah, sambil memancing hingga jauh ke tengah danau.

 

Danau Toba dengan pulau Samosirnya, sejak dulu memang punya daya tarik khusus bagi para turis baik lokal maupun mancanegara. Karena selain pemandangannya yang alami, di pulau Samosir juga cukup banyak ditemui peninggalan raja-raja Batak tempo dulu yang membuat para pengunjung berdecak kagum.

 

Setelah bosan dan jenuh serta telah bersampan dan memancing di seputar danau, pada hari kelima masa liburan, kami berdua memutuskan untuk kembali ke villa.

 

Silih berganti kami mengayuh sampan ke tepian. Senja itu, cuaca cukup bersahabat menyongsong sang mentari tenggelam di ufuk barat. Aku tengah santai berkayuh, ketika menyaksikan kelap-kelip lampu minyak tanah sepertinya dari arah sebuah perkampungan warga di pinggir pantai.

 

Aku dan Rudolf, demikian nama temanku tersebut agak heran karena sebelumnya tidak pernah tahu ada perkampungan di situ. Anehnya lagi, kami merasa tertarik untuk singgah di sana.

 

Sampan segera kuarahkan ke sana. Begitu tiba di tempat yang dituju, sampan segera aku tambatkan pada tonggak kayu yang menancap di dekat bibir danau.

 

Begitu turun ke darat, kami segera menikmati suasana yang nyaman dan damai melebihi tempat-tempat lainnya. Langkah-langkah kaki terasa ringan menelusuri jalan setepak di antara rimbunnya semak belukar di sana-sini.

 

Belum lama berjalan, kami tiba di sebuah tanah berbentuk persegi yang dikelilingi oleh pondok dan gubuk di tiga sisinya. Dan di tengah-tengahnya, nampak tanah kosong yang tidak ditanami apapun selain rerumputan yang tumbuh menghijau.

 

Di sebuah pondok berdinding bambu dan beratap daun nipah itu, kami berhenti melangkah. Sepertinya pondok tersebut dijadikan warung oleh pemiliknya. Di dalamnya terlihat beberapa lelaki muda tengah nongkrong dan santai.

 

Di depan meja ada beberapa botol berisi tuak, minuman khas warga setempat. Salah seorang anak muda yang tengah menengguk tuak dari gelasnya, memandang dengan tatapan aneh ke arah aku dan Rudolf.

 

“Horas, lay!” Aku coba menyapanya dengan aksen Batak.

 

Namun yang disapa cuek bebek, tak menggubris sapaanku. Rudolf kemudian mencubit lenganku agar terus saja melangkah. Mungkin ingin menghindari rasa curiga. Maklumlah, kami mengenakan pakaian orang kota, sementara mereka cuma pakai sarung dan bertelanjang dada.

 

Setelah berjalan beberapa langkah, kami berhenti kembali ketika mendengar sapaan seseorang. Ya, seorang ‘inang (ibu) muncul di ambang pintu gubuknya sambil melambaikan tangan meminta kami singgah.

 

Kami saling bertukar pandangan. “Gimana, kita ke sana?” Tanyaku kemudian.

 

“Terserah!” Pendek saja jawaban temanku ini.

 

Dalam hati, aku berpikir, rasanya tidak salah, kalau kami memenuhi ajakan inang itu. Apalagi mendengar nada sapaan tadi, cukup ramah dan santun. Siapa tahu, ada yang ingin dibicarakannya dengan kami sebagai tamu di kampung ini.

 

Malam itu gelap, ketika aku dan Rudolf melangkah masuk ke dalam gubuk. Di atas meja yang cukup bersih, nampak ada penganan berupa goreng pisang yang masih panas.

 

Dalam ruangan yang berukuran 3x 4 meter tersebut, kami kemudian disuguhi teh manis serta mencicipi penganan tadi. Lampu minyak tanah di sudut ruangan menyala mengusir kelam.

 

Inang yang mengaku bernama Tiarma Br. Sinaga tersebut, bertutur bahwa di gubuk itu cuma dia dan suaminya yang tinggal. Tidak dijelaskan apa kerja suaminya dan di mana pria itu sekarang berada.

 

Pembicaraan kemudian berlanjut tentang kampung huniannya ini. Bahwa tidak lama lagi kampung Martabe tersebut akan digusur. Karena di tanah persegi di depan sana akan dibangun villa atau rumah penginapan.

 

Sebenarnya warga kampung ini engan pindah meninggalkan kampung mereka. Ada yang mengajukan prostes ke pihak Pemda setempat dengan bermacam dalih. Namun pihak penguasa punya alasan kuat demi pembangunan kota turis Parapat, maka warga kemudian merelakan tanah leluhur mereka. Apalagi warga di sini diimingiming dengan ganti untung yang layak di atas hargatanah rata-rata.

 

“Jadi Inang mau pindah ke mana?” Tanyaku kemudian.

 

“Belum ada rencana, tapi mungkin untuk sementara menumpang di rumah anak saya di Pematang Siantar yang tinggal di Perumnas Batu Ono, jalan Semangka Raya.”

 

Setelah ngobrol berbagai masalah, kami pun pamit pada nyonya rumah sambil mengucapkan terima kasih.

 

“Tunggu dulu!” Ujarnya kemudian setelah berjabatan tangan sambil menjemput sesuatu dari dalam peti kayu di pojok ruangan. Dari dalamnya nyonya rumah memperlihatkan sebentuk ulos di hadapan kami.

 

“Terimalah ini, sebagai lambang rasa kekeluargaan di antara kita,” ujarnya sambil mengalungkan ulos alis selendang khas Batak tersebut di leherku.

 

“Terima kasih, Inang. Tapi kami tidak bisa memberikan tanda mata pada Inang sekarang. Kelak kami bermaksud mendatangi Inang di rumah anak Inang di perumnas itu,” kataku serius.

 

“Ah, itu tak usah dipikirkan. Saya memberi ulos itu tanpa pamrih sesuai dengan niat saya akan mengalungkannya pada mereka yang menyinggahi kampung ini sebelum digusur!” Kata nyonya rumah sambil memperagakan senyum manisnya.

 

Tanpa menemukan kendala, aku dan Rudolf kembali ke sampan yang tertambat di pantai danau. Berkayuh pulang ke villa saat malam mulai larut.

 

SETELAH menghabiskan masa liburan selama lebih kurang dua minggu di kota turis Parapat, aku dan Rudolf bersiap-siap untuk pulang ke Medan.

 

Namun sebelumnya, kami ingin pamitan sekali lagi kepada Ibu Sinaga yang baik hati itu sambil membawa sekadar oleh-oleh berupa kain sarung khas Batak yang aku beli di toko kota turis itu. Sekalian ingin berkenalan dengan suaminya yang ketika itu tidak berada di tempat.

 

Menduga kampung Martabe tidak mungkin didatangi melalu jalan darat, maka, kami memilih naik sampan seperti hari itu ke sana. Namun setelah mengayuh sampan mengelilingi perkampungan itu, di sana-sini dekat lokasi yang kami tandai, telah berdiri bangunan villa dan rumah penginapan.

 

“Apa kamu yakin di sini lokasinya?” Ujar Rudolf sambil mengedarkan pandangan berkeliling.

 

“Ya, iyalah… sangat yakin!” Aku turut mengedarkan bola mata kian kemari.

 

Setelah cukup lama tercenung di sampan, aku kemudian memutuskan untuk mendarat guna menimba informasi. Kepada seorang petugas sekuriti villa kami segera bertanya.

 

“Kampung Martabe?” Pria berpakaian seragam putih biru tersebut menyipitkan bola matanya.

 

“Sudah lebih sepuluh tahun yang lalu kampung itu telah rata dengan tanah untuk lahan bangunan villa ini. Termasuk rumah penginapan di sana!”

 

Aku dan Rudolf saling bertatap pandang. Sepertinya kami dibohongi, atau petugas sekuriti ini mungkin ingin sekedar bercanda.

 

“Anda ingin bercanda, bukan?” Tanyaku ingin memastikan.

 

“Bercanda? Ah, aku tidak punya waktu untuk bercanda dengan kalian… sebaliknya aku menduga, kalian sedang stress berat!”

 

Aku tersenyum. “Pak sekuriti, kami berdua tidak stress berat, sungguh kami ingin menemui seorang ibu bernama Tiarma Br. Sinaga di kampung itu. Karena beberapa hari yang lalu, kami pernah berkunjung ke gubuknya!” Ujarku kemudian masih tersenyum.

 

“Ah, sudahlah… aku sedang bertugas dan sedang banyak pekerjaan. Tak perlu kita bahas soal itu. Maaf anak muda!” Sang sekuriti kemudian berlalu.

 

Kami mulai heran. Sepertinya sekuriti villa tadi sulit untuk meyakini kami bahwa kampung Martabe sudah lenyap dan berganti dengan bangunan megah di atasnya.

 

Untuk memastikan bahwa kami pernah bertemu dengan warga kampung itu, kami masih punya bukti ulos yang kami tinggalkan di villa yang kami huni. Sekalian ingin mencari alamat anak inang itu di Pematang Siantar. Siapa tahu, anak Boru Sinaga tersebut bisa menandai ulos milik orang tuanya itu.

 

Ringkas cerita, sebelum pulang ke Medan, kami singgah dulu di ibu kota Kabupaten Simalungun. Begitu tiba di rumah yang kami tuju, seorang pria tua menyambut kedatangan kami dengan cukup ramah. Menyilahkan kami masuk dan duduk di kursi tamu.

 

“Kalian yang berminat membeli rumah ini?” Tanya lelaki tua yang berusia sekitar 70 tahun tersebut.

 

Kembali aku dan Rudolf saling berpandangan. Ternyata, keramahan barusan karena menduga kami yang akan membayar rumah perumnas tipe 21 tersebut.

 

“Maaf ya, Pak…” kataku kemudian. “Sesungguhnya kedatangan kami kemari bukan ingin membeli rumah.”

 

“Terus, apa yang bisa kubantu?” Wajah pria tua itu nampak agak berubah. Mungkin kecewa.

 

“Begini, Pak…” Aku cukup hati-hati berbicara. “Kami baru saja habis berlibur di Parapat. Selama berada di sana, kami pernah berkenalan dengan ibu Tiarma boru Sinaga di kampung Martabe….”

 

“Tunggu, apa aku tidak salah dengar! Bahwa kalian pernah bertemu dengan isteriku di kampung Martabe yang telah digusur sepuluh tahun yang lalu?”

 

“Apa? Jadi Bapak ini suami Inang itu, dan kampung Martabe sudah sepuluh tahun yang lalu diratakan?”

 

“Benar sekali! Jadi omong kosong kalian telah berkunjung kesana, dan omong kosong juga kalian mengatakan pernah bertemu dengan isteriku di kampung itu!” Lelaki tua yar sudah pantas kami panggil ‘opung’ tersebut berkata dengan sangat tegas dan serius.

 

Untuk membuktikan bahwa kami pernah bertemu dan bahkan berbicara dengan isteri beliau beberapa hari yang lalu, aku segera menunjukkan ulos pemberiannya.

 

Begitu melihat uos itu, kedua bola matanya berkaca-kaca. Lalu lelaki tua itu mengatakan, bahwa ulos itu memang pemberiannya sepuluh tahun yang lalu, beberapa bulan sebelum isterinya meninggal.

 

“Jadi Inang itu telah meninggal dunia?” Tanyaku ingin memastikan.

 

“Benar sekali! Mungkin yang kalian datangi hari itu adalah arwahnya,” pria tua itu tertunduk sambil menghapus air mata yang mulai menetes di pipinya.

 

“Rumah ini memang milik anaknya yang juga telah almarhum beberapa hari yang lalu. Jadi, ia ingin menjual saja kepada yang berminat. Dan tadinya kalian kuanggap tamu yang serius ingin membelinya?”

 

“Maaf ya, Pak, karena telah mengecewakan Bapak.” Ujarku sambil pamitan.

 

Dalam bus umum yang kami tumpangi pulang ke Medan, aku dan Rudolf lebih banyak diam. Kami benar-benar bingung. Sangat bingung. Sebelum pamitan tadi, atas permintaan lelaki tua tersebut, kami menyerahkan ulos’misterius itu kepadanya. Sekalian kami menghadiahkan kain sarung yang seyogyanya akan kami berikan pada Tiarma Br. Sinaga yang ternyata orangnya sudah lama tiada.

 

Beberapa bulan kemudian, entah kenapa aku merasa terpanggil untuk mendatangi sang opung kembali di rumahnya. Rumah tipe 21 tersebut sepi dan lengang seperti tidak berpenghuni. Semak belukar tumbuh subur di halamannya yang sempit.

 

Aku masih mencoba mengetuk-ngetuk daun pintu depan, ketika seorang wanita tua muncul di balik pagar rumah sebelah. Wajah si nenek memperagakan sikap heran ketika bertanya.

 

“Anak cari siapa?”

 

Segera aku datang menghampirinya di balik pagar pembatas tersebut, dan menanyakan lelaki tua yang pernah aku temui beberapa bulan yang lalu. Jawaban yang kuperoleh sungguh mencengangkan.

 

Bahwa lelaki tua yang kumaksudkan telah meninggal belum lama ini. Lehernya terlilit ulos diranjang. Sejak itu, rumah peninggalannya dipercayai kini ada hantunya.

 

“Warga perumnas yang melintas di depan rumah ini lewat tengah malam, terkadang sering menyaksikan penampakan ulos meluncur terbang dan melayang-layang di bubungan atapnya. Bahkan ulos tersebut pernah menakut-nakuti warga seperti ingin membelit leher korbannya,” kata si nenek melanjutkan penuturannya.

 

Bulu kudukku merinding menyimak kisahnya. Dan aku terus pamitan.

 

Pengalaman gaib dan bersifat supranatural ini berjadi sekitar Juni 1999, dan hingga kini sulit untuk dilupakan. Dan sukar pula untuk mengatakan itu cuma sebuah halusinasi belaka. Wallahu a’lam bissawab. ©️KyaiPamungkas.

Paranormal Terbaik Indonesia

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.

Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)

NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)

NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)

WEBSITE: paranormal-indonesia.com/
(Selain web di atas = PALSU!)

NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)

ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)


Related posts

Kisah Mistis: DIAMBIL MENANTU PENGUASA GAIB BELANTARA RIAU

Kyai Pamungkas

Kisah Kyai Pamungkas: UPACARA TENGKORAK WANITA MALAM

Kyai Pamungkas

Kisah Nyata: RADEN PATAH, RAJA JAWA KETURUNAN CHINA

Kyai Pamungkas
error: Content is protected !!