Kisah Mistis: ISTRI LAIN SUAMIKU
AIR SUSU dibalas air tuba! Mungkin, pepatah kuno ini amat tepat untuk menggambarkan betapa pahitnya nasib yang kualami. Semua kebaikan yang kulakukan dan kuberikan, ternyata hanya mendapatkan balasan berupa realitas hidup yang amat menyakitkan. Kebahagiaan yang selama ini kuimpikan tak lebih hanya sebuah fatamorgana yang begitu indah dihayalkan, namun tak sekalipun aku bisa merengkuhnya.
Memang, aku menikah dalam usia yang masih relatif muda. Kurang dari 20 tahun. Bukan hanya itu, pernikahanku dengan Mas Hadiyanto, sebutlah begitu, sesungguhnya juga merupakan rencana yang amat tergesagesa. Bahkan kalau dipikir-pikir, aku sering kali merasa aneh sebab sulit menerima kenyataan kalau aku telah menjadi isteri dari Mas Hadi, pemuda yang dulu amat kubenci. Jangankan menjadi isterinya, bahkan, dulu, untuk menjadi temannya saja aku merasa amat jijik.
Kata orang bijak, kebencian yang terlalu memang bisa menjelma menjadi . perasaan cinta. Mungkin, inilah yang telah terjadi dengan diriku. Setelah sekian lama mengharamkan diri walau hanya sekadar berteman dengannya, entah mengapa tibatiba aku malah jatuh cinta pada Mas Hadi. Hal ini berawal dari suatu kejadian yang serba kebetulan, seperti layaknya rangkaian cerita dalam sebuah sinetron. Tapi, mungkin saja semua ini memang sudah ketentuan Illahi. Bukankah jodoh setiap insan merupakan ketetapan Tuhan yang sulit terbantahkan? Ya, kalau banyak orang coba mengingkari jodohnya mungkin bila saatnya tiba, maka, tak seorangpun yang akan bisa menghindarinya.
Begitupula yang terjadi dengan diriku. Kebencianku pada Mas Hadi yang ibaratnya telah berkarat, tiba-tiba punah begitu saja hanya lewat sebuah kejadian yang sama sekali tak pernah terlintas dalam pikiranku.
Ceritanya, malam itu sekitar pukul 19.00. Aku baru saja pulang dari rumah Irna, sahabatku. Kami sama-sama kuliah satu kampus. Ketika aku tengah asyik mengendarai sepeda motorku, tanpa diduga kendaraan yang selalu setia mengantarkanku kemana pun aku pergi itu tiba-tiba ngadat. Mesinnya mati total. Berulang kali kustarter, tapi tetap saja tidak bisa hidup. Celakanya lagi, ketika itu gerimis mulai turun renyai-renyai dan aku berada di sebuah ruas jalan yang cukup sepi.
“Aduuuh… gawat nih. Mana nggak ada bengkel lagi!” Gerutuku hampir menangis. Ya, bagaimana tidak ingin menangis sebab malam itu rasanya keadaan sangat sepi. Yang lewat paling-paling angkutan umum bus 14 jurusan Sleman – Yogyakarta. Mana mungkin sopir-sopir bus itu mau menghentikan kendaraannya tanya untuk sekadar menolongku, padahal semua orang tahu persis kalau para sopir itu selalu bekerja dengan terburu-buru sebab memang harus bisa menutupi uang operasional bis. Gerimis semakin lebat, dan aku sudah hampir menangis karena putus asa. Motor bebekku yang ngadat sepeda, sudah kuputuskan untuk menuntun sampai rumah penduduk, nanti aku bisa menitipkannya di sana. Keputusanku ini mendadak berubah. Sebuah bus berhenti di tempatku memarkir sepeda, dalam bus itu lalu kulihat seorang turun. Dia kemudian berlari memanggul ransel di pundaknya.
“Lah, kamu kenapa, Lin?”Tanya Mas Hadi saat sudah dekat denganku.
“Ngadat, Mas!” Jawabku. Disamping tak menduga yang mendepatkan bantuan dari seorang yang selama ini kubenci, aku juga gugup karena untuk pertama kalinya aku bisa kembali berbicara dengan pemuda yang satu ini setelah perdebatan sengit beberapa tahun lalu. Ya, waktu itu aku masih duduk di kelas tiga SMA, sedangkan Mas Hadi sudah kuliah. Dalam sebuah rapat Karang Taruna di Balai Desa, dengan gayanya yang sangat dingin, Mas Hadi mematahkan semua argumentasiku saat mengusulkan agar dibentuk unit kerja khusus untuk menangani masalah pendidikan anakanak yatim dan kurang mampu.
Tak perlu kuceritakan bagaimana detil perdebatan itu. Yang pasti, gaya Mas Hadi yang dingin, dan menurut penilaianku amat sok tahu itu benar-benar menyuburkan kebencian dalam dadaku. Sebelumnya memang sempat kudengar cerita tentang pribadi Mas Hadi yang sombong dan dingin, bahkan cenderung menutup diri dalam pergaulan dengan remaja di desa kami yang terletak di pinggiran kota Sleman itu. Katanya, dia merasa dirinya sebagai seorang yang hebat, sebab bisa kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri ternama di Yogyakarta. Mungkin, karena itulah sikapnya amat sombong dan memandang sebelah mata terhadap aku, juga teman-temanku yang lainnya.
“Mungkin aku bisa memperbaiki sepeda motormu. Yang penting kita cari tempat berteduh dulu, yuk!” Ajak Mas Hadi, mengejutkanku dari ingatan kenangan beberapa tahun lalu itu.
“Oh iya, tapi di mana?” Jawabku sambil memberanikan diri memandang wajahnya. Ah, untuk pertama kalinya baru kusadari kalau pria yang satu ini ternyata memiliki wajah yang cukup tampan.
Dengan gaya yang amat mengesankan, Mas Hadi menepuk keningnya. Sepertinya dia baru sadar bahwa di sekitar kami memang tidak ada lokasi yang bisa dijadikan untuk tempat berteduh.
“Harusnya tadi Mas nggak usah turun. Kan cuma merepotkan saja!” Kataku.
Dia menatapku sambil berkata, “Apa kamu pikir aku tega membiarkan kamu sendirian dikerjai sepeda motormu ini?”
Aku tersipu malu. Entah mengapa, debardebar aneh mulai menjalar di dalam dadaku. Baru kusadari kalau Mas Hadi adalah seorang pemuda yang sangat simpatik. Mungkin aku, juga teman-temanku, memang salah dalam menilai pribadi Mas Hadi selama ini. Kalau wajahnya terkesan dingin dan angkuh, barangkali itu memang sudah dari sononya. Begitu pula dengan cara bicaranya yang kadani menjatuhkan mental lawan bicaranya, memang sudah menjadi karakter aslinya. Di balik semua itu, sesungguhnya Mas Hadi seorang yang amat baik hati. Kesan ini memang mulai menggodaku.
“Kalau begitu biar aku perbaiki di sini saja. Doakan aku bisa ya, Lin!” Katanya sambil tersenyum. Dia juga buru-buru menurunkan ranselnya dan mengeluarkan sesuatu dari dalamnya. Ternyata sebuah payung. “Tolong kamu pegang ini. Hujan semakin deras!” Katanya lagi sambil menyerahkan payung dan ransel itu ke tanganku.
Seperti seorang kekasih, aku setia memayungi Mas Hadi yang membuka busi sepeda motorku. Dengan telaten dia membersihkan busi itu. Yang membuatku makin terharu, Mas Hadi membersihkannya dengan sapu tangannya sendiri, sebab memang tidak ada kain lap di bawah jok sepeda motorku. Ketika kucegah, dia menampiknya dengan sangat mengesankan. Meskipun hujan turun semakin deras, masih untung ada lampu penerangan jalan sehingga Mas Hadi bisa melakukan semuanya dengan baik. Kurang dari 10 menit Mas Hadi membuka, membersihkan dan memasang kembali busi itu. Syukur Alhamdulillah, ketika distart, mesin sepeda motorku bisa menyala. Mas Hadi dan aku pun sama-sama menarik nafas lega.
“Alhamdulillah, sekarang mesinnya sudah nyala, tapi hujannya turun semakin deras!” Kata Mas Hadi yang sebagian pakaiannya sudah basah kuyup akibat payung di tanganku tidak bisa meneduhi seluruh tubuhnya yang atletis. Kasihan juga aku melihatnya.
“Terus Mas gimana, pakaianmu basah seperti itu?” Tanyaku sambil memandang iba padanya.
“Ah, nggak apa-apa! Yang penting bagaimana kamu bisa secepatnya pulang. Mungkin orang tuamu gelisah menunggu di rumah. Apalagi hari hujan begini, ujar Mas Hadi. Dari sorot matanya, aku tahu persis kalau dia juga merasa iba melihat keadaanku, sekaligus mengkhawatirkannya.
Hujan memang turun semakin deras. Di tengah deras hujan seperti ini, hampir mustahil aku bisa mengendarai sepeda motor seorang diri. Bukan karena aku kurang lihay mengemudikan sepeda motor. Masalahnya terletak pada mataku yang minus 4. Di tengah deras hujan, tentu saja kaca mataku tidak akan berfungsi dengan baik sebab akan terkena curah air sehingga pandanganku terhalang.
“Ya, sudah begini saja! Kalau kamu nggak keberatan, biar aku anterin kamu pulang. Setuju nggak?” Mas Hadi lagi-lagi menawarkan jasa baiknya. Sepertinya dia tahu dengan kesulitan yang aku alami. Buktinya, selepas berkata begitu, dengan terlebih dahulu meminta maaf, dia melepaskan kaca mataku yang lensanya memang kotor dan aku tak sempat membersihkannya. Dengan telaten dia membersihkannya. Lantas sambil menebar senyum dia memakaikan kembali kaca mata itu, sebab sebelah tanganku memang masih memegang payung, dan sebelah tanganku lagi harus memegang ransel Mas Hadi.
Semua rentetan kejadian itu sungguhsungguh telah membuat debaran aneh di dalam dadaku semakin bertambah hebat. Terlebih ketika di antara deras hujan itu tubuhku bersentuhan dengannya, karena aku memang harus menyetujui tawaran Mas Hadi yang ingin mengantarkan pulang. Aku juga semakin iba padanya demi melihat sekujur tubuhnya yang atletis itu harus basah kuyup. Bahkan, pakaian ganti yang ada di ranselnya juga mengalami nasib yang sama.
“Sekarang bagaimana? Semua pakaian Mas basah kuyup. Mas pasti tidak bisa melanjutkan perjalanan ke Yogya, kataku ketika perjalanan sudah sampai di dekat rumahku.
Sambil tersenyum dia menjawab, “Ah, nggak apa-apa! Mas kan bisa pulang dulu, dan menunda perjalanan sampai besok. Oya, maafkan aku ya. Mas nggak
bisa mengantarmu sampai rumah. Takut menimbulkan pikiran yang tidak-tidak di mata orangtuamu”
Ah, debar-debar di dadaku terasa semakin tak menentu. Sambil tertunduk aku berujar, “Terima kasih banyak atas bantuan Mas Hadi, Maafkan Lina kalau selama ini membenci Mas Hadi. Rupanya, Lina salah menilai siapa sesungguhnya Mas Hadi!”
Dia tersenyum simpatik. “Sudahlah! Nggak perlu dilebih-tebihkan. Apa yang aku lakukan sudah menjadi kewajibanku sebagai teman dan tetangga sekampung, jawabnya.
Teman? Ah, tak kusangka kalau ternyata dia menganggapku sebagai seorang teman. Padahal selama ini aku begitu memusuhinya, bahkan pernah berpapasan dengannya aku sama sekali tak menggubrisnya, apalagi menegurnya. Padahal waku itu Mas Hadi sempat menegurku. Ah, bodohnya aku!
Malam itu, kami berpisah di sebuah tikungan jalan yang sepi, ketika hujan telah mereda. Tikungan jalan inilah yang kemudian menjadi jalan kenangan bagi kami berdua….
BEGITULAH kisah yang melatarbelakangi berseminya rasa cinta di dalam hati kami berdua. Tak kusangka Mas Hadi begitu menawan hatiku, sampai-sampai aku harus pasrah dalam pelukannya. Bahkan, hanya sekitar 6 bulan sejak peristiwa itu, kami memutuskan untuk segera menikah. Keputusan ini memang serasa begitu cepat. Namun, kami memang tak bisa lari dari kenyataan. Ibarat benih-benih yang subur, maka cinta kasih di antara kami memang tak boleh dibiarkan tumbuh liar tanpa perawatan. Dan kami sepakat untuk merawat benih-benih cinta itu lewat ikatan perkawinan yang sakral. Apalagi kedua orang tua kami juga merasa tidak keberatan.
Singkat cerita, upacara pernikahan antara aku dan Mas Hadi pun akhirnya berlangsung dengan sangat meriah. Dalam resepsi pernikahan itu banyak teman yang berbisik di telingaku bahwa mereka amat surprise dengan pilihanku, Mereka tentu tahu bahwa selama ini aku memang sangat membenci Hadiyanto. Menanggapi komentar teman teman, aku pun hanya bisa menebar senyum.
“Aku juga nggak tahu kenapa bisa begini. Yang pasti, aku sayang dia!” Kataku dengan senyum bahagia.
Kasih sayangku mendapat balasan yang setimpal dari Mas Hadi. Dia juga begitu menyayangiku, memanjakanku, bahkan juga penuh perhatian terhadap diriku. Setidaknya, kenyataan ini memang kuterima pada tahuntahun pertama usia pernikahan kami. Meskipun akhirnya berubah seratus delapan puluh drajat.
Kira-kira setahun setelah pernikahan kami, bersamaan dengan usia kandunganku yang baru berusia 3 bulan, Mas Hadi mengajakku merantau ke Jakarta. Dengan penuh suka cita kutinggalkan kampung halamanku yang terletak di pinggiran kota Sleman itu.
Di Jakarta, pada mulanya keadaan memang berlangsung baik. Mas Hadi yang bekerja di sebuah perusahaan kontraktor itu bisa membahagiakanku dengan kelimpahan materi. Meskipun kami tidak hidup dalam kemewahan, namun dia selalu mencukupi semua kebutuhanku. Tak hanya itu, aku juga amat dimanjakannya. Karena waktu itu aku sedang hamil muda, Mas Hadi selalu melarangku untuk bekerja yang berat-berat. Di rumah kontrakan kami yang cukup besar, Mas Hadi mempekerjakan dua orang pembantu, meski aku merasa cukup dengan seorang pembantu saja.
“Pokoknya Mas nggak mau kamu bekerja berat. Ingat, jaga kesehatan bayimu!” Begitu alasan Mas Hadi yang selalu memanjakanku.
Aku merasa sangat beruntung sebab Tuhan memberiku suami sebaik Mas Hadi. Setidaknya, kenyataan yang indah ini terus menyertai perjalanan rumah tangga kami hingga usia anak pertamaku menginjak tahun keempat, dan aku mulai mengandung anak kedua.
Ketika usia kandungan anak keduaku baru menginjak dua bulan, prahara itu tiba-tiba datang mengempas. Perusahaan tempat Mas Hadi bekerja mengalami kebangkrutan setelah terbukti terlibat korupsi dengan rekanan perusahaan BUMN. Mas Hadi harus menerima PHK sepihak dengan uang pesangon yang tidak seberapa besar. Masih untung uang pesangon ini bisa kami gunakan untuk membeli sebuah rumah mungil di kawasan Cinere, Jakarta Selatan.
“Kenapa tidak kita gunakan untuk modal usaha saja, Mas! Kan kita masih bisa kontrak rumah,” kataku saat Mas Hadi memutuskan untuk menggunakan uang pesangonnya membeli rumah.
“Ini Jakarta, Lin! Rumah itu penting untuk masa depan kita. Soal pekerjaan, Mas akan berusaha keras agar bisa segera mendapatkannya. Mudah mudahan ada teman Mas yang mau menolong kita,” sambil memelukku. “Pokoknya aku nggak mau anak kedua kita tinggal di rumah kontrakan.” Tegasnya sambil mengusap-usap kandunganku. Betapa bangganya aku mendengar tekad Mas Hadi. Dan aku yakin dia bersungguhsungguh dengan tekadnya. Selama ini, dia selalu dapat membuktikan apa saja yang dicita-citakannya, sebab dia memang tipe orang yang senang bekerja keras dan pantang menyerah.
Toh, pada akhirnya kenyataan berkhianat atas keyakinanku itu. Entah apa yang menyebabkannya, Mas Hadi tiba-tiba berubah menjadi sosok yang rapuh. Di tengah kerapuhan itusikapnya juga mulai berubah. Dia yang selama ini selalu lembut dan penuh kasih sayang terhadap keluarga, terutama terhadap diriku, kini berubah kasar dan mudah naik darah. Dia juga mulai sering pulang malam dengan mulut bau minuman keras. Padahal, setahuku, Mas Hadi bukanlah seorang peminum. Malah, dia seorang yang amat taat beribadah.
Apakah kesulitan ekonomi telah merubah Mas Hadi? Sepertinya tidak. Setahuku, Mas Hadi tidak pernah mengeluh soal keuangan. Bahkan dia selalu memberiku uang belanja yang kadang-kadang terlampau banyak dan berlebihan. Padahal, setahuku Mas Hadi belum mendapatkan pekerjaan sejak di PHK dari perusahaan kontraktor itu. Hampir setiap hari dia juga tinggal di rumah, bahkan kadangkadang dia lebih banyak tidur siang. Memang, malamnya dia pergi ke luar rumah dan baru pulang menjelang subuh. Apakah Mas Hadi kerja malam? Ah, tidak mungkin.
“Kalau boleh aku tahu, dari mana kamu bisa mendapatkan uang ini, Mas? Bukankah Mas belum bekerja?” Tanyaku suatu sore ketika Mas Hadi memberikan setumpuk uang dan dia ingin berpamitan padaku.
“Kamu tidak perlu tahu dari mana uang itu aku dapatkan. Yang penting uang itu halal!” Jawabnya. Dia lalu mengecup keningku, dan segera ngeloyor pergi.
Seperti biasanya, kulepas kepergian Mas Hadi dengan dada dipenuhi debar-debar kecurigaan. Naluriku mengatakan, pasti ada sesuatu yang tengah disembunyikan oleh suamiku. Entah apa? Yang pasti, hati kecilku mengatakan ada sesuatu hal yang buruk akan terjadi.
Naluri seorang isteri terhadap suaminya memang tak pernah salah. Firasat burukku itu akhirnya terbukti dengan kutemukannya selembar foto perempuan di dalam saku kemeja Mas Hadi. Meski usianya barangkali lebih dewasa dari diriku, namun harus kuakui kalau perempuan itu jauh lebih cantik bila dibandingkan dengan diriku.
“Siapa perempuan ini, Mas?” Tanyaku ketika siang itu Mas Hadi terjaga dari tidurnya. Sebisa mungkin kutekan rasa cemburu di dalam dadaku, sehingga aku tak perlu bersikap kekanak-kanakan di hadapan Mas Hadi.
Suamiku sepertinya sedikit terkejut melihat foto perempuan yang ada di tanganku. Namun, dia pun tidak menunjukkan reaksi yang berlebihan, kecuali hanya sekadar mengangkat alisnya.
“Ooo… namanya Iriani. Teman Mas sewaktu kuliah di Yogya. Dia yang memberikan pekerjaan kepada Mas, sehingga semua kebutuhan rumah tangga kita bisa terpenuhi, katanya dengan nada ringan. Dia meneguk teh hangat yang kusediakan sambil membaca koran di tangannya.
“Maksud Mas gimana?” Aku penasaran.
Mas Hadi menarik tanganku. Lalu, katanya, “Iriani itu pengusaha hiburan. Kebetulan salah satu night club-nya membutuhkan tenaga akunting. Walau pun aku ini seorang Insinyur Sipil, sedikit-sedikit aku juga bisa pembukuan sederhana. Karena itu, aku terima tawaran Iriani ketika dia memintaku bekerja di night club miliknya itu. Ya, daripada nganggur. Kita kan butuh banyak uang untuk membiayai kebutuhan rumah tangga kita.” Mas Hadi mengusap-usap perutku yang semakin besar sembari menyambung, “Apalagi sebentar lagi si kecil akan lahir. Kita harus menyambutnya dengan semua persiapan yang pantas dibanggakan.”
Aku sedikit merasa lega mendengar penjelasan Mas Hadi, meski dalam hati aku masih merasa kurang puas. Kalau benar Iriani itu teman kuliahnya semasa di Yogya dulu, dan memberinya pekerjaan, lantas mengapa foto perempuan cantik itu harus ada di saku kemeja Mas Hadi? Apa perlunya seorang bawahan membawa-bawa foto bosnya? Kecamuk perasaan ini memang sengaja kukendalikan, sebab aku tidak ingin ada pertengkaran. “Biarlah aku mengalah asalkan segalanya berlangsung baik,” pikirku dalam hati.
Selepas persalinan anakku yang kedua, kebaikan yang kumimpikan itu malah berubah jadi neraka. Kecurigaanku selama ini bukan tanpa alasan. Hubungan Mas Hadi dengan Iriani memang bukan sebatas teman ataupun sebatas seorang bawahan dengan bosnya. Ya, mereka menjalin hubungan lebih dari itu. Aku melihat sendiri ketika dini hari itu Mas Hadi pulang dengan diantar mobil milik Iriani. Dari balik tirai jendela aku melihat bagaimana mereka berkecupan dengan begitu mesra. Bibir mereka saling berpagut sedemikian rupa, sehingga tanpa terasa air mataku mengalir seperti lahar menuruni bukit.
Mas Hadi amat terkejut ketika membuka pintu kamar dan mendapatkanku tengah menangis sesunggukan sambil memeluk guling. “Kamu kenapa, Lin?” Tanyanya dengan suara berat dan parau.
“Kau kejam, Mas! Aku tak menyangka kau akan mengkhianati cinta kita,” balasku di antara sedu sedan tangis yang sulit kutahan
Mas Hadi nampaknya mafhum dengan kesedihanku. Dia sadar sepenuhnya bahwa perbuatannya barusan dengan Iriani telah disaksikan sendiri oleh isterinya. Sebagai bukti, dia berkata, “Maafkan aku, Lin! Bukan maksudku untuk menyakitimu. Tapi, kenyataan ini memang harus sama-sama kita hadapi.”
Sambil menahan tangis, aku bertanya, “Kenyataan seperti apa, Mas?”
Mas Hadi bermaksud memelukku, namun aku mendorong tubuhnya. Meski begitu, dengan sabar dan tenang dia masih berusaha menjelaskan, “Iriani tiba-tiba datang ketika kondisiku sedang rapuh, Lin! Aku telah berusaha lari dan menghindar darinya. Tapi, aku tak bisa melawan kenyataan. Kehadiran Iriani mengusik semua kenangan itu. Ya, aku harus jujur mengakuinya bahwa dia adalah cinta pertamaku, dan cinta itu harus kandas karena Iriani tak dapat melawan keputusan Orang tuanya yang telah menjodohkannya dengan seorang pengusaha kaya. Aku juga tak bisa melawan kenyataan ini. Aku kalah dan patah hati, sampai kemudian aku bertemu denganmu di malam berselimut hujan ketika sepeda motormu mogok. Entah mengapa, tiba-tiba aku merasa tidak ingin bertindak bodoh dengan terus menghabiskan hidupku untuk menyesali cintaku pada Iriani. Aku ingin melabuhkan cinta itu padamu. Ternyata, Tuhan mengabulkan harapanku. Kau mau menerima cintaku, bahkan akhirnya kita menikah dan punya dua orang anak seperti sekarang ini. Apakah aku salah dengan semua ini, Lin? Apakah aku juga salah kalau harus menjalin hubungan dengan Iriani demi mendapatkan uang untuk membiayai semua kebutuhan keluarga kita?”
Kecuali tangisku yang semakin mengembang pilu, tak ada sepatah katapun yang bisa kuucapkan. Perasaanku telah hancur berkeping-keping. Aku merasa telah tertipu oleh cinta…
SUAMI iriani yang kaya raya itu telah meninggal akibat kecelakaan, dan kini dia berstatus sebagai seorang janda tanpa seora anakpun. Dengan harta dan perusahaan peninggalan suaminya, Iriani hidup dalam kemewahan. Bahkan, karena itu pula dia tak segan-segan memberikan uangnya kepada Mas Hadi, yang penting suamiku itu mau menemaninya kapan dia membutuhkan.
Membutuhkan? Ah, betapa menyakitkan membayangkan jawaban pertanyaan ini. Apakah yang dimaksud membutuhkan itu hanya sebatas menemaninya ngobrol, makan, atau jalan-jalan? Atau mungkin lebih dari itu? Menjijikkan sekali jika Mas Hadi juga harus menemaninya tidur.
Tetapi apa yang bisa kulakukan kalaupun kenyataan itu yang terjadi? Mustahil aku bisa melarang Mas Hadi untuk bertemu dengan Iriani, cinta pertamanya. Walau bagaimana pun, posisiku sebagai seorang isteri memang lemah. Dengan dua orang anak, aku merasa amat takut kehilangan tulang punggung keluarga. Bukannya takut memikirkan diri sendiri, tapi aku takut membayangkan anak-anakku yang akan hidup tanpa seorang ayah atau hidup dengan serba kekurangan padahal mereka jelas membutuhkan banyak biaya, baik untuk membeli susu atau untuk biaya kesehatan mereka. Jadi, karena itukah aku harus berkorban? Apakah keputusanku ini cukup bijaksana?
Entahlah, aku tak tahu pasti. Yang kurasakan kini adalah kenyataan hidup yang semakin pahit. Mas Hadi semakin jarang di rumah. Bila aku menanyakannya, maka dia akan menjawab dengan kasar dan dengan kalimat yang mengiris-iris hatiku.
“Aku cari uang untuk kamu dan anak-anak kita. Apa kamu mau aku tetus tidur sepanjang hari sementara anak-anak menangis karena butuh susu, makanan dan semuanya? Apakah kamu juga mau dikata-katai orang sekampung bahwa kita kere padahal sudah bertahun-tahun tinggal di Jakarta? Kamu pasti nggak mau, kan?”
Kalau sudah begitu paling-paling aku cuma bisa menangis. Dan aku pun semakin sering menangis sendirian setelah Mas Hadi mengutarakan keinginannya untuk segera menikah secara resmi dengan Iriani. Mungkin, kenangan indah bersama Iriani memang telah meracuni hati nurani Mas Hadi. Atau mungkin pula karena sebab-sebab lainnya. Ya, melihat dari sikapnya yang nyaris tak pernah bisa melupakan Iriani walau sedetikpun, buktinya, ketika tengah mencumbuku dia kerap menyebut-nyebut nama Iriani hingga tak terasa membuatku menangis. Agaknya, bukan tidak mungkin ada sesuatu yang aneh telah menimpa diri suamiku. Apalagi, bila dia coba melawan keinginannya untuk tidak menemui Iriani, maka tengah malam dia pasti akan merintih-rintih menyebut-nyebut nama perempuan itu.
Apakah Mas Hadi telah terkena serangan ilmu pelet atau pengasihan? Entahlah, aku tidak bisa memastikan dugaan ini. Hanya yang kutahu, seringkali kulihat Mas Hadi melamun seorang diri. Dari sorot matanya aku tahu bahwa dia sesungguhnya tak ingin semua ini terjadi.
“Aku tidak bisa berpisah lagi dengan Iriani, Lin! Kumehon, mengertilah keadaan ini. Izinkanlah aku menikah dengannya, dan aku berjanji akan membuat hidupmu bahagia bersama anak-anak,” kata Mas Hadi, suatu malam. Aneh sekali, dia mengatakan itu dengan air mata menganak sungai di atas wajahnya.
“Jika Tuhan memang telah menetapkan Iriani sebagai jodohmu, walau hatiku hancur aku akan coba ikhlas menerima dia sebagai maduku, Mas! Ya, mungkin inilah satu-satunya pengorbanan yang bisa kuberikan buat anak-anak kita,” sahutku sambil mencoba menahan tangis.
Mas Hadi memelukku. Kami pun saling bertangisan. Entah untuk apa tangis itu? Mungkin untuk cinta kami berdua, atau mungkin juga untuk kepasrahan yang harus kukorbankan. Yang jelas, aku tahu pasti kalau Mas Hadi ingin lari dari kenyataan. Dia masih memiliki nurani untuk mencintai anak dan isterinya dengan sepenuh hati. Apalagi aku bisa merasakan, pada dasarnya, dia ingin menghindar dari Iriani, namun, dia tidak memiliki kekuatan yang berarti untuk lari dari kenyataan itu.
Ketika kutuliskan kisah hidupku ini untuk website kesayangan ini, Mas Hadi telah bulat dengan niatnya untuk menikah dengan Iriani. Aku pun sudah tak memiliki cara untuk mencegah niat suamiku… Wallahu a’lam bissawab. ©️KyaiPamungkas.

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.
Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)
NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)
NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)
WEBSITE: paranormal-indonesia.com/
(Selain web di atas = PALSU!)
NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)
ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)