Kisah Kyai Pamungkas

Kisah Mistis: DIBURU ARWAH KORBAN PETRUS

Kisah Mistis: DIBURU ARWAH KORBAN PETRUS

KISAH NYATA INI DITUTURKAN OLEH SEORANG PNS YANG IKUT TERLIBAT DALAM PENGEJARAN DAN PENUMPASAN PREMAN-PREMAN BEBERAPA TAHUN YANG LALU ATAU YANG KEMUDIAN DIKENAL DENGAN ISTILAH PETRUS. SEPERTI APAKAH KISAHNYA…?

 

Hanya dengan mengantongi selembar surat tugas dari seorang Kapolsek, aku merasa bangga diangkat menjadi informan polisi di tingkat Polsek. Penampilan dan dandananku agak lain dari masyarakat biasa. Ke mana-mana aku selalu membawa borgol dan berjaket kulit. Tungganganku kuda besi bermerk Yamaha Twin 125 cc tahun 1969, Bunyi knalpotnya bising minta ampun. Tapi siapa orang yang terganggu telinganya dan berani menegurku. Aku sangat disegani dan ditakuti oleh masyarakat. Mungkin selain dandananku yang sangar, aku juga pandai bicara hukum yang kadang membuat pendengarnya manggut-manggut saja. Harap maklum, pendengarku kebanyakan memang para buruh tani dan tukang becak, yang minim sekali pengetahuannya dalam soal hukum, Pokoknya, ketika itu egoku tinggi sekali. Setiap malam, aku jarang berkumpul dengan keluarga, dan selalu keliling ke pelasok-pelosak di wilayah jangkuanku. Tentunya, dengan surat tugas yang aku pegang setiap aku berkunjung ke desa-desa, banyak upeti masuk dengan dalih untuk beli bensin atau rokok.

 

Memang, pada masa itu tiap yang berbau militer paling ditakuti baik oleh orang kaya apalagi rakyat biasa. Tapi jujur saja, ketika itu, sebenarnya aku bekerja di Dinas P dan K. Mungkin akibat aku pandai bergaul dengan Muspika dan orang-orang di bawahnya, maka aku dikenal oleh hampir seantoro kecamatan. Mulai dari Dansek, Camat, Kapolsek, dan Danramil adalah merupakan teman ngobrolku di hampir setiap malam.

 

Kadang-kadang, saat itu, aku diajak dalam operasi-operasi tertentu yang diinstruksikan oleh Mabes. Seperti operasi penggrebekan sabung ayam, judi koprok dan miras. Saat itu, narkoba masih belum semarak seperti sekarang ini, nyaris belum beredar di daerah.

 

Untuk menghadapi ekstrim kiri dan ekstrim kanan, aku tidak berwenang untuk menindak atau menangkap. Kewenanganku hanya menindak atau menangkap keributan anakanak muda di tempat hiburan atau hajatan warga, atau perselisihan di masyarakat. Untuk ekstrim kiri dan kanan, aku hanya sebatas memata-matai gerak-geriknya setiap hari, karena nama mereka sudah tercatat di Muspika.

 

Pelaku-pelaku kejahatan seperti premanisme dan sejenisnya, antara dahulu dengan sekarang sangat jauh berbeda. Kalau sekarang, banyak dilakukan di kota-kota dan di pasar-pasar besar. Sementara, dahulu, lebih merajarela di pelosokpelosok pedesaan. Sasarannya mulai dari petani kaya sampai ke pedagang sayuran yang digendong keliling.

 

Untuk petani kaya, modus operandinya, salah seorang datang, dia terus terang meminta jatah ke si petani karena padinya sudah laku ditimbang pada siang harinya. Biasanya, si petani tidak berani melapor, karena bisa repot urusannya. Kalau tidak diberi jatah, maka, para preman itu akan merusak bibit padi si petani bila musim tanam selanjutnya tiba.

 

Untuk pedagan kecil, si pelaku menghadangnya di pagi buta ketika si pedagang berangkat belanja ke pasar tradisional. Di sinilah para preman meminta Jatah. Kalau tidak diberi, alamat si pedagang bakal celaka.

 

Selain menimpa para petani dan pedagang, aksi kejahatan juga menimpa para Penggembala itik yang tidurnya di sawahSawah. Telur dan uang mereka dengan paksa. Bahkan saat itu ada seorang jeger (preman) Merampok mobil mertuanya sendiri di tengah Jalan, dengan cara bagi hasil dengan si pelaku.

 

Siapa sih yang tidak kenal dengan wilayah Pantura ketika itu? Selain mendapat julukan Jalur Tengkorak, ketika itu di wilayah ini bermunculan jeger-jeger dan kelompoknya, seperti Golek Merah, Bajing Loncat, dll. Ketika itu, operasi mereka merajalela dan benar-benar meresahkan masyarakat.

 

Masyarakat sungguh tak berdaya menghadapi keganasan mereka. Masyarakat hanya cari selamat saja, biarlah uangnya hilang dirampas para jeger. Hal ini dianggap buang sial saja. Toh, rejeki masih ada di depan. Kata-kata itulah yang selalu dilontarkan warga apabila aku menemui mereka, dan aku pun hanya bisa turut prihatin.

 

Mungkin keadaan seperti itu tidak hanya terjadi di tempatku saja, melainkan di seluruh Indonesia. Pemerintah tentu saja terus memonitor bangkitnya premanisme di manamana, Satu-persatu mereka dicomot, terutama para pentolan dan dedengkotnya.

 

Aku hanya tersenyum dan berpura-pura tidak mengetahui siapa pelakunya. Untuk apa aku banyak ngomong, masyarakat sangat senang dengan kehadiran petrus. Menanam mangga tidak mungkin berbuah durian, menanam cabe harus berani merasakan pedasnya.

 

Melihat dedengkotnya bergelimpangan tidak bernyawa, kroco-kroconya berlarian bersembunyi ke luar kota. Ada yang mendadak menjadi muadzin di mushola, insyaf sholat lima waktu. Ternyata mereka takut pada kematian, dan tidak mau merasakan pedasnya cabe yang mereka tanam sebelumnya.

 

Selama satu tahun tindakan yang dilakukan langsung oleh pusat dalam membasmi kejahatan preman-preman di daerah, akhirnya.

 

Kewenangan diberikan ke daerah-daerah untuk membasmi sisa-sisanya yang banyak bersembunyi keluar kota. Dan aparat desa adalah yang paling banyak tahu keberadaan dari sisa di mana jeger-jeger itu bersembunyi.

 

Aku adalah salah satu dari lima orang aparat yang beroperasi menumpas sisa-sisa jeger di wilayahku. Aku tinggal membuka catatan saja. Siapa-siapa yang masih hidup. Orang-orang inilah yang harus kami buru siang dan malam. Kami juga memasang telik sandi orang dekat dengan target. Kadang tetangganya, atau ada juga saudara target.

 

Bila suatu saat target keluar dari persembunyian, maka si telik sandi itu melaporkan ke petugas secara diam-diam. Dan pada saat yang tepat, di satu malam gulita langsung diambil dari kediamannya, dan dihabisi di luar kota.

 

Antara petrus pusat dengan petrus daerah meninggalka ciri yang berbeda dalam pekerjaannya. Kalau pusat menggunakan senjata api untuk menghabisi target, tetapi kalau daerah menggunakan benda yang mematikan untuk menghabisi target, seperti kawat rem untuk menjerat leher. Namun itu relatif, tergantung pada kekuatan target. Kalau terpaksa, maka. kami juga menggunakan senjata api.

 

Waktu pun berjalan sebagaimana mestinya. Manusia selaku pelaku di dalam ruangan waktu, tak bisa mencegah dan tak mampu menghentikannya. Kini aku sendiri, teman-teman yang dulu satu kesatuan dalam penumpasan di berbagai daerah. Karena aku sendiri asli putera daerah, jadilah tidak dimutasi kemana-mana.

 

Jika malam tiba, aku masih suka berkeliling untuk mendatangi rekan-rekan sejawat yang sangat jauh di luar kota. Kadang-kadang aku harus melewati tempat di mana waktu itu aku membuang mayat korban. Rasa takut dan rasa berdosa di hati yang paling dalam timbul saat aku sedang kesepian ditinggal sahabat yang dulu selalu bersama. Kini aku benar-benar merasa ditinggalkan seorang diri.

 

Padahal rasa takut dan dosa itu tidak pernah ada ketika aku masih aktif memburu para preman. Mungkin, seiring umurku yang bertambah tua, kini jiwaku tidak sekuat dulu lagi. Bahkan, di usia sekarang aku merasakan sesuatu perasaan yang aneh. Bayangan dari orang-orang yang dahulu menjadi sasaran perburuan, bermunculan dalam mimpi atau ketika aku dalam keadaan sadar. Padahal, aku hampir sudah tidak ingat lagi wajah-wajah korbanku, kecuali samar-samar terjadang melintas diingatanku…

 

Suatu malam, jam tanganku menunjukan waktu pukul 02 dinihari. Kupacu motor tuaku di atas jalan bergelombang dan berbatu, meski suara mesin terbatuk-batuk kupaksakan tancap gas. Angin malam menyapu wajah dan rambutku.

 

Sepanjang jalan yang dilalui terus saja pandanganku menatap ke depan. Tidak tertarik tengok kanan-kiri, yang biasa aku lakukan setiap kali bersepeda motor. Tidak ada sesuatu yang menarik untuk dilihat, sebab keadaannya baik di depan ataupun di kedua sisiku gelap gulita.

 

Ketika perjalanan memasuki perkebunan tebu hatiku mendadak merasa tidak enak. Bulu kudukku berdiri dan terasa berat, bagaikan ada beban di pundakku. Padahal aku sudah beberapa kali melewati jalan ini. Dan hanya lewat perkebunan tebu inilah jalan satu-satunya menuju ke rumah rekanku, Mahardi.

 

Saat berangkat dari rumah ba’da Isya, jalan menuju rumah rekanku ini masih ramai dilalui ojeg-ojeg yang hilir mudik membawa penumpang. Memang di lokasi perkebunan ini sudah menjadi buah bibir warga sebagai daerah rawan perampasan dengan paksa. Kebanyakan yang menjadi korbannya adalah para tukang ojeg.

 

Dari pertama masuk di jalan perkebunan tebu sampai pertengahan, tidak henti-hentinya kudukku bagaikan memikul beban. Karena… mesin motor mendadak mati, maka, aku lalu turun untuk memeriksa bensin. Masih penuh. Saat itu, dongkolnya hati tidak bisa ditulis dengan kata-kata. Pelampiasannya kupukul jok motor sekuat-kuatnya sambil mulutku mengumpati motor tuaku. Bayangkan saja, di tengah-tengah perkebunan yang luas dan gelap, motor mendadak mogok.

 

Kustandarkan motor agak di pinggir jalan, Kuperiksa kabel yang tersambung ke busi, tahu lepas. Tetapi setelah diperiksa, ternyata masih utuh menyambung.

 

Bisa dibayangkan, bila aku harus mendorong motor sampai ke jalan raya yang jauhnya masih beberapa kilo meter dengan jalan sedikit menanjak, tentu tak sedikit tenaga yang harus kukeluarkan. Sialnya, tidak ada perumahan penduduk.

 

Saat kebingungan, tiba-tiba dari belakang ada suara memanggil-manggil namaku. Manusia apa hantu? Pikirku heran sekali.

 

“Siapa itu?” Tanyaku memastikan yang memanggilku, karena tidak jelas wajahnya.

 

“Kenapa motornya, Pak? Mogok ya?” Tanyanya dengan suara yang rendah.

 

Ooo… rupanya Mahardi yang mendatangiku, Aku heran. Bukankah dia tadi di rumahnya. Bahkan aku baru pulang berkunjung dan ngobrol-ngobrol di rumahnya sejak dari sore, kenapa dia tiba-tiba muncul di tempat gelap ini? Pikirku.

 

Sebelum aku mengungkapkan keherananku kepadanya, dia sudah terlebih dahulu menjelaskan, “Sebenarnya, rasa khawatir motor ini mogok ingin saya katakan ke Bapak sejak dari rumah. Tapi saya takut Bapak tersinggung.”

 

Tetapi aku tidak begitu saja percaya dengan penjelasan rekanku itu. Apakah betul dia Mahardi, atau hanya dedemit?

 

“Mardi, kenapa kamu tiba-tiba ada di sini. Bukankah barusan saya baru dari rumahmu?” Tanyaku, masih tetap curiga dan waspada.

 

“Saya sudah katakan. Saya khawatir dengan motor Bapak dan terbukti. Motornya ngadat di sini,” ujarnya lagi meyakinkanku.

 

“Lantas, kenapa kamu tiba-tiba muncul di sini, sedangkan rumahmu sangat jauh dari sini?” Tanyaku lagi.

 

“Pak, saya ini asli lahir di sini. Jadi tahu jalan pintas yang mana untuk mengejar Bapak. coba lihat di belakang Bapak!” Ujarnya sambil menunju ke belakangku.

 

Otomatis aku memutarkan badan. Aku tersentak kaget, rerimbunan batang-batang tebu di belakangku tersibak lalu membentang jalan yang lurus. Dan di ujung jalan sana keadaannya terang benderang, seperti ada pasar malam saja.

 

Bersamaan mataku melihat jalan itu, aku seperti tersedot oleh kekuatan yang luar biasa. Ibarat kerbau dicucuk hidungnya, aku menurut saja ketika rekanku itu mengajakku untuk masuk ke jalan pintas itu. Aku berusaha untuk menghilangkan rasa curiga kepada rekanku, ketika dia ikut mendorong motorku.

 

Lolongan anjing milik warga dari kejauhan kudengar. Malam itu, burung hantu di langit bagaikan mengingatkanku akan adanya sebuah keganjilan dan balas dendam. Namun aku tetap tidak sadar dengan peringatan itu.

 

“Sudah, Pak. Pulangnya besok saja. Nginep rumah saya. Lagian di sini tidak ada bengkel!” ajak rekanku itu sambil membantu mendorong motor dari belakang.

 

Aku tetap belum bisa bicara, karena belum begitu sadar terhadap hal-hal yang ganjil ini. Burung hantu di angkasa bersuara berputarputar dari atas dan nyaris menyentuh kepalaku. cuara anjing melolong pun semakin ramai bersahut-sahutan.

 

“Tempat ini apa namanya?” Tanyaku ketika tiba di suatu komunitas yang ramai dengan orang-orang yang sibuk hilir mudik.

 

Tapi pertanyaanku tidak mendapat respon dari rekanku yang posisinya berada di belakangku. Saat aku menoleh kebelakang, bahkan dia telah raib entah ke mana!

 

Aku tertegun sejenak sambil berusaha menenangkan diri, dan mengawasi keadaan di sekitarku.

 

Kemudian hanya sekejapan mata, manusiamanusia yang sedang hilir mudik, yang tadinya acuh itu, kini berubah seperti akan menyerangku dengan cakar-cakarnya yang tajam dan siap akan dihujamkan ke arahku.

 

Kehempaskan motorku, lalu aku berlari. menghindari makhluk-makhluk zombie yang mau menyerangku itu. Ya, aku terus berlari menyelamatkan diri. Aku panik, ketika beberapa zombie itu mengejarku sambil berteriak-teriak dan bersorak-sorai. Kalau hanya dua atau tiga zombie saja, aku akan menghadapinya, namun ketika itu jumlahnya hampir lebih dari lima belasan.

 

Terus dan terus aku berlari menerobos terimbunan batang-batang tebu setinggi dua meter. Tetapi sial, kakiku tersangkut sebatang tebu yang rebah di atas tanah. Tubuhku tersungkur, lalu bergulingan beberapa putaran, dan akhirnya aku tergeletak tidak berdaya dengan nafas tersengal-sengal.

 

Keringat membasahi baju yang kukenakan. Beberapa menit kemudian, serasa ada sosoksosok mengelilingku, berjubah dan bertutup kepala hitam. Bukan zombie-zombie yang mengejarku tadi. Wajah-wajahnya tidak tampak, selain gelap juga tertutup kain hitam.

 

“Siapa kalian?” Tanyaku masih telentang di tanah.

 

Lalu dua sosok berjubah hitam itu maju ke arahku, sambil tangannya masing-masing Menarik penutup kepalanya. Aku mengingatngingat kedua wajah itu.

 

“Aku Beny!” Serunya sambil mencabut sebilah pedang di balik jubahnya.

 

“Aku Kadi!” Seru yang satunya lagi. Seperti makhluk yang mengaku bernama Beny, Kadi pun memegang pedang yang siap di hujamkan ke tubuhku.

 

“Kalian dua iblis yang telah sesat di dunia akherat!” Bentakku.

 

Makhluk hitam itu jelmaan dari beberapa preman yang dulu kuhabisi bersama para orang petugas petrus. Kejadiannya sudah berlalu beberapa tahun yang silam, dan mayat mereka kami buang di sekitar perkebunan ini.

 

Di tengah keadaan yang sangat kritis, aku meraih tanah kering, sambil merapalkan ayatayat suci yang dulu kupelajari untuk mengusir makhluk halus.

 

“Kalian cepat pergi, sebelum kubakar dengan tanah ini, Iblis!” Ancamku.

 

Keberanianku mulai timbul, lalu aku berdiri menantang. Dengan kedua sudut mataku, kuawasi makhluk-makhluk berjubah yang lainnya, yang masih tetap mengitariku di balik rumpun-rumpun batang tebu.

 

“Terus kubaca ayat suci di dalam hati. Aku mencari jalan meloloskan diri. Aku harus bisa melumpuhkan beberapa dari mereka agar ada celah untuk lari,” pikirku.

 

Kutaburkan kerikil tanah ke bagian muka dan samping tubuhku. Berbarengan kerikil tanah mengenai mereka, suara lengkingan terdengar meraung-raung. Seperti terkena bara panas yang menyentuh kulit. Disusul kemudian tubuh mereka bergulingan lalu sirna.

 

Cepat aku menyeruak dan berlari di antara sebagian makhluk-makhluk berjubah hitam yang sedang sekarat. Aku terus berlari sekuat tenaga, berusaha mendekati cahaya nun jauh di sana. Aku gembira saat bisa keluar dari rimbunan pohon-pohon tebu. Kini aku berlari di atas padang terbuka, tanah milik perkebunan yang belum ditanami.

 

Burung hantu masih berputar-putar di angkasa malam, seperti mengawasiku. Suara-suara anjing melolong pun semakin dekat kudengar, berarti aku semakin dekat ke pemukiman penduduk.

 

Betul juga, cahaya itu ada di sebuah rumah di ujung kampung. Aku terus berlari dengan tidak sabar ingin cepat tiba di rumah itu, walaupun kedua telapak kaki sudah terasa perih. Alas kakiku sudah tidak ingat lagi di mana lepasnya.

 

Bruk! Aku menabrak pintu rumah yang kutuju. Disusul kemudian pandangan mataku berkunang-kunang. Untuk selanjutnya aku tidak ingat apa-apa lagi. Gelap.

 

Besoknya, saat sadar aku sudah berada di sebuah balai-balai bambu, dan Mahardi duduk di sebelahku. Dia tersenyum ketika melihatku siuman.

 

Sementara itu, sepeda motorku sudah terparkir di depan rumah. Ternyata, rumah ini milik orang tua Mahardi.

 

Sesaat setelah siuman, kupaparkan kejadian semalam ketika aku dalam perjalanan pulang sehabis berkunjung ke rumah Mahardi.

 

Demikianlah kisah menyeramkan yang kualami. Apakah kejadian ini karma? Atau hanya kebetulan saja? Bukankah dengan tindakan kami itu, sekarang orang-orang kaya di pelosok-pelosok dengan tenang menikmati kekayaannya? Juga pedagang kecil dengan tenang menghitung labanya?

 

Apakah mereka peduli dengan keadaanki yang hidup hanya dengan mengandalkan uang pensiunan yang tidak seberapa besar? Yang pasti, aku tidak pernah meminta belas kasih dari mereka, atau siapa punjuga. Kuserahkan sepenuhnya hidupku hanya kepada Tuhan. Wallahu a’lam bissawab. ©️KyaiPamungkas.

Paranormal Terbaik Indonesia

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.

Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)

NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)

NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)

WEBSITE: paranormal-indonesia.com/
(Selain web di atas = PALSU!)

NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)

ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)


Related posts

Kisah Mistis: ANAK DARI ALAM LAIN

Kyai Pamungkas

Kisah Kyai Pamungkas: TUMBAL PEMBUATAN JALAN CADASPANGERAN

Kyai Pamungkas

Kisah Mistis: ARWAH PENASARAN VILLA BUKIT RINDU

Kyai Pamungkas
error: Content is protected !!