Kisah Kyai Pamungkas

Kisah Mistis: CINTAKU TERHALANG ARWAH SUAMI

Kisah Mistis: CINTAKU TERHALANG ARWAH SUAMI

SEBUAH KESAKSIAN… SETIAP pertemuan pasti akan berakhir dengan perpisahan. Itulah kodrat kehidupan yang tak seorang pun bisa menolaknya. Sama seperti halnya dengan kematian. Tak seorar pun bisa menghindar dari kenyataan ini, sebab telah digariskan oleh Tuhan bahwa setiap yang hidup pasti akan menemui kematian. Karena itulah hendaknya kita tidi menganggap kematian sebagai suatu trage Apalagi kemudian harus meratapinya dalan duka yang berkepanjangan.

 

Memang, terkadang tak mudah bagi kita untuk menerima kematian, bahkan kerap kali menganggapnya sebagai sebual tragedi besar. Terlebih, yang mati itu adala seorang yang sangat kita cintai, dan menja tumpuan hidup serta harapan kita. Maka, kita merasa seakan-akan telah kehilangan segalanya. Padahal, kalaupun kita harus menyesali suatu kematian, sesungguhnya yang pantas kita sesali adalah proses dari kematian tersebut.

 

Barangkali, aku memang terlambat menyadari makna kematian yang sebenarn’ Sebagai seorang wanita, aku memang terlalu lemah menerima kenyataan yang mendadak, bahkan sangat tragis. Dia tewas akibat kecelakaan di jalan tol Surabaya-Gempol bersama Pak Joned, salah seorang sahabatnya. Mobil yang mereka kendarai pecah ban depannya. Karena dalam kecepatan tinggi, Pak Joned tidak bisa mengendalikan kemudi. Mobil oleng dan disambar truk gandengan, sehingga akhirnya sedan itu mental ke lajur yang berlawanan, dan kembali tersambar bus.

 

Dengan kronologi kecelakaan yang seperti itu, bisa dibayangkan bagaimana nasib Mas Taufik dan Pak Joned. Mobil mereka ringsek seperti kaleng susu tergencet pintu besi. Keadaan yang lebih buruk tentu saja menimpa tubuh keduanya. Ya, tubuh mereka patah-patah sedemikian rupa akibat benturan yang sangat keras, dengan lukaluka menganga yang sangat mengerikan.

 

Aku sendiri tak bisa menguasai diri saat melihat jenazah Mas Taufik di kamar mayat rumah sakit. Aku langsung jatuh pingsan ketika petugas kamar mayat mengeluarkan jenazah suamiku dari dalam lemari pendingin. Walau sekilas melihatnya, namun aku masih selalu ingat pada pemandangan mengerikan itu. Ya, kulihat wajah Mas Taufik yang tampan itu remuk batok kepalanya, sehingga tampak kosong melompong. Kelopak matanya yang sebelah kanan juga nampak growong karena bolanya yang indah itu sudah pecah. Padahal, bola mata itulah yang selalu kukagumi, sebab di sana aku kerap bisa menemukan kedamaian.

 

Kematian Mas Taufik yang begitu tragis nyaris membuatku senewen. Kondisi batinku yang ringkih membuat jiwaku sangat terpukul. Apalagi ketika musibah itu terjadi di dalam kandunganku tengah bersemayam janin berusia 8 bulan, buah dari cinta kasih kami selama ini. Untunglah, ada Ibu yang selalu mendampingiku. Dengan nasehat-nasehat bijaknya, Ibu selalu meyakinkanku bahwa kematian itu bukanlah sesuatu yang harus terus ditangisi, apalagi disesali dalam waktu berkepanjangan.

 

Berkat kesabaran Ibu pula aku bisa tabah dalam menanti saat-saat kelahiran anak pertamaku dari buah cinta kasih almarhum Mas Taufik. Yang aneh, beberapa hari sebelum kelahiran anakku yang berjenis kelamin perempuan itu, Mas Taufik datang dalam mimpiku. Seperti dalam sebuah pertemuan di alam nyata, dalam mimpi itu Mas Taufik berkata agar aku merawat anaknya denaan baik dan benar, sebab hanya ini yang akan membuatnya tenang di alam sana.

 

“Demi cinta kita, kumohon kau berjanji untuk memenuhi harapanku ini, Tini!” Cetus Mas Taufik meminta ketegasanku. Aku hanya menjawabnya dengan anggukan kepala. Kemudian, dengan mesra Mas Taufik bermaksud mencium keningku. Bersamaan dengan itu tiba-tiba aku terjaga. Aku kaget bukan main, sebab aku baru sadar bahwa apa yang kualami itu ternyata hanyalah sebuah mimpi. Namun yang aneh, saat itu kurasakan udara di dalam kamarku berubah menjadi dingin dan lembab. Tubuhku spontan menggigil. Karena takut, kubangunkan Ibu yang tertidur pulas di sebelahku.

 

“Ada apa, Tini?”Tanyanya, cemas.

 

“Entahlah, Bu! Tini takut sekali. Barusan tadi aku mimpi didatangi Mas Taufik.”

 

Ibu menarik nafas berat. “Sudahlah, tenangkan hatimu, Nak!” Bisiknya dengan lembut, selembut belaian tangannya di wajahku. Dia mengajakku kembali tidur, dan dengan sabar merapikan selimut yang menutupi tubuhku. Kasih sayang Ibu membuatku terhibur dan merasa tenang kembali.

 

Pas pada bulan kesembilan dan sesuai dengan perkiraan dokter ahli kandungan yang menjadi langganan tetapku, janin itu memang lahir dengan selamat. Ah, dia bayi perempuan yang sangat cantik dan lucu. Air mataku tak terasa jatuh menitik saat melihat kelucuannya. Terbayang di pelupuk mataku bagaimana kegembiraan Mas Taufik menerima kehadiran putri pertamanya andai dia masih ada bersama kami. Tentu dengan celoteh-celoteh jenakanya dia akan menimang bayi itu. Tapi, semua itu hanyalah angan-angan yang melahirkan kesedihan, sebab Mas Taufik sudah pergi jauh ke alam sana.

 

Tetapi, Mas Taufik sepertinya masih berada bersama-sama kami. Selang tiga hari setelah persalinanku, aku kembali bermimpi didatangi oleh almarhum suamiku itu. Dalam mimpi kali ini, Mas Taufik marah-marah sebab aku tidak memberi nama bayi itu sesuai dengan nama yang telah dipersiapkannya. Ya, selepas acara selamatan 7 bulanan silam, Mas Taufik memang telah menyiapkan dua buah nama masing-masing untuk anak laki-laki dan perempuan. Jika anak laki-laki yang lahir, maka dia menginginkan nama “Sandy Permana” Sedangkan kalau anak perempuan dia menghendaki agar diberi nama “Farzah Fauziah”. Katanya, ini sesuai dengan nama almarhumah nenek dari Ibunya yang terkenal sebagai wanita sangat salehah. Saking salehahnya, sang buyut Mas Taufik ini disebutkan meninggal saat sujud rakaat kedua sewaktu menunaikan sholat Subuh.

 

“Kenapa kau tidak melaksanakan pesanku, Tini? Mengapa kau beri nama anak kita dengan nama yang lain, bukan nama yang aku titipkan padamu?”

 

Kata-kata Mas Taufik itu membuatku terjaga dari tidur. Anehnya, seperti kejadian beberapa hari yang lalu ketika aku menanti kelahiran si kecil, begitu terjaga kurasakan udara di dalam kamar berubah menjadi dingin dan lembab. Dan yang tak kalah aneh, aku merasakan bahwa Mas Taufik sungguh-sungguh telah menemuiku. Tubuhku menggigil karena takut. Lantas, bagaimana mungkin Mas Taufik datang? Bukankah dia telah mati, dan setiap yang telah mati tidak punya urusan lagi dengan yang masih hidup? Benarkah seperti itu?

 

Aku tak tahu jawabannya, bahkan aku takut mereka-reka jawaban dari teka-teki itu. Yang pasti, aku segera memberi tahu Ayah agar nama si kecil segera diganti.

 

“Memangnya kenapa? Apa nama yang Ayah berikan untuk anakmu itu kurang bagus?” Protes Ayah yang telah memberi nama anakku dengan untaian kata yang indah yakni “Gadiza Gisnawati.

 

“Bukan begitu, Ayah!” Tegasku. “Aku lupa kalau almarhum Mas Taufik telah menentukan nama untuk anak kami.”

 

Ayah saling pandang dengan Ibuku. Demikian juga dengan sanak famili yang hari itu tengah menjengukku, dan kebetulan ada di ruang perawatanku. Entah bagaimana perasaan mereka. Yang pasti, Ayahku yang selalu bijak akhirnya mau mengalah.

 

“Ya sudah, nanti kita buat acara selamatan yang lebih meriah untuk memberi nama anakmu yang baru, katanya sambil memberikan senyum damai padaku.

 

Begitulah! Tak terasa, Farzah Fauziah putriku tumbuh semakin besar. Dia cantik dan sangat lucu. Kulitnya putih bersih seperti kulit almarhum ayahnya. Bahkan, bila melihat wajah dan gerak-geriknya, anakku ini memang lebih mirip almarhum ayahnya jika dibandingkan dengan diriku.

 

Ketika usia Farzah menginjak dua tahun dan kuanggap tak lagi membutuhkan ASI, aku memutuskan untuk melamar pekerjaan. Ayah dan Ibu, juga saudara-saudaraku yang lain merasa sangat senang dengan tekadku ini. Mungkin, mereka merasa lega sebab menyangka kalau aku telah benar-benar melupakan Mas Taufik. Memang, maksudku juga demikian. Aku ingin mencari kesibukan agar aku lupa pada kenangan manis saat masih hidup bersama dengan almarhum suamiku itu.

 

Dengan berbekal ijazah D-3 akademi sekretaris, aku diterima bekerja di sebuah pabrik besar di kawasan industri Rungkut, Surabaya. Aku dipekerjakan sebagai tenaga administrasi ringan di perusahaan itu. Meski gajiku hanya sedikit lebih besar di atas UMR, namun aku bekerja dengan penuh suka cita, sebab lingkungan tempat kerjaku ini memang sangat menyenangkan. Lebih menyenangkan lagi ketika mulai tumbuh benih-benih cinta baru di dalam hatiku yang selama ini gersang, terhadap segrang pria teman sekantorku. Sebut saja namanya Mas Ikhsan.

 

Di kantor, posisi Mas Ikhsan adalah sebagai atasanku. Kendati demikian dia atasan yang sangat baik, yang tak pernah bersikap over compident di depan anak buahnya. Apalagi terhadap diriku yang diam-diam telah mencuri hatinya. Masalahnya, aku ragu untuk menerimanya sebab toh Mas Ikhsan belum tentu mau menerima statusku sebagai seorang janda beranak satu.

 

Dugaan itu ternyata salah. Suatu ketika saat kami berduaan, aku memberanikan diri untuk menceritakan keadaanku yang sebenarnya. Di luar dugaan, Mas Ikhsan yang masih hidup membujang ini tidak terkejut mendengarnya. Dia malahan mengaku senan dengan keterbukaanku. Bahkan, dia berjanji tidak akan mempermasalahkan statusku. Lebih dari itu, dia juga bersedia menerima Farzah seperti anak kandungnya sendiri anda kelak kami memutuskan untuk menikah.

 

“Aku percaya Tuhan telah menentukan pertemuan kita. Karena itulah aku akan ikhla: menerima apa pun keadaan dirimu, yang penting kau juga harus ikhlas menerima keadaanku yang seperti ini,” bisik Mas Ikhsan di telingaku. Aku begitu terharu mendengarnya, sehingga tanpa sadar kujatuhkan kepalaku di atas dadanya yang bidang. Lalu, dengan lembu Mas Ikhsan membelai rambutku.

 

Cinta memang seperti takdir hidup dan mati. Dia bisa datang kapan saja, dengan proses: yang terkadang sulit untuk dipahami. Demikian pula dengan cintaku terhadap Mas Ikhsan. Rasanya, cinta itu begitu mudah berlabuh. Geloranya seakan-akan telah menghempaskan seluruh kenangan pahitku di masa lalu. Bahkan, kehadiran Mas Ikhsan telah membuat hidupku kembali bergairah. Sayangnya, hal itu tidak berjalan seindah yang kubayangkan. Dengan terpaksa Mas Ikhsan harus pergi meninggalkanku gara-gara suatu peristiwa yang sama sekali sulit untuk diterima dengan akal sehat.

 

Ceritanya, hari itu aku harus menemani Mas Ikhsan pergi ke Sidoarjo untuk menghadiri pesta pernikahan salah seorang sepupu dekatnya. Jujur saja, sebenarnya aku sangat ingin menolak ajakan ini, sebab di waktu yang bersamaan Farzah juga sedang terkena serangan demam. Aku merasa berat meninggalkannya, sebab anak itu pastj akan rewel.

 

“Aku tahu kau pasti sangat mengkhawatirkan keadaan anakmu. Tapi tolonglah aku, Tini! Aku tidak mungkin mengubah rencana ini, sebab aku telah berjanji akan memperkenalkan dirimu dengan keluargaku di tengah pesta pernikahan itu. Aku janji setelah itu kita akan segera pulang. Kamu mengerti kan?” Bujuk Mas Ikhsan dengan penuh harap.

 

Aku tak tega juga melihatnya. Karena itu, walau dengan berat hati akhirnya aku bersedia menemani Mas Ikhsan, Lagi pula, perjalanan dari Surabaya ke Sidoarjo tidak memakan waktu yang lama, sehingga kami bisa pulang malam itu juga.

 

Mas Ikhsan memang pria yang penuh dengan pengertian. Setelah memperkenalkan diriku dengan seluruh keluarganya yang hadir dalam acara pesta pernikahan itu, tanpa menunggu waktu yang lama dia segera mengajakku pulang. Sejujurnya, aku juga sangat senang dengan sikap keluarga Mas Ikhsan yang ternyata menyambutku dengan sikap mereka yang sangat mengesankan.

 

Perjalanan pulang dari Sidoarjo berjalan lancar. Sekitar pukul setengah sebelas malam itu mobil Mas Ikhsan sudah tiba di depan pintu pagar rumah orang tuaku. Begitu kami turun, telingaku langsung mendengar suara Farzah yang sedang menangis kencang.

 

Aku segera menarik tangan Mas Ikhsan dan menyilahkannya duduk, sementara itu aku sendiri langsung menuju kamar si kecil.

 

“Sudah diberi obat penurun panas kan, Bu?” Tanyaku kepada Ibu yang nampak kewalahan menenangkan Farzah. Aku segera mengambil Farzah dari gendongan Ibu.

 

“Sudah! Tapi sejak tadi dia memanggilmanggil kamu terus. Aneh, biasanya Farzah tidak rewel seperti ini,” jawab Ibu. Kemudian dia bertanya, “Oya, kamu pulang diantar siapa, Tin?”

 

“Mas Ikhsan! Tolong Ibu temani dia ngobrol dulu. Tini mau menidurkan Farzah,” jawabku.

 

Ibu segera beranjak ke ruang tamu, sementara aku terus menimang-nimang Farzah. Dalam gendonganku, tangisnya sudah mulai mereda. Bahkan, sepuluh menit kemudian dia sudah tertidur pulas karena kelelahan dan pengaruh obat. Dengan hati-hati aku menidurkannya di atas ranjang, dan dengan hati-hati pula aku pergi meninggalkannya untuk menemui Mas Ikhsan di ruang tamu.

 

Setibanya di ruang tamu, kulihat Mas Ikhsan dan Ibu sedang terlibat obrolan serius. Entah apa yang mereka perbincangkan. Namun, begitu melihat kehadiranku Ibu langsung pergi meninggalkan kami.

 

“Ya, beginilah keadaanku kalau Farzah sedang sakit. Dia hanya mau tidur kalau aku gendong terlebih dahulu, cetusku sambil menghembuskan nafas berat.

 

Mas Ikhsan tersenyum mendengarnya. Senyuman yang begitu teduh dan penuh pengertian, sehingga membuatku terlena. Bahkan, sekitar lima menit berlalu, aku sudah pasrah dalam pelukannya. Namun, saat Mas Ikhsan bermaksud mencium bibirku, sesuatu tiba-tiba terjadi. Dari dalam kamar Farzah kembali menangis dengan sangat kencang. Aku terkejut mendengarnya dan langsung memburu ke arah kamar. Kudapatkan Farzah terjaga dari tidurnya dan terus menangis kencang seperti takut melihat sesuatu. Baru saja aku menggendongnya, sesuatu yang aneh juga mendadak terjadi. Dari arah ruang tamu kudengar suara Mas Ikhsan menjerit ketakutan….

 

“Tidaaak… hantuuu…!!” Bersamaan dengan jeritan ini, terdengar pula suara benda terjatuh. Mirip dengan gelas yang jatuh di atas lantai dan pecah berserakan.

 

Khawatir terjadi sesuatu pada diri Mas Ikhsan, segera kubaringkan Farzah yang masih menangis kencang itu di atas tempat tidur, dan dengan setengah berlari aku bergegas ke ruang tamu. Karena terburu-buru hampir saja aku menabrak Ibu yang baru keluar dari kamarnya bersama Ayah.

 

“Kenapa dengan Ikhsan, Tini? Apa yang terjadi?” Tanya Ibu yang sepertinya juga mendengar suara jeritan Mas Ikhsan tadi.

 

“Entahlah! Ibu tolong diamkan Farzah dulu, ya!” Jawabku sambil segera meneruskan langkah ke ruang tamu.

 

Setibanya di sana, kulihat tubuh Mas Ikhsan tergolek di atas lantai, dan tak jauh di sebelahnya tampak gelas teh manis yang dihidanakan untuknya telah pecah berserakan. Entah apa yang terjadi?

 

Teka-teki tersebut baru terjawab setelah Mas Ikhsan siluman dari pingsannya. Setelah Ayah memberinya segelas air putih yang sudah diberi doa-doa khusus, dengan suara yang berat dan parau Mas Ikhsan bercerita bahwa beberapa saat lalu dia telah melihat kemunculan sesosok lelaki yang sangat menakutkan. Tubuhnya penuh dengan luka menganga, separuh wajahnya remuk, sementara kelopak matanya bolong karena bolanya yarig telah pecah.

 

“Bukan kemunculannya yang membuatku sampai jatuh pingsan. Tapi, sosok lelaki itu sepertinya sangat marah padaku, bahkan dia mau mencekikku, cerita Mas Ikhsan dengan wajah tegang.

 

Bulu kudukku merinding. Tak hanya itu. Batinku juga mulai dilanda kerisauan sebab keseraman yang digambarkan oleh Mas Ikhsan itu sungguh sangat mirip dengan keadaan almarhum suamiku saat menyongsong ajalnya. Lalu, apakah mungkin yang datang itu adalah arwahnya Mas Taufik? Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi?

 

Aku tak bisa menjawab pertanyaan itu. Bahkan, ketakutan selalu menyergapku bila membayangkan bahwa arwah Mas Taufik memang telah bangkit. Dan ketakutan itu akhirnya berubah menjadi kesedihan ketika kusadari bahwa sejak kejadian tersebut Mas Ikhsan mulai menjauh dariku. Ya, dia selalu menghindar bila bertemu denganku.

 

Sampai suatu ketika aku bisa mengajaknya berbincang-bincang, meski dalam suasana yang sedikit kurang hangat, sebab Mas Ikhsan sepertinya kikuk terhadap diriku. Namun, saat aku bertanya alasannya yang terus menjauhi diriku, dengan perih Mas Ikhsan

 

menjelaskannya.

 

“Sebenarnya aku sangat mencintaimu,

 

Tini! Tapi sejak kejadian malam itu, aku merasa sangat gelisah. Bayangan lelaki menyeramkan itu selalu mendatangiku. Dia sepertinya tidak menghendaki diriku untuk mendekati dirimu. Aku tak tahu apa sesungguhnya yang terjadi. Tapi kupikir, mungkin arwah suamimu belum rela andai ada pria lain yang bermaksud mempersuntingmu. Maafkanlah aku, mungkin dugaanku ini salah. Tapi sejujurnya, aku merasa sangat terteror. Karena itu aku berusaha menjauh darimu, meski sejujurnya hal ini sangat berat bagiku.”

 

Tak terasa air mata menggaris di atas pipiku demi mendengar pengakuan Mas Ikhsan yang tulus itu. Apa yang dikatakan Mas Ikhsan sejujurnya juga aku rasakan. Sejak kejadian malam itu, bayangan almarhum Mas Taufik memang sering hadir di dalam mimpiku. Kulihat dia menangis tanpa suara. “Aku selalu mencintaimu. Aku tak rela kau jatuh dalam pelukan yang lain!” Hanya kata-kata itu yang tercetus dari mulutnya yang beku itu.

 

Lalu aku terjaga dan merasakan udara di dalam kamarku berubah sangat dingin. Tubuhku menggigil dan rasa takut langsung menyergap relung batinku yang terdalam. . Kutarik selimut sambil memeluk Farzah yang tertidur pulas dengan bibir menyunggingkan senyum.

 

Kini, pertemuan terakhirku dengan Mas Ikhsan sudah setengah tahun berlalu. Dalam” artian pertemuan dua orang kekasih yang saling mencintai. Kalau pun kami masih sering bertemu, namun tak lebih hanya sebagai. pertemuan antara atasan dan bawahan. Sikap Mas Ikhsan terhadap diriku juga semakin kaku.

 

Kenyataan pahit kembali menghias harihariku yang berat. Kudengar kabar bahwa Mas Ikhsan telah menjalin hubungan serius dengan seorang gadis yang sebut saja bernama Winda. Sejujurnya, semula aku berharap kabar ini hanyalah berita bohong. Tapi, harapanku Itu malah bertolak belakang dengan kenyataan yang ada. Dua kali kulihat Mas Ikhsan jalan berduaan dengan seorang gadis cantik, yang sangat mungkin itu adalah Winda.

 

Ah, betapa perih batinku melihat pemandangan itu. Mengapa cinta kami yang tulus harus terpisah hanya karena godaan dari s0sok misterius yang menjelma sebagai wujud suamiku di saat dia meregang ajalnya? Apakah benar arwah Mas Taufik telah gentayangan akibat proses kematiannya yang tidak wajar?

 

Ya, setidaknya aku memang pernah mendengar bahwa mereka yang mati dengan sebab-sebab tidak wajar maka arwahnya akan gentayangan. Apalagi Mas Taufik meninggal ketika cintanya terhadap diriku tengah bergelora sangat hebat, mengingat saat itu aku akan menjadi ibu dari anak yang sangat didambakannya. Mungkinkah karena alasan ini maka arwahnya tidak tenang di alam sana?

 

Sekali lagi, aku tak pernah bisa menjawab pertanyaan itu. Namun, hanya satu yang menjadi penyesalanku: Mengapa hubungan cinta antara diriku dan Mas Ikhsan harus terbengkalai karena sebab yang tidak masuk akal? Padahal, aku tahu pasti Mas Ikhsan sangat mencintaiku, meski kini dia telah memiliki Winda, Dalam relung batinku yang terdalam, aku masih selalu mengharap agar Mas Ikhsan kembali mengisi singgasana cinta di dalam hatiku. Wallahu a’lam bissawab. ©️KyaiPamungkas.

Paranormal Terbaik Indonesia

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.

Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)

NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)

NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)

WEBSITE: paranormal-indonesia.com/
(Selain web di atas = PALSU!)

NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)

ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)


Related posts

Kisah Kyai Pamungkas: ULAR SETAN PENCURI BARANG

Kyai Pamungkas

Kisah Mistis: SAKIT PARAH, KELUARGA KACAU, DITOLONG WANITA GAIB

Kyai Pamungkas

Kisah Mistis: MENGHADIRKAN ARWAH GAJAHMADA, BAHAS PERANG BUBAT

Kyai Pamungkas
error: Content is protected !!