Kisah Kyai Pamungkas

Kisah Mistis: MENYESAL KEMUDIAN, TIADA GUNA…

Kisah Mistis: MENYESAL KEMUDIAN, TIADA GUNA…

DUA LEBARAN sudah aku tak pulang ke rumah untuk merayakan hari nan agung itu bersama isteri dan kedua orang anakku. Kerinduan yang sangat berat menggunung di dalam dadaku. Ya, betapa aku kangen menikmati ketupat lebaran dan opor ayam buatan Ayu, isteriku. Kerinduan itu juga semakin menyiksa manakala wajah Listi, bungsuku yang cantik itu menari-nari di pelupuk mataku. Bahkan, air mataku tak terasa menitik saat teringat suara merdu Rafli, sulungku yang memang pandai mengaji.

 

Ah, tentu kedua orang anakku itu sekarang sudah besar-besar. Ketika dua lebaran lalu kutinggalkan, si bungsu sudah duduk di kelas 1 SMA, sedangkan si sulung sudah duduk di bangku kuliah semester pertama. Mereka pasti sangat menyayangi Ibunya, namun mereka mungkin telah lupa pada aku, ayahnya, atau setidaknya terus berusaha untuk melupakan keberadaanku. Mereka tentunya masih sangat sulit untuk memaafkan kesalahanku, yang telah tega menceraikan Ibunya, bahkan juga meninggalkan mereka, ketika kami semua akan menyongsong hari lebaran yang penuh dengan kebahagiaan itu.

 

Memang, tak sepatutnya peristiwa itu terjadi. Bila mengingat kejadian itu, sesungguhnya aku memang tak pantas menyimpan keinginan untuk kembali ke tengah-tengah mereka. Kerinduan itu terlalu nista bagiku, sebab kesalahan yang telah kulakukan terlampau berat sehingga berangkali amat sulit untuk membersitkan perasaan iba di hati Ayu, Rafli, dan Listi. Akibat kesadisanku hati mereka seakan telah berubah menjadi batu pualam yang bahkan tak bisa terpecahkan oleh tangisku sekalipun.

 

“Aku, Rafli dan Listi belum bisa melupakan perbuatanmu yang kejam itu. Karena itu, aku mohon jangan kau ganggu kami lagi!”

 

Hanya itu suara yang kudengar dari mulut Ayu setiap kali aku meneleponnya. Tak ada kata kata lain, sebab dia tak pernah mau melayani pembicaraanku. Setelah memohon dengan sangat agar aku jangan kembali lagi, maka Ayu selalu memutuskan hubungan lewat telepon. Dia juga tak pernah memberiku kesempatan untuk berbicara dengan anak-anakku.

 

Pernah kucoba menemui Rafli, sebab sebagai lelaki yang tengah beranjak dewasa aku kira dia akan memahami persoalan yang dihadapi oleh ayahnya. Tapi dugaanku ternyata salah. Sikap Rafli justeru lebih keras dibandingkan ibunya.

 

“Sampai detik ini, Rafli tetap menganggap Ayah sebagai Ayah dari Rafli. Tapi Rafli harap Ayah jangan coba-coba kembali kepada Ibu, sebab Rafli tahu Ibu tidak pernah mengharapkan Ayah kembali lagi ke tengahtengah kami. Jadi, demi kebahagiaan kami, Rafli mohon Ayah mau mengerti keadaan ini. Biarkanlah kami hidup bertiga saja tanpa ayah, sebab kami memang bisa mencukupi semua kebutuhan hidup kami semenjak Ayah dengan tega hati pergi meninggalkan kami.

 

Perih sekali hatiku mendengar kata-kata yang diucapkan oleh Rafli itu. Tak sepatah katapun aku bisa membantahnya, sebab aku terlalu malu untuk mencari alasan sebagai dalil pembelaan atas diriku.

 

Pernah juga suatu kali kucoba menemui Listi di sekolahnya. Waktu itu aku sempat kaget melihat anak gadisku ini yang ternyata sudah tumbuh menjadi remaja yang sangat cantik rupawan. Ketika kuutarakan maksudku untuk kembali kepadanya Ibunya, dia malah membuatku semakin terkejut karena kata-katanya yang sangat diplomatis, “Allah akan memberikan balasan yang setimpal kepada setiap hambaNya yang telah berbuat kesalahan Begitupun dengan Ayah. Ayah telah membuat Ibu hampir saja mati karena kedukaan yang sangat mendalam. Coba Ayah bayangkan, hanya seminggu menjelang Idul Fitri, Ibu harus kehilangan suami dan Ayah dari anak-anaknya. Dengan kesalahan ini, Listi rasa sulit bagi Ibu untuk memaafkan Ayah. Kalau Ayah memaksa untuk kembali ke tengah-tengah kami, Listi yakin hal tersebut hanya akan menorehkan kembali luka di hati Ibu. Karena itu, Listi mohon jangan pernah Ayah bermimpi untuk kembali. Biarkan Listi dan Kak Rafli yang menjaga dan merawat Ibu. Insya Allah, kami akan mampu memberikan yang terbaik buat Ibu.”

 

Tak kusangka Listi bisa bertutur kata secerdas itu. Diam-diam aku merasa naif dan bodoh di hadapan anakku sendiri. Apa yang dikatakan Listi itu mungkin benar. Andai aku kembali ke tengah-tengah mereka, tentu hal ini hanya akan membuat hati Ayu kembali terluka. Dan yang paling penting, Ayu tentu takkan pernah bisa tulus menerima dan melayaniku. Lantas, apa artinya bagiku jika kehadiranku nanti hanya akan membuat kemesraan antara Ayu, Rafli dan Listi menjadi pudar terbadai oleh sikap-sikap yang penuh dengan kepalsuan?

 

Ya, akhirnya kuputuskan untuk mengubur mimpi itu selamanya, mimpi untuk kembali ke tengah-tengah mereka. Namun, semakin keras usahaku untuk melupakan mereka, maka semakin kuat pula kerinduan itu menghimpit di dalam dadaku. Di saat rindu itu membuahkan tangis, maka ingatanku akan selalu tertuju pada kebodohan yang aku lakukan menjelang lebaran dua tahun silam…

 

Seminggu menjelang lebaran kujatuhkan talak satu terhadap Ayu Yuningsih di hadapan majlis hakim Pengadilan Agama yang mengurus gugatan cerai yang kulakukan. Dengan berat hati sidang akhirnya meluluskan gugatanku terhadap Ayu sebab dalil yang kujadikan sebagai landasan tuntutan memang pantas untuk diperhatikan oleh majelis hakim. Keberatan yang kujadikan sebagai dalil itu adalah bahwa Ayu Yuningsih sebagai isteri sudah tak dapat lagi melakukan kewajibannya melayaniku sebagai suami, maka karena itulah hubungan rumah tangga kami tak bisa untuk dipertahankan, mengingat sebagai lelaki normal aku masih membutuhkan hubungan badaniah dengan seorang isteri.

 

Setelah putusan itu dijatuhkan majelis hakim, kulihat Ayu dan kedua orang anaknya saling berpelukan sambil saling bertangisan. Tapi tak sedikitpun hatiku tersentuh karenanya. Bahkan ketika untuk beberapa saat lamanya kulihat Ayu menatapku dengan sinar mata yang memendam rasa tak percaya bahwa aku telah tega berbuat sekejam itu, maka aku menjawabnya dengan cibiran yang sangat menistakannya. “Kau rasakan sendiri jika kau tidak mau mengikuti kehendakku!” Geram batinku saat itu sambil meninggalkan ruang sidang.

 

Rasa jumawa bertahta di dalam dadaku. Bak seorang penjudi yang puas akan kemenangan yang telah diraihnya, maka tak sedikitpun kupedulikan lawanku yang telah kalah. Ya, Ayu sama sekali tak bernilai bagiku. Bahkan karena keegoisanku sebagai seorang lelaki sekaligus Ayah yang berkuasa di dalam rumah tangga, ketika itu juga kutempatkan kedua orang anakku, Rafli dan Listi, sebagai dua orang lawan yang juga pantas kukalahkan. Ya, bukankah selama ini mereka juga kekeh membantu Ibunya agar melawan niatku yang ingin menikah lagi?

 

Cinta di puber kedua telah membuat mataku menjadi buta, sehingga aku tak lagi bisa membedakan hitam putihnya keadaan. Aku terjebak di dalam pusaran cinta yang memabukkan, sehingga aku lupa akan makna suci di dalamnya. Nafsu birahi yang membelengguku telah memperdaya tanganku untuk merusak betapa sakralnya makna sebuah perkawinan. Bahkan demi nafsu birahi itu aku telah tega memfitnah wanita yang selama hampir 20 tahun begitu setia menjadi pendampingku.

 

Semuanya adalah karena Adelia. Dia hadir membawa segelas anggur cinta yang melenakan. Gadis berusia 24 tahun ini membuatku terbuai dalam gairah pengantin remaja, sehingga aku lupa pada usiaku yang telah menginjak kepala lima. Aku menjadi bandot tua yang haus akan daun muda. Aku memanjakannya dengan uang dan kemewahan. Adelia membalasnya dengan dekapan wangi tubuhnya yang kian melambungkan dahagaku sebagai lelaki yang begitu lama tak lagi pernah menikmati ranum tubuh seorang wanita.

 

“Lelaki yang dimabuk asmara tak pernah merasa dirinya menjadi tua” Kata-kata seorang teman ini mungkin benar adanya. Sejak mengenal Adelia di sebuah kafe di bilangan Jakarta Selatan, jiwa mudaku memang kembali bangkit. Asmara bersemi lagi di dalam dadaku. Kecantikan dan kesegaran tubuh Adelia membuatku selalu gelisah. Aku menjadi bandot tua kasmaran, yang sampai-sampai lupa pada kewajibannya sebagai seorang suami, sekaligus sebagai seorang ayah dari dua anak yang tengah menginjak masa remaja. Sejak mengenal Adelia, aku seperti merasa jijik menyentuh tubuh Ayu, meskipun dia sesungguhnya masih tetap cantik di usianya yang menginjak 43 tahun. Aku tak lagi membutuhkan Ayu di tempat tidur. Bahkan yang aneh, setiap kali kami tidur seranjang, maka aku selalu merasakan hawa tubuh isteriku itu sepertinya sangat panas, sehingga sering kuputuskan tidur sendiri di kamar lain mengingat aku sering kegerahan meski kamar kami sebenarnya ber-AC.

 

“Kalau Ayah sudah tak berhasrat pada Ibu, setidaknya kan Ayah bisa menemani Ibu tidur. Kan kita bisa ngobrol-ngobrol membicarakan anak-anak atau hal-hal lainnya.” Kata isteriku, suatu pagi saat tengah merapikan dasiku.

 

Entah kenapa, aku begitu tak suka mendengar kata-katanya. “Kita kan sudah tidak muda lagi, jadi untuk apa kita harus tidur seranjang. Lagi pula, kamar kita kalau malam panasnya bukan main,” jawabku.

 

“Kok bisa begitu sih, padahal AC-nya kan sudah Ibu betulkan. Lagi pula suhu AC dipasang cukup rendah, Ibu saja sering kedinginan!”

 

“Iya, tapi kenyataannya aku selalu kegerahan bila tidur sama kamu, sergahku sambil segera beranjak pergi.

 

Di tengah perjalanan menuju kantor hari itu, aku sebenarnya juga merasa aneh dengan diriku sendiri. Ya, benar kata Ayu bahwa AC di kamar kami selalu dibiarkan menyala pada suhu yang relatif rendah. Anehnya, mengapa aku selalu merasa kegerahan bila berdekatan dengan Ayu?

 

Aku tak tahu jawabannya, bahkan aku memang tak pernah berusaha untuk mencari jawaban dari teka-teki itu. Di saat itu segenap perhatianku hanya tertuju pada Adelia. Gadis ini begitu menawan hatiku, dan aku bersumpah untuk mendapatkannya.

 

Sekitar dua bulan mengenal Adelia, kulakukan sebuah perbuatan sangat nista di mata Tuhan dan di mata para hambaNya yang senantiasa menegakkan ajaran agama. Di hadapan gadis yang kukenal sebagai model amatiran ini kuletakkan setangkup uang berjumlah 50juta rupiah, dengan suatu imbalan agar dia mau menemaniku tidur di hotel. Semula, dengan gigih Adelia menolak tawaranku. Namun dari sikapnya aku tahu bahwa dia cukup terpikat dengan tawaranku. Masalahnya, mungkin Adelia menginginkan agar aku lebih keras lagi merayunya. Kenyataannya dia memang menyerah. Setelah kubelai dan kurayu dengan sejuta kata-kata manis, dia akhirnya pasrah. Dan malam itu, untuk pertama kalinya kurasakan kehangatan tubuh Adelia. Setan menari-nari di hadapanku dengan hymne kemenangan. Namun aku yang sedang mabuk kepayangan tak secuilpun menyadarinya.

 

Hubungan kedua, ketiga dan seterusnya berjalan mulus. Aku berubah menjadi pezinah nomor wahid, hingga aku tak sadar bahwa Adelia sesungguhnya telah menjebakku. Suatu ketika Adelia mengatakan bahwa dirinya tengah mengandung tiga bulan akibat perbuatanku. Dengan merengek-rengek dia memintaku agar segera menikahinya.

 

“Mustahil itu bisa aku lakukan, Sayang! Kau tahu bagaimana keadaanku bukan? Aku ini telah beristeri. Lagi pula dua orang anakku usianya hampir sama dengan kamu. Lantas, apa jadinya kalau orang tahu kalau aku menikahi gadis yang usianya hampir sebaya dengan anakku sendiri. Wah, bisa kiamat nanti!” Bantahku sambil mencoba tertawa.

 

“Saya tidak peduli dengan hal itu, Pak! Saya juga tidak peduli dengan apa kata orang nanti. Persetan dengan mereka! Yang penting saya ingin Bapak menikahi saya, sebab anak yang ada dalam kandunganku ini harus jelas statusnya,” balas Adelia sambil menatapku.

 

Untuk pertama kalinya aku sadar bahwa Adelia bukanlah tipe seorang gadis lugu seperti yang selama ini selalu diperlihatkannya di hadapanku, Dari sorot matanya yang tajam menukik, dan dari kata-katanya yang tegas, jelas sekali kalau gadis ini penuh dengan tipu muslihat.

 

“Ingat, Pak! Anda adalah seorang yang cukup terhormat dengan kekayaan dan jabatan yang Anda miliki,“ Adelia mulai mengancam. “Coba bayangkan, apa jadinya kalau di koran-koran akan bermunculan berita perselingkuhan antara Bapak dengan saya! Ini yang bisa bikin kiamat. Jadi saya mohon, luluskanlah permintaan ini. Nikahi saya ya, Pak! Saya janji akan melayani Bapak dengan baik, dan saya ikhlas jadi isteri kedua.”

 

Ludah yang kutelan mendadak berubah pahit mendengar perkataan Adelia. Namun, demi menghindari hal yang lebih buruk lagi, maka kuputuskan untuk bersikap lebih lunak padanya.

 

“Baiklah, aku akan coba mempertimbangkan permintaanmu. Tunggu jawabannya besok!” Kataku sambil membelai rambutnya yang hitam dan harum semerbak. Sekejap kemudian, kami kembali terbenam ke dalam lumpur neraka jahanam, lewat hubungan badan yang sangat diharamkan,

 

Dengan menimbang keuntungan dan kerugian yang akan kuhadapi, akhirnya kuturuti keinginan Adelia agar aku menikahinya, meski semula kuniatkan bahwa pernikahan itu hanya akan kulakukan secara siri atau “di bawah tangan” Pada awalnya kusangka Adelia akan senang mendengarnya, namun kerakternya yang sekeras batu ternyata langsung keluar begitu kuutarakan rencanaku itu.

 

“Kalau aku hanya dinikahi secara siri, itu sama artinya Bapak menjadikanku sebagai perempuan simpanan. Aku tak mau menerimanya sebab aku kasihan pada nasib anak yang kukandung ini, sebab nanti dia tidak akan mendapatkan apa-apa dari ayahnya,” katanya membuat telingaku panas.

 

“Kalau begitu gugurkan saja kandunganmu itu!” Bentakku dengan suara seperti geledek. Adelia terkejut karenanya. Sikapnya yang keras berubah menjadi sangat lunak. Bahkan, sekejap kemudan kulihat butiran air mata menggaris di atas wajahnya yang halus.

 

“Kalau Bapak ingin menggugurkan kandunganku ini, lebih baik aku bunuh diri saja. Biarkan aku mati bersama anakku!” Cetusnya di antara sedu sedan tangis yang amat perih.

 

Aku tergugu dengan tubuh merinding membayangkan kenekadan yang akan dilakukan Adelia. Ah, rupanya dia memang begitu pandai memainkan perannya. Dari kecewa dan marah, menjadi tangis yang teramat pedih. Hatiku langsung tersentuh karenanya. Aku merasa sangat iba melihatnya, terlebih bila kulihat ceritanya bahwa dia adalah seorang gadis yang sejak kecil ditinggal mati ayahnya, dan karena sebab itu dia mau menerima kehadiranku di sisinya, dengan harapan bisa mengobati kerinduannya selama ini pada figur seorang ayah.

 

“Bapak janji akan memenuhi semua keinginanmu. Tapi sabar ya, Sayang!” Kataku sambil memeluknya. Setelah kata-kata ini muluncur dari mulutku, bayangan Ayu, Rafli dan Listi langsung menari-nari dalam pelupuk mataku. Apa jadinya mereka kalau tahu aku telah menghamili seorang gadis yang masih teramat belia?

 

Untuk sementara waktu kukubur semua kekhawatiran yang bersarang dalam hatiku. Yang kupikirkan adalah bagaimana secepatnya bisa menikahi Adelia dengan mendapatkan izin dari isteri pertamaku, Ayu Yuningsih. Dan hal ini harus kukatakan dengan sejujurnya di hadapan Ayu, walau dengan resiko apapun. Ibarat mandi aku memang sudah kepalang basah!

 

Kira-kira sebulan menjelan Ramadhan di tahun 2004, di suatu malam menjelang tidur, kuajak Ayu berbicara baik-baik tentang rencanaku yang ingin menikah lagi dengan Adelia, sekalian aku berharap agar dia mengikhlaskan diri untuk bermadukan gadis itu. Ayu sempat shock beberapa saat lamanya demi mendengar niatan yang kusampaikan. Begitu sadar, air mata langsung menganak sungai di atas wajahnya yang mulai dihiasi kerut-kerut ketuaan.

 

“Rupanya inilah jawaban kenapa selama ini Ayah tak pernah mau menyentuhku. Demi Tuhan. aku tak rela denaan semua ini. Ya, aku juga tak rela bermadukan seorang gadis yang usianya hampir sebaya dengan anak sulungku. Lantas, bagaimana mungkin aku akan sudi memberikan ijin kepadamu untuk menikah lagi dengannya? Dan lebih tak rela lagi adalah karena suamiku telah menjadi seorang pezinah. Karena itulah kumohon ceraikan aku saja, dan menikahlah dengan gadis itu. Biarkan aku hidup bersama anak-anakku, kata Ayu sambil berusaha tabah untuk tidak larut dalam tangis.

 

“Aku ingin kau mencarikan solusi atas persoalan ini, bukan lantas menistakan diriku dengan kata-katamu yang kotor seperti itu, balasku dengan kesal.

 

“Bukankah sudah jelas jalan keluar yang kuberikan? Ceraikan aku dan menikahlah dengan gadis itu…”

 

“Iya, tapi lantas bagaimana dengan anakanak kita?” Potongku, sinis.

 

“Aku tidak tahu bagaimana perasaan mereka nantinya. Tapi aku yakin mereka sudah cukup besar untuk kuat menghadapi kenyataan ini.”

 

Aku tahu Ayu adalah wanita yang berhati sangat lembut. Namun rupanya, kelembutanny: itu bukan lantas harus membuatnya pasrah menerima keadaan. Walau bagaimana pun, tak ada seorang pun perempuan di dunia ini yang ikhlas dimadu, terlebih dengan kasus seperti yang kami hadapi. Semestinya, aku bisa menganggap wajar sikap Ayu yang berubah merasa jijik padaku begitu kuceritakan bahwa gadis yang akan kunikahi itu tengah mengadung akibat perbuatanku. Namun karena waktu itu aku sedana dimabuk asmara, ditambah lagi dengan pikiranku yang kalap, maka kuterjemahkan sikap Ayu itu sebagai sebuah bentuk perlawanan atas diriku sebagai suami dan ayah yang menjadi kepala rumah tangga. Karena itu, tanpa pikir panjang lagi akhirnya langsung kuajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama. “Karena kau sedikitpun tidak mau membantu apalagi menerima kesulitan yang kuhadapi, maka aku berharap kau bisa memperlancar gugatan cerai ini. Ingat, di persidangan nanti aku akan mengatakan bahwa kau tidak lagi bisa menjalankan tugasmu sebagai isteri dalam hal memenuhi kebutuhan ruhani suaminya. Karena itu tugasmu adalah mendukung dalihku tersebut, agar semuanya bisa berjalan lancar sesuai dengan keinginanmu, kataku ketika gugatan cerai itu akan memulai persidangan yang pertama.

 

Ayu hanya diam, namun dengan sorot mata yang sangat menantang, seolah mengatakan: “Tak sedikitpun aku takut kehilangan dirimu!” Tafsiran inilah yang semakin menyuburkan kebencian dalam dadaku terhadap Ayu, bahkar aku telah menganggapnya sebagai seorang musuh yang harus kukalahkan.

 

Dua hari menjelang Ramadhan, aku dan Ayu berhadapan dalam suatu persidangan.

 

Di persidangan pertama ini majelis hakim memberikan pertimbangan agar kami kembali bermusyawarah dan mencari jalan terbaik, sehingga perceraian tidak perlu dilanjutkan. Namun, aku tetap bertahan pada tuntutan semi bahwa aku ingin menceraikan Ayu. Tak kalah sengit, Ayu pun membalasnya bahwa dia juga ingin berpisah denganku.

 

Setelah melewati dua kali persidangan, pada minggu terakhir Ramadhan. atau persisnya seminggu menjelang lebaran, majelis hakim akhirnya menjatuhkan vonis. Di persidangan ketiga ini kami dinyatakan telah bercerai sebagai suami isteri dengan talak satu…

 

DUA lebaran telah berlalu dengan hari-hariku yang penuh duka dan penyesalan. Hanya kurang lebih setahun lamanya Adelia sanggup mempertahankan statusnya sebagai isteri dari seorang pria yang lebih pantas menjadi ayahnya. Dua bulan menjelang Ramadhan tahun lalu, dia pergi dengan membawa si kecil Ridha Agung Kurnia, anak yang terlahir dari rahimnya.

 

Ikhlaskan aku pergi bersama Ridha, sebab tak ada yang bisa kami harapkan lagi dari Bapak. Aku juga ikhlas jika Bapak kembali lagi ke tengahtengah anak dan isteri Bapak yang telah lama Bapak tinggalkan…

 

Demikian sebait kalimat yang ditinggalkan Adelia di dalam suratnya sebelum dia pergi meninggalkanku. Aku tidak menganggap ini sebagai sebuah pengkhianatan. Adelia pantas untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Dan aku juga pantas untuk ditinggalkannya sebab aku memang semakin tak berdaya melawan keadaan yang kian sulit. Perekonomianku terpuruk karena perusahaan yang telah kubangun dari nol mengalami pailit akibat korupsi yang dilakukan oleh orang-orang kepercayaanku. Ditambah lagi karena perbuatanku sendiri yang telah melakukan pemakaian uang yang terlampau berlebihan dan di luar kontrol. Cashflow perusahaan jungkir balik. Cicilan bank beberapa kali menunggak, sampai akhirnya pihak bank menyita jaminan asset yang kutandatangani pada saat pengangkatan akad kredit.

 

Di tengah situasi yang serba genting, puluhan karyawan melakukan demo, menuntut gaji mereka yang 4 bulan belum dibayar. Keadaan aa bertambah kacau dan tak terkendali. Asset perusahaan yang masih tersisa kulelang untuk menutupi biaya gaji yang terus menunggak.

 

Kini, semuanya memang telah habis, kecuali rumah tipe 36 yang masih kutempati. Dulu, di dalam rumah ini masih ada tawa, meski tawa yang dihiasi keperihan. Sekarang, tawa itu sungguh-sungguh telah sirna sebab tak ada lagi Adelia dan Ridha, anakku yang lucu itu. Mereka pergi entah kemana. Dan aku sama sekali tidak ingin mencarinya. Aku mencoba rela kehilangan mereka, sebab mungkin mereka memang akan lebih bahagia tanpa kehadiranku di sisinya.

 

Waktu terus berlalu, tapi bagiku jarum jam dan matahari terasa berjalan begitu lambat, seperti setitik embun yang merambat di atas kelopak daun berduri. Hampir tak kusadari, ternyata lebaran akan segera tiba. Hari raya nan agung ini membersitkan harapan indah di antara keping-keping penyesalanku, Ya, lebaran tahun ini aku ingin pulang! Aku tak sanggup lagi menjalani kehidupan yang kejam ini tanpa orang-orang yang kucintai berada di sisiku. Aku ingin kembali ke tengah-tengah mereka. Aku begitu rindu pada ketupat dan Opor ayam masakan Ayu. Aku juga begitu rindu pada senyuman manja Listi yanc cantik rupawan. Dan, aku juga teramat rindu mendengar ayat-ayat suci Al Qur’an dilantunkan Rafli beberapa saat ketika kami akan bersantap sahur bersama.

 

Ah, betapa indah semua itu. Tetapi, mungkinkah mereka akan sudi menerim: kehadiranku lagi, setelah aku begitu lama meninggalkan mereka dalam kedukaan? Betapa takut membayangkan kemungkinan buruk itu akan terjadi.

 

Ayu, dia pasti yang akan keras hati menolak kepulanganku. Rafli dan Listi sudah luluh hatinya setelah melihat keadaanku yang hidup seorang diri. Bahkan, mereka sempat bertangisan dalam pelukanku dan ingin mengajakku kembali pulang. Ya, walau bagaimana pun mereka takkan tega hati melihat ayahnya hidup menderita.

 

“Ayah harus menunggu saat yang tepat untuk pulang. Doakan agar lebaran tahun ini mimpi itu dapat terwujud! Bisikku ke telinga mereka. Di saat yang sama wajah Ayu terbayang dalam pelupuk mataku. Aku tahu, dia masih sulit untuk memaafkan kesalahanku. Jangankan menerima kehadiranku kembali, memandang diriku saja mungkin dia sudah merasa jijik. Ooo…Tuhan, berikanlah jalan terbaik bagiku untuk membuat Ayu berlapang dada menerima kehadiranku kembali. Wallahu a’lam bissawab. ©️KyaiPamungkas.

Paranormal Terbaik Indonesia

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.

Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)

NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)

NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)

WEBSITE: paranormal-indonesia.com/
(Selain web di atas = PALSU!)

NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)

ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)


Related posts

Kisah Kyai Pamungkas: PARA PEMBURU PESUGIHAN DI BALI

Kyai Pamungkas

Kisah Kyai Pamungkas: UANG GAIB & PESUGIHAN, BENARKAH ADA?

Kyai Pamungkas

Kisah Mistis: TEROR MANTAN PACAR KEKASIH

Kyai Pamungkas
error: Content is protected !!