Kisah Kyai Pamungkas

Kisah Mistis: AZAB MENGHINA PENGEMIS

Kisah Mistis: AZAB MENGHINA PENGEMIS

WALAU TELAH COBA DIOBAT DENGAN BERBAGAI CARA, NAMUN PENYAKITNYA TAK JUGA KUNJUNG SEMBUH. MONICA MENYEBUT, HANYA PENGEMIS TUA YANG BISA MENYEMBUHKANNYA. PENGEMIS TUA ITULAH YANG PERNAH DIA HINAKAN…

 

Pepatah mengatakan “Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah.” Tangan di atas berarti memberi, dan di bawah adalah menerima. Memberi terkadang bisa dianalogikan dengan bersedekah. Ajaran agama mengatakan, bersedekah merupakan pekerjaan yang mulia. Tuhan menyenangi mereka yang suka bersedekah dengan tulus, tanpa mengharapkan sesuatu. Menurut kajian terminologi Islam, mereka yang suka bersedekah akan menerima “pahala” sebagai kompensasinya.

 

Kisah nyata yang berikut ini, ada kaitannya dengan keikhlasan bersedekah. Seperti yang telah kita semua ketahui, bersedekah adalah membantu atau menyerahkan uang atau barang materi berharga lainnya kepada mereka yang memang sangat membutuhkannya.

 

Biasanya yang menerima sedekah adalah mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan, para pengemis yang mencari makan dengan menadahkan tangan untuk sesuap nasi, atau semua fakir miskin yang ada di sekitar kita.

 

Nah, berikut adalah kisah yang diceritakan olel Zuraida kepada penulis…:

 

Namaku Zuraida. Puteri sulung dari pasangan suami isteri berdarah Melayu. Pekerjaan ayah serabutan, namun lebih sering mengajar anakanak mengaji Al-Qur’an di mesjid. Sementara ibuku jualan sayur-mayur di emperan pasar tradisional di Kota Kisaran, Sumut.

 

Dengan pekerjaan semacam ini, penghasila yang diperoleh oleh kedua orang tuaku hanya mampu menutup biaya dapur seharihari dengan menu teman nasi yang sangat sederhana. Meskipun makan ditemani kecap dan ikan asin, namun kami sekeluarga tetap mensyukurinya. Karena kami sadar masih banyak lagi orang yang jauh lebih susah dan melarat di bumi Tuhan ini.

 

Biaya sekolah aku dan adik-adik selama ini dibantu oleh Paman yang punya bisnis barangbarang bekas di Medan. Kini aku telah duduk di bangku kelas dua SMU. Sebagai seorang gadis remaja, aku suka bergaul dan berteman. Tidak pandang dia miskin atau kaya. Kebetulan teman sebangkuku dalam kelas adalah puteri tunggal anak orang kaya. Ayahnya punya bisnis komoditi non migas yang sukses. Mereka punya mobil dan rumah yang mewah di kawasan permurahan elit.

 

Nama teman sebangku itu sebut saja Monica. Orangnya terbuka dan suka bergaul. Dia sering mengajakku dan teman-teman sekelas lainnya jajan dan minum di kantin sekolah. Artinya, dia bukan seorang yang pelit, bahkan terkesan suka menghamburhamburkan uang untuk hal-hal yang tidak terlalu perlu. Misalnya membeli alat kecantikan yang mahal-mahal tanpa pernah dipakai. Ketika kutanyakan, dijawabnya untuk sekedar koleksi. Di dalam kamarnya memang ada lemari khusus untuk menyimpan dan memamerkan “koleksi” tersebut. Sepertinya, Monica bercita-cita ingin buka salon kecantikan setamat sekolah.

 

Menurutku, Monica seorang gadis yang sangat beruntung. Punya orang tua kaya dan puteri tunggal serta dimanja. Namun ada yang aneh, karena dia kurang suka dengan pengemis. Semua yang datang meminta-minta ke rumah orang tuanya, selalu diusirnya. Entah apa sebabnya dia seperti algergi terhadap para pengemis. Padahal jelas dia bukan tipe orang yang pelit. Ayah bundanya selalu bingung menghadapi sifat puteri tunggal mereka yang aneh ini.

 

Pagi itu, guru kelas kami berhalangan hadir, sehingga teman-teman memanfaatkan untuk bersenda-gurau di halaman sekolah. Sementara itu, Monica mengajakku belanja di toko, sebab ada yang perlu dibelinya.

 

Ketika berada di kaki lima depan pertokoan Jalan Listrik, tidak jauh dari bioskop Varia, aku melihat seorang lelaki tua duduk bersila. Tubuhnya kurus kering, pakaiannya compangcamping, kumuh dan kumal. Tak hanya itu, baunya minta ampun, tengik dan anyir.

 

Pandangan pengemis tua itu kuyu dan sayu. Sambil selalu menadahkan tangan pada orang-orang yang melintas dihadapannya.

 

“Tolong, Pak, Bu, Nak! Beri saya sedekahnya…!” Terdengar suaranya lirih dan serak minta dikasihani.

 

Begitu Monica menyaksikannya pengemis tua itu, dia segera menyeret lenganku agar menghindar sambil menutup lubang hidungnya.

 

“Jangan dekat-dekat dengan pengemis tua itu!” Ujarnya dengan nada yang agak emosional. “Pengemis itu tidak perlu dibantu, karena besok atau lusa dia sudah mati. Percuma saja!”

 

Aku terpana dan bulu kudukku merinding. Aku tahu, temanku ini memang tidak suka dengan pengemis. Tapi menurutku, dia tidak berhak menentukan ajal seseorang. Meskipun usianya sudah bau tanah, dan mungkin belum makan berhar-hari, belum tentu malaikat maut besok atau lusa akan mencabut nyawanya.

 

Aku ingin menasehati temanku ini, namun lidahku kelu untuk berkata-kata. Cuma dalam hati terus menyesali sikapnya, “Kamu bolehboleh saja tidak suka atau membenci pengemis, namun jangan suka membatasi umur seseorang…”

 

Beberapa minggu kemudian setelah kejadian itu, Monica kembali mengajakku bolos karena guru kami sakit. Pada hari itu, dia memborong alat-alat kecantikan dan kosmetik terbaru produk asli dari Prancis. Harganya lumayan mahal, karena di meja kasir dia menyerahkan lembaran ratusan ribu sebanyak 10 lembar.

 

Puas berbelanja, Monica mengajakku singgah di sebuah restoran Padang terkenal yang ada di simpang Jalan Imam Bonjol. Kami mengambil tempat duduk agak di pojok dan memesan makanan.

 

Ketika kami tengah asyik menyantap makanan, di depan meja berdiri lelaki tua yang kami pernah lihat mengemis di Jalan Listerik beberapa minggu yang lalu. Tampak Monica terperangah. Mungkin dia kaget karena ramalannya bahwa pengemis tua ini akan mati satu dua hari tidak menjadi kenyataan.

 

“Hei, tua bangka! Ternyata umurmu panjang juga, ya?” Hardiknya cukup keras. Aku terkejut dengan sikap Monica yang keterlaluan ini.

 

“Cepat kau pergi dari sini, tubuhmu sudah bau bangkai. Pergi… pergi!”

 

Cukup lama aku tertegun. Bukan main malunya diriku saat itu. Karena semua wajah dalam restoran tersebut berpaling ke arah kami. Herannya Monica seperti tampak cuek saja. Pandangan penuh tanya orang-orang itu seperti tidak dihiraukannya.

 

Karena kelakuannya sudah kuanggap keterlaluan, sejak itu aku mengambil jarak dan tidak ingin berteman terlalu dekat dengan Monica. Meskipun tetap bertegur sapa, namun setiap dia mengajak belanja atau kemana saja, selalu kubikin alasan macam-macam untuk menolaknya.

 

Sampai di suatu ketika, persisnya di hari Minggu, aku turut membantu ibu jualan sayur di emperan pasar. Sorenya kami pulang jalan kaki. Ketika melintas di Jalan Listrik aku kembali melihat pengemis tua yang tempo hari. Dia duduk bersimpuh dengan tubuh menggigil dan menggeletar. Tampaknya lelakitua tersebut mulai sakit-sakitan. Nafasnya sesak dan sering batuk berdahak. Sempat pula kulihat dahak itu bercampur noda kemerah-merahan.

 

Ibu heran ketika melihatku tertegun tidak jauh dari si pengemis. Aku prihatin dan sangat iba menyaksikannya hingga mataku berkaca-kaca. Entah bagaimana awalnya, di tanganku telah tergenggam beberapa lembar uang lima ribuan. Aku terkesima sambil menatap wajah ibu luruslurus yang menyerahkan uang tersebut.

 

“Meskipun ayahmu di rumah juga tengah terbaring sakit, tapi ibu pikir Pak Tua ini lebih membutuhkan uang itu. Karena penyakit ayahmu tidak separah dia…..!” Terdengar ibu berkata-kata dengan nada tulus.

 

Menetes air mataku pada saat si pengemis tua mengucapkan terima kasihnya berulangulang, “Terima kasih, terima kasih, terima kasih. Semoga Tuhan melipat gandakan rezeki kalian sekeluarga.”

 

Begitu tiba di rumah, aku dan ibu heran melihat ayah yang beberapa hari sebelumnya terbaring lemah di tempat tidur, tiba-tiba telah bisa berdiri dan jalan ke sana kemari.

 

“Tadi ada seorang pria berpakaian mirip Kyai bertamu ke rumah kita…” Kata ayah menjelaskan. “Beliau meminta ayah meminum air putih yang telah diberinya doa. Setelah itu, ayah merasa segar, mampu duduk, berdiri dan berjalan seperti biasa.”

 

“Siapa dia, Ayah?” Tanyaku penasaran. “Mana dia sekarang?”

 

“Ayah tak kenal, dia nyelonong saja masuk kamar setelah mengucapkan salam. Setelah itu dia menghilang begitu saja, sahut ayah.

 

Aku dan ibu terus saja bengong. Namun demikian kami sangat bersyukur, sebab ayah sudah sembuh seperti sediakala. | HARI berikutnya, aku yang biasanya jarang lewat Jalan Listerik, tapi entah kenapa aku iseng lewat dan melintas di situ. Di kaki lima depan pertokoan ramai orang lalu lalang dan terlihat pula beberapa orang pengemis yang tengah duduk bersimpuh. Tapi kali ini aku tidak melihat keberadaan lelaki tua si pengemis yang sempat kukenal sebelumnya. Ingin aku menanyakan pada Omak-omak yang menggendong bayi mengemis disana. Tapi ketika kudekati, wanita setengah baya tersebut buang muka, entah kenapa.

 

“Kemana Pak Tua yang pantas jadi kakekku itu?” Tanyaku dalam hati. “Mungkinkah dia sekarang lebih sering keliling untuk mengemis?

 

Muncul pula dugaan negatif bahwa pengemis tua itu telah meninggal, karena terakhir aku melihatnya beberapa waktu yang lalu bersama ibu, dia dalam keadaan sakit parah dan kami sempat memberi sedekah padanya.

 

Malamnya menjelang Isya, tiba-tiba aku mendapat kabar yang cukup mengejutkan. Monica, temanku, tengah sekarat. Dengan suhu tubuh tinggi dia sering kesurupan. Padahal di sekolah siang tadi dia masih segar bugar. Sering bercanda dan tertawa bersama kami, teman-temannya.

 

Aku segera pamitan pada orang tuaku untuk menjenguk Monica. Di rumah orang tua Monica, aku lihat temanku itu seperti orang gila. Pakaiannya sudah tak karuan, nyaris bugil. Dia juga sering menjerit-jerit, histeris, layaknya orang kesetanan.

 

Para tetangga dan kaum kerabat dekatnya yang berkumpul di sana mengatakan bahwa Monica kerasukan jin ganas. Mereka telah menghubungi seorang kyai dari kota Tanjung Balai, tapi saat itu belum hadir juga.

 

Aku coba masuk ke kamar Monica di lantai dua. Tentu saja setelah permisi ke Ibunya yang berada di dalamnya. Sebelumnya Monica dibaringkan di ruangan keluarga untuk ditenangkan secara medis. Setelah diberi suntikan penenang, Monica yang ditangani dokter spesialis kejiwaan tersebut diusung ramai-ramai masuk kamar tidur.

 

Saat aku masuk ke dalam kamarnya, kulihat Monica sudah terbaring santai namun kedua bola matanya masih liar melirik kian kemari seperti ketakutan.

 

Kudekati ibunya yang duduk di bibir ranjang. Wajah wanita itu muram dengan mata kuyu dan sendu. Dia berbicara setengah berbisik dekat telingaku bahwa puteri tunggalnya tersebut sering ngoceh tentang seorang lelaki tua yang selalu duduk mengemis di kaki lima pertokoan. Menurut pengakuan Monica dalam kalapnya, hanya sipengemis tua itu yang mampu menyembuhkan dirinya.

 

“Kami telah mencarinya kemana-mana, tapi belum bertemu hingga saat ini” kata sang ibu sambil bersimbah air mata.

 

“Pengemis tua?” Gumamku sambil tercenung.

 

Ibunya Monica menatapku. “Nak Zuraida, apakah kamu mengenal pengemis tua itu?” Tanyanya dengan penuh harap.

 

Aku mengangguk-angguk. “Kenal, Bu! Saya dan Monica pernah bertemu beberapa kali dengan pengemis itu di kota. Tapi beberapa waktu belakangan ini, dia sudah tidak kelihatan lagi di tempatnya biasa mengemis,” jelasku sejujurnya.

 

Pada saat bersamaan, aku coba memahami apa hubungan penyakit temanku ini dengan si pengemis tua. Apakah karena Monica pernah menghardiknya di muka umum dengan katakata yang sangat kasar?

 

Namun aku tidak ingin menduga-duga atau memastikannya. Mungkin Tuhan yang tahu jawabannya.

 

Tapi yang bagiku sangat aneh, walau berbagai cara penyembuhan telah dilakukan tetapi penyakit yang dialami Monica tak jua kunjung sembuh. Karuan saja, semakin lama tubuhnya semakin kurus kering, karena makanan yang disuapkan ke mulutnya selalu dimuntahkannya.

 

Kyai yang didatangkan dari Tanjung Balai juga tidak mampu menjelaskan penyakit temanku itu. Padahal beliau dikenal sebagai pakar supranatural yang canggih di kawasan Asahan.

 

Dokter menyarankan agar Monica segera dibawa ke Rumah Sakit di kota Medan. Namun ternyata sakit Monica tak kunjung sembuh. Bahkan penyakitnya semakin parah dan gawat. Semua sudah pesimis, mereka tinggal menunggu keajaiban dari Allah SWT sehingga setiap malam diselenggarakan acara pengajian dan ritual zikir untuk memohon kesembuhan Monica.

 

Sementara itu, sebagai teman aku terus berusaha mencari di mana pengemis tua itu berada. Setiap pulang sekolah, aku sengaja lewat Jalan Listrik. Siapa tahu aku bisa menemuinya lagi di sana.

 

Di lokasi dimana pengemis tua duduk, aku sering berdiri cukup lama sambil melirik kian kemari. Sampai hari itu, ketika aku tengah bingung sendiri, tiba-tiba terdengar seseorang menyapa, “Cari siapa, cucuku?”

 

Aku segera berpaling ke arah datangnya sapaan lembut tersebut. Segera tampak olehku seorang pria tua mengenakan jubah putih-putih sambil menghitung tasbih manikmanik di tangannya. Wajahnya ceria dan selalu tersenyum. Dan wajah itu sangat kukenal. Anehnya, ternyata persis dengan wajah si pengemis tua yang tengah kucari. Dugaanku tidak meleset ketika dia berkata kemudian memperkenalkan dirinya.

 

“Aku memang si pengemis tua yang kamu cari! Kamu perlu apa, cucuku?”

 

“Ta…tapi kok, kakek sekarang lain?” Ujarku terbata-bata.

 

“Itu tak perlu kamu tahu apa sebabnya, cucuku! Sekarang katakan saja apa maumu,” dia menatapku dengan teduh.

 

“Teman saya, kek! Dia sangat membutuhkan bantuan kakek sekarang juga!”

 

“Temanmu yang membenci pengemis itu, bukan?”

 

Aku terbungkam. Sulit untuk berkata-kata. Cuma anggukkan saja yang membenarkan.

 

“Baiklah!” Cetusnya. Pria yang mirip seorang Kyai kharismatik tersebut lalu menyambung pembicaraannya, “Karena kamu yang minta, aku akan menyembuhkannya. Ini sirih tujuh lembar. Rendam setiap hari selembar, lalu minumkan pada temanmu itu. Pada hari ke tujuh, sirih itu harus dikunyah dan ditelan sampai habis.

 

Tapi ada syaratnya, setelah sembuh dia harus bersedekah pada orang miskin di tujuh kota. Dan selanjutnya temanmu itu harus merubah sifatnya yang membenci pengemis.”

 

Aku menunduk sambil merekam pesan dan amanah kakek itu. Ketika aku memandangnya kembali, ternyata si kakek telah pergi, lenyap dari pandanganku. Untuk beberapa saat lamanya aku bingung, tak tahu harus berbuat apa.

 

Yang aku heran, aku malah diejek dan ditertawakan oleh orang-orang yang sejak tadi memperhatikanku, sebab mereka mengaku melihatku ngomong sendirian. Untuk membuktikan bahwa aku bicara dengan seorang kakek berjubah putih, segera kuperlihatkan daun sirih dalam genggamanku. Orang-orang itupun berubah heran.

 

Aku bergegas meninggalkan tempat itu. Secepatnya ingin menyampaikan pesan dan amanah si kakek, terlepas siapapun dirinya.

 

Ketika aku tiba di hadapan Monica, kulihat nafasnya yang sesak dan tersengal-sengal. Orang-orang membacakan surah Yasin beramai ramai. Mungkin menunggu ajal menjemput, semuanya sudah pasrah dan tawakal.

 

Nyawa Monica bagai sudah berada di ujung tarikan nafas terakhir, sehingga sulit bagiku meminumkan rendaman air sirih ke mulutnya.

 

Namun, sulit dicerna akal sehat, manakala aku menyaksikan sebuah keajaiban di hadapan mata semua hadirin disana. Sehabis meminunanya, nafas Monica mulai normal, meskipun masih dalam keadaan setengah sadar. Tubuhnya yang bergetar serta kejang-kejang tidak terlihat lagi. Dan kedua matanya perlahan-lahan mulai bercahaya, sebagai tanda kehidupan.

 

Semua yang hadir langsung memanjatkan puji syukur atas kebesaran Allah SWT. Semua mata yang berkaca-kaca kemudian terpusat kepadaku. Bahkan ada yang merangkul dan memelukku silih berganti. Mereka meluapkan rasa haru dan syukur dengan bertangisan, bersimbah air mata. Tanpa terucapkan mereka menganggapku sebagai dewa penyelamat atas kesembuhan Monica saat itu. Ingin aku mengatakan bahwa itu semuanya atas bantuan seorang pengemis tua yang pernah dihina Monica.

 

Setelah tujuh hari meminum air rendaman sirih pemberian si kakek misterius, temanku itu sembuh secara utuh. Pesan dan amanah si pengemis tua kemudian juga dilaksanakan Monica dengan sebaik-baiknya. Layaknya mendapat hidayah, dia mulai menghilangkan sifat buruknya yang membenci pengemis. Baginya tiada hari tanpa bersedekah pada pengemis.

 

Setelah tamat SMU, Monica minta di sekolahkan di sebuah Pesantren Modern, dan mondok di sana. Aku sendiri melanjutkan pendidikan di sebuah perguruan tinggi di kota Medan. Tinggal bersama pamanku yang pebisnis barang bekas di bilangan Perumnas Mandala.

 

Hingga kisah nyata ini kutuangkan kepada penulis, aku belum tahu siapa sebenarnya sosok yang semula seperti pengemis tua tersebut. Namun jelas hendaknya kisah ini menjadi bahan renungan kita bersama bahwa kita insan yang hidup di dunia ini, memang wajib tolong-menolong dan bersedekah. Dan jangan suka menghina orang yang tidak berpunya alias miskin harta. Wallahu a’lam bissawab. ©️KyaiPamungkas.

Paranormal Terbaik Indonesia

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.

Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)

NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)

NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)

WEBSITE: paranormal-indonesia.com/
(Selain web di atas = PALSU!)

NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)

ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)


Related posts

Kisah Kyai Pamungkas: ADIKKU DIGONDOL DEDEMIT BUKIT LAWANG

Kyai Pamungkas

Kisah Kyai Pamungkas: DIGUNA-GUNA DUA LELAKI

Kyai Pamungkas

Panggonan Wingit: MUNJUNG DI KERAMAT CILUTUNG

Kyai Pamungkas
error: Content is protected !!