Cerita Kisah Kyai Pamungkas

Kisah Mistis: NYIMAS SUBANG LARANG GUGAT

Kisah Mistis: NYIMAS SUBANG LARANG GUGAT

Penemuan situs kuno itu menimbulkan rangkaian misteri yang sulit terjawab. Bagaimana menurut hasil penelusuran gaib…?

 

Ketenangan kota Subang mendadak terhentak. Di rentang 15 Februari 2006 diketemukan tumpukan bebatuan kuno dalam susunan yang teratur di lahan milik salah seorang penduduk. Tepatnya, di Kampung Talun, Desa Talaga Sari, Kecamatan Sagala Herang.

 

Tim Arkeologi dari Bandung dan Dinas Budpar pun turun ke lapangan, namun sampai tulisan ini diturunkan, misteri situs itu belum terungkap.

 

Di sela-sela silang pendapat yang beredar di tengah-tengah masyarakat, penulis coba menguak misteri tersebut. Berikut adalah paparannya…

 

Di tengah keheningan malam dan di bawah taburan bintang gemin tang serta rembulan yang mengintip malu di balik awan. kendaraan penulis pun melaju perlahan membelah batang-batang rambung yang berjejer apik. Malam terasa begitu tenang. Saat tiba di jalan yang mendaki dan berbelok tajam, mendadak dada penulis berdesir tajam.

 

Peringatan itu terbukti, di depan sana, ternyata jalan yang harus dilalui dipenuhi dengan lubang sebesar kubangan kerbau. Setelah bersusah payah mengendalikan kemudi, akhirnya, penulis pun memarkir kendaraan di sebelah surau yang terletak di ujung perkampungan. Tepatnya, di Kampung Ponggang, Desa Ponggang, Kecamatan Sagala Herang.

 

Tak lama kemudian, tampak tergopoh-gopoh seorang lelaki paruh baya mendatangi penulis. Ia memperkenalkan diri sebagai juru kunci keramat Pancuran Tujuh dan Curug Ponggang. Dua tempat yang kekeramatannya mampu menggetarkan dan sekaligus membatalkan niat dari salah satu stasiun TV untuk melakukan pengambilan gambar di sana.

 

Menurut Abah Rasto, 73, demikian sapaan akrabnya, dia adalah keturunan keenam dari Mbah Meong. Salah satu dari tiga panglima perang tangguh dari Prabu Siliwangi yang legendaris, dan sekaligus manusia pertama yang mukim dan menjadi cikal bakal kampung dan Desa Ponggang. Jadi wajar jika dia menjadi juru kunci dari kedua tempat keramat yang sudah ada sejak zaman dahulu.

 

Dalam dialek Sunda yang kental, lebih lanjut dikatakan: “Ketika saya kecil, kakek cuma bilang Pancuran Tujuh ini dijaga oleh Ibu Ratu Rumanghiang dan Mbah Raden Ratnawulan.”

 

Penulis hanya mengangguk dan kemudian meminta izin untuk melakukan kontemplasi dengan kedua penguasa gaib itu. Dengan senyum yang arif, Abah Rasto pun balas mengangguk tanda setuju. Setelah mempersiapkan segala sesuatunya, dan tatkala api dupa menjelang habis, dengan diiringi desiran angin lembut yang mengantarkan bau wewangian nan semerbak, di depan penulis tampak sesosok wajah ayu nan lembut dan anggun menyapa penulis dengan suara lembut: “Terima kasih atas bakti nanda berdua yang telah datang dari jauh dan menyambangi tempat bunda.”

 

“Bunda hanya berpesan dan mengingatkan, siapa pun yang datang untuk mencari keberkahan dari tempat ini haruslah memohon secara tulus dan rendah hati kepada Yang Maha Hidup. Dia adalah pengabul segala permintaan, sedang bunda dan Ratnawulan hanyalah sekadar menjaga,” imbuhnya menjelaskan.

 

“Jadi jangan salahkan jika para pengawal bunda terkadang terpaksa maujud ketika mendengar ada yang datang untuk hal-hal yang tidak baik atau meminta langsung kepada Bunda atau Ratnawulan. Nah… kiranya cukup segala penjelasan bunda kepada nanda. Bunda hanya bisa sesanti Semoga ananda berdua selamat sampai pulang ke rumah masing-masing. Dan sebelum melanjutkan perjalanan ke Curug Ponggang dan tempat yang lainnya, akan lebih baik jika nanda berdua sesuci terlebih dahulu di Pancuran Tujuh,” sambungnya mengakhiri pembicaraan.

 

Penulis langsung terkejut ketika tangan Abah Rasto menggamit bahu. “Bapak beruntung. Saya tidak menyangka jika Ibu Ratu berkenan untuk bertemu dengan bapak,“ujarnya lirih.

 

Setelah membasuh badan sambil berjalan menuruni undakan menuju ke Curug Ponggang yang terletak jauh di bawah jurang Gunung Sunda, dengan setengah berbisik, sosok renta ini menambahkan, dia mengaku hanya membakar dupa dan menyiapkan ubo rampe ala kadarnya serta melantunkan kidung buhun berupa Rajah Pamunah dan memandikan di Pancuran Tujuh untuk menyembuhkan para penderita stress atau kidung Rajah Asihan bagi mereka yang ingin segera mendapatkan jodoh. Yang jelas, pada setiap bulan Maulud, seluruh penduduk desa akan datang dengan berbondong-bondong ke Pancuran Tujuh untuk melakukan ritual dan pemanjatan doa bersama dan diakhiri dengan mandi atau mengambil air pancuran itu untuk dibawa pulang ke rumahnya masing-masing.

 

SIAPA MENEBAR ANGIN, IA MENUAI BADAI

Rembulan yang mengayun malu di balik awan mak menerangi jalan setapak ya men akibat lebatnya pepohonan dan penuh kehati-hatian, penulis melangkahkan kaki ke Ponggang. Salah satu air keramat di kawasar ini. Walau malam kian larut Rasto pun berkata: “Setiba di sana nanti, Bapak berdua harus membasuh tubuh. Ini sudah peraturan sebelum Bapak melanjutkan perjalanan ke Talaga Pare.”

 

Penulis langsung mengangguk tanda mengerti. Dan setelah dirasa cukup, kami pun melanjutkan perjalanan. Menjelang Curug Ponggang, hati penulis sontak berdesir. Apalagi, di kejauhan sana tampak beberapa pasang mata hijau kebiruan yang selalu berpindah-pindah tempat. “Ah … ternyata perjalanan ini mendapat perhatian khusus dari para pengawal Abah Meong,” desis penulis.

 

Anehnya, tenaga penulis yang hilang sontak timbul kembali. Dalam waktu sepeminum teh, Curug Ponggang yang airnya merupakan aliran dari Gunung Tangkuban Perahu dan dijaga oleh Mbah Raden Tengku Agung sosok sakti pada zamannya yang terkenal lurus dan penegak keadilan.

 

Menurut tutur yang berkembang di masyarakat, aliran itu sengaja dibuat oleh beliau untuk anak dan keturunannya kelak bila mereka sedang terlibat dalam silang pendapat agaknya, inilah yang menyebabkan kenapa Mbah Raden Tengku Agung, mempercayakan kedua sahabatnya, Mbah Karang Nunggal dan isterinya Nyi Saputra serta Mbah Raden Karang Mega dan istrinya Nyai Sri Baduga, untuk menjadi saksi atas sumpah yang akan dilakukan oleh keturunannya dan sekaligus menjadi penjaga dari Curug Ponggang.

 

Setiba di Curug Ponggang dan setelah membasuh tubuh serta mempersiapkan ubo rampe yang dibawa, penulis pun langsung memejamkan mata untuk berkontemplasi dengan sang penguasa gaib. Gemuruh air terjun perlahan tetapi pasti mulai menghilang dari pendengaran, seiring dengan lirihnya suara auman dan gerengan, kini, di depan penulis berdiri dua sosok tubuh berpakaian kerajaan masa lalu, berwajah kharismatik dan memancarkan keteduhan.

 

“Sampurasun,” sapanya ramah tetapi berwibawa. “Apa yang Andika berdua kehendaki di sini?“

 

Seolah tahu dengan apa yang hendak ditanyakan, kembali sosok yang akhirnya mengaku bernama Mbah Karang Nunggal menambahkan, “Di sini adalah tempat yang tepat untuk mendekatkan diri kepada Yang Tunggal. Atau untuk mendapatkan kebenaran atas suatu masalah, saha nu salah bakal balangsak, pupus saburuntuyut.”

 

Penulis tercengang. Sungguh tak di sangka, Curug Ponggang yang menurut pandangan awam terjadi secara alamiah ini menyimpan kekuatan mistik yang amat menggetarkan.

 

“Andika harus bisa memahami akan tanda-tanda alam, kini, sudah saatnya kami memberi peringatan keras dan hukuman kepada seluruh anak cucu yang lupa kepada pituah karuhun. Inilah tahun perjanjian, di mana hanya manusia sejati, asli nu bukt yang mendapatkan tempat di dunia ini,” imbuhnya mantap.

 

Hati penulis langsung berdesir, kata manusia sejati, asli dan bukti adalah sosok yang menurut versi spiritualis Jawa adalah sosok jalma pinilih pinintho, atau manusia yang diproyeksikan oleh Yang Kuasa untuk menjalankan misi-Nya. Dengan kata lain, dunia akan sepi dari orang-orang yang berlaku dzalim, keji dan mungkar.

 

“Sejatinya kami sudah mengingatkan sejak 1999, tetapi sayang, kebanyakan anak cucu hanya melihatnya sebagai gejala alam semesta. Padahal pesan-pesan moral kami titipkan di dalamnya,” tambahnya.

 

“Dengan terbukanya situs di Kampung Talun, maka, semua akan menjadi lebih jelas. Apalagi jika Ratu Nyi Mas Subang Larang bersedia menemui Andika. Ingat, Sagala Herang berarti semuanya harus putih. Mulai dari hati, pikiran dan perbuatan itulah tuntutan beliau kepada seluruh masyarakat, khususnya kota Subang,” paparnya panjang lebar sambil menutup pembicaraan.

 

Penulis langsung tersadar seiring dengan hilangnya kedua sosok gaib nan kharismatik itu. Setelah dianggap cukup, Abah Rasto yang sejak tadi menemani langsung membimbing penulis untuk berjalan naik guna melanjutkan perjalanan menuju ke Talaga Pare.

 

MURKANYA SANG RATU

Setelah mohon diri dengan Abah Rasto, penulis pun langsung kembali ke kendaraan menuju sudut Kampung Talun, Desa Talaga Sari yang terletak di tengah hamparan sawah dan dipagari oleh Gunung Geulis nan Sarat mistik. Kembali jalan berlubang bak kubangan kerbau menggocangkan tubuh yang mulai terserang kantuk dan rasa lelah.

 

Saat jarum jam di tangan kiri telah menunjukkan pukul 02.15, penulis pun tiba di pinggiran lubang kolam di mana di dalamnya tampak susunan batu bata berukuran besar berjajar rapih dan apik menurut sumber, situs itu diketemukan sekitar pukul 10.00 pada 15 Februari 2006 yang baru lalu. Tetapi sayang, sampai dengan tulisan ini diturunkan, baik Tim Arkeologi dari Bandung atau Dinas Budpar Kabupaten Subang belum dapat memastikan hasil dari penemuan itu.

 

Bahkan, Aki Aca, 52, sesepuh di Desa Talun hanya bisa berkomentar: “Abdi teu wasa ngajawabna, sabab nu kawasa ngajawabnya mung Ratu Nyi Mas Subang Larang. Andika tos diatosan di Talaga Pare, mangga wilujeung.”

 

Penulis tergugu sesaat. Kejadian ini benar-benar di luar dugaan. Dengan hati berdesir dan bertanya-tanya, dan diantar oleh salah seorang peronda penulis pun menuju ke Talaga Pare yang secara harfiah berarti Telaga Padi tepatnya, danau misterius yang di tengahnya acap muncul leuit salawe jajar, atau jajaran dua puluh lima lumbung padi yang ngahyang.

 

Di tepian Talaga Pare, tepatnya di dekat makam Sanghyang Keteg, penulis kembali menyiapkan ubo rampe untuk melakukan kontemplasi. Sementara itu, Kang Udin, sang peronda mohon diri untuk kembali ke posnya. Seiring dengan bersatunya cipta, rasa dan karsa, di depan sana, samar tampak bayangan tubuh berbusana hitam dan berwajah cerah dengan diapit oleh dua ekor harimau loreng yang besar mendatangi penulis. “Aku adalah Sanghyang Keteg, penguasa pertanian untuk daerah ini. Sebagai tanda baktiku, maka, dua puluh lima lumbung yang berjajar di sini sengaja kubawa ke alam kelanggengan untuk mengikuti junjunganku. Maha Prabu Siliwangi,” ujarnya dalam bahasa Sunda yang halus.

 

Belum sempat penulis bertanya, seolah tahu apa yang akan ditanyakan, kembali Sanghyang Keteg menambahkan, “Dan tumpukan batu bata berjajar yang tadi Andika lihat adalah bekas rumahku. Kini, segala sesuatu yang semula dirahasiakan telah kami buka. Maksudnya, agar semua anak cucu sadar bahwa kami tetap mengawasi segala gerak kehidupannya sehari-hari.”

 

Sanghyang Keteg langsung membungkukkan tubuh ketika gemerincing genta kuda dan wangi surgawi mulai menyeruak di antara kami. “Akulah yang engkau tunggu anak muda,” demikian sapaan yang keluar dari mulut seorang wanita cantik dan berbusana kerajaan masa lalu.

 

Penulis lalu melontarkan uluk salam yang langsung dibalas oleh Ratu Nyi Mas Subang Larang. “Sampaikan pesanku kepada seluruh para pemimpin khususnya di Subang bahkan ke seluruh Nusantara, dan jangan sekali-kali engkau kurangi. Wahai para pemimpin, jadilah engkau pemimpin yang amanah, dan makmurkanlah rakyatmu. Jangan sekali-kali engkau memperkaya diri sendiri dan golonganmu … jangan sampai engkau terjerumus akibat kemilaunya harta, tahta dan wanita. Ingat, kebusukan yang engkau sembunyikan akan segera terungkap dalam hitungan hari!” Ucapnya dengan penuh wibawa.

 

Kemarahan yang teramat sangat tampak di wajahnya yang memerah. Dengan bergetar, kembali ditambahkan: “Janganlah kalian melecehkan kaum wanita, dan jauhilah madat yang bisa merusak sendisendi imanmu. Dan jangan pula kalian menghukum rakyat hanya untuk memuaskan hatimu saja!”

 

“Jika semua dijalankan dengan niatan yang tulus, sagala herang, maka, rakyat pun akan makmur. Gemah ripah, repeh, rapih, loh jinawi. Apalagi, banyak timbunan harta karun yang siap untuk diolah,” lanjutnya menutup pesan.

 

Dengan sesanti agar penulis selamat sampai ke rumah, Ratu Nyi Mas Subang Larang pun lenyap. penulis tak mampu mencerna pesan yang baru diterima itu dengan lebih dalam lagi, apalagi, semua yang ditemui seolah enggan dan terkesan tak berani berkomentar akan pesan gaib yang disampaikan oleh Ratu Nyi Mas Subang Larang yang bertahta di Gunung Geulis itu. Wallahu a’lam bissawab. ©️KyaiPamungkas.

Paranormal Terbaik Indonesia

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.

Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)

NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)

NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)

WEBSITE: paranormal-indonesia.com/
(Selain web di atas = PALSU!)

NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)

ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)


Related posts

Kisah Kyai Pamungkas: FENOMENA WANITA DUKANA

Kyai Pamungkas

Panggonan wingit: MAKAM MBAH BROMO SARI, BATANG

Kyai Pamungkas

Kisah Kyai Pamungkas: VILLA MANUSIA HARIMAU

Kyai Pamungkas
error: Content is protected !!