Cerita Kisah Kyai Pamungkas

Panggonan Wingit: MISTIS BUKIT TURGO, SLEMAN

Panggonan Wingit: MISTIS BUKIT TURGO, SLEMAN

Bukit Turgo kemungkinan terbentuk dari letusan Gunung Merapi Purba yang tersusun dari endapan lavabasaltik. Bukit Turgo yang juga dulu dikenal sebagai Bukit Kawastu, adalah nama sebuah bukit dan dusun yang terletak di dusun Turgo, Desa Purwobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, memang berdampingan dengan Gunung Merapi yang perkasa, letaknya di sebelah barat Kaliurang. Dusun Turgo yang rawan bencana Merapi, bahkan pernah dilanda awan panas pada tahun 1994, dan terakhir wedus gembel melanda dusun Turgo tahun 2006, yang menyebabkan semua vegetasi di bukit Turgo habis hangus terbakar.

 

Saat mendekati kawasan lereng Merapi, sayangnya selimut malam terlanjur mengemuli punggung bukit yang membaur dengan kabut dingin. Untuk mendaki lingga raksasa Turgo yang berdiri tegap bagai dikelilingi selimut busa yang makin menebal, rasanya perlu waktu esok pagi, saat Sang Bagaskara membuka matanya, agar menyibakkan kabut dingin dengan cahaya panas dari tubuhnya. Malam itu lebih baik merebahkan raga renta ini di penginapan Kaliurang bersama kelelahan yang seharian menggelayut di benak.

 

Dan pagi telah membangunkan jiwa dengan guyuran udara segarnya. Segera laju “Kijang Jepang” berlari mendaki mengikuti jalanan menuju kawasan Turgo untuk menjelajah bukit yang legendaris itu. Langkah penulis sampai di sini. awalnya memang bermula dari sebuah mimpi, yang kala itu penulis didatangi seorang lelaki sepuh, berparas Timur Tengah, bagai seorang Wali dan beliau bilang, “Sayid Kumiter, datanglah mengemudi ke pertapaan kakek, di sanalah tempat kemulyaan dan kesucian. Ingat Turgo!”

 

Jalan berkabut mulai mendaki, dan melewati kebun salak yang buahnya mulai siap panen. Udara sangat sejuk. Setelah itu barulah sampai di sebuah jalan menurun dan menikung, ternyata ada sebuah jembatan. Kanan-kiri jembatan ada tugu prasasti.

 

Dari kacamata batin yang penulis rasakan, jembatan ini memang ada penunggunya. Ujudnya memang lelaki tua, yang naik seekor naga hitam sangat besar. Beliau memang bernama Ki Suropanggah. Sedang naga itu bernama Naga Kawastu. Berhati-hatilah jika melewati jembatan penghubung Dusun Tritis dan Turgo ini, jangan bicara sembarangan, atau bertingkah yang tak sopan. Sudah sering kali terjadi hal-hal yang di luar rasio di kawasan ini. Alangkah baiknya bila mau melewati Jembatan Suropanggah, terlebih dahulu ‘uluk salam’ (memberi salam).

 

Dari Jembatan Suropanggah, jalan mulai menukik, hingga sampai di tempat parkir yang terletak di kaki bukit Turgo. Jika ingin beristirahat dahulu, bisa menikmati racikan teh atau kopi, khas rasa Turgo, mulai harga Rp 5000 sd Rp 25.000,-. Kehangatannya mampu menyeruak persendian yang atis tersusupi hawa dingin, sungguh nikmat, apalagi bila anda penggemar teh dan kopi, ada rasa khas tersendiri yang tak dijumpai di daerah lain. Di Turgo, selain menyajikan wisata ziarah bukit Turgo yang legendaries, kalau pengunjung mau menyusuri petualangan alami, bisa menyusuri Kali Boyong yang meliuk-liuk indah bagai naga gunung, atau dengan melihat puing-puing rumah penduduk yang dahulunya tertimpa bencana awam panas Gunung Merapi yang ‘njebluk’ tahun 2006. Akan lebih berkesan jika didampingi pemandu yang tau kawasan eksotik di wilayah ini.

 

Labuh Sesaji di Kawasan Metapi

 

Bersama team, penulis memang lebih memfokuskan diri menyusuri jejak-jajah luhur di kawasan ini. Bicara tentang Bukit Turgo, tak bisa dipisahkan dengan mitologi di sekitar Merapi. Dan Mitologi di Kawastu, nama lain Turgo, mempercayai bahwa dulu Pulau Jawa ini diciptakan oleh para Shang Hyang atau Dewa. Sayangnya penciptaan ini miring ke barat, karena di wilayah itu terdapat Gunung Jamurdipa. Atas prakarsa Shang Hyang Krincingwesi, Gunung Jamurdipa akan dipindah ke tengah-tengah pulau Djuwawut. Pada saat bersamaan, di tengah-tengah pulau Djawa, dua orang Mpu kakak beradik, Mpu Rama dan Mpu Permadi, sedang menempa besi untuk dibuat senjata para Dewa. Sudah diperingatkan Dewa lainnya agar berpindah sementara, karena Shang Hyang Krincingwesi sedang dalam perjalanan memindahkan Gunung Jamurdipa, tapi tidak mau mengindahkan. Dan ketika mereka sedang menempa besi di-‘besalen’ yang membara, tiba-tiba Gunung Jamurdipa yang di bawanya dijatuhkan. Maka kedua Mpu kakak beradik itu menemui ajalnya.

 

Untuk memperingati kejadian itu, nama Gunung Jamurdipa diubah menjadi Gunung Merapi, yang berarti tempat ‘perapian’ kedua Mpu tersebut. Ruh kedua Mpu tersebut kemudian menjadi penguasa Gunung Merapi. Dan bentuk Kraton Merapi katanya sama dengan Keraton Kasultanan Yogyakarta saat ini.

 

Kepercayaan Kawastu atau Turgo, ruh warga yang meninggal dengan wajar diperbolehkan tinggal di Keraton Merapi atau boleh juga memilih di Keraton Laut Selatan. Sedang ruh yang mati tidak wajar, seperti dibunuh, kecelakaan, dan lain-lain, tapi sewaktu hidupnya banyak berbuat baik boleh tinggal di luar keraton sebagai abdi dalem. Sedang semasa hidupnya banyak berbuat jahat, ruhnya akan melayang-layang ke barat dan timur. Dan di waktu-waktu tertentu akan menghuni pohon-pohon besar, batu-batu besar, jembatan dan lain-lain. Mereka inilah yang sering mengganggu manusia. Di Keraton Merapi juga selalu diadakan ‘sensus’ penduduk. Ruh-ruh yang sudah selesai menjalani darma di alam ‘pangrantunan’, akan menuju Surga.

 

Berkurangnya penduduk ini akan diisi oleh ruh-ruh yang semasa hidupnya berbuat baik dan mereka yang sudah lama menghuni diluar keraton Merapi. Selain Mpu Rama dan Permadi, penguasa gaib kawasan yang dipercaya penduduk Kawastu di antaranya Nyai Gadung Melati (Menteri Pertanian), Kyai Kartadimedja (Menteri Peternakan), Eyang Sapujagad yang tinggal di Pasar Bubrah dibawah Kawah (MenRisTek), dan Kyai Petruk (Mentri Lingkungan Hidup). Keberadaan mereka diakui oleh pihak keraton dengan setiap tahunnya melakukan upacara Labuh Sesaji di kawasan ini. Sebelum kawasan ini terbentuk menjadi pemukiman penduduk, dahulunya masih berupa hutan belantara yang sangat lebat, sering digunakan untuk menyepi, mengolah batin, orang-orang yang mencari kedekatan diri melalui alam untuk menuju pada Gusti Allah. Salah seorang di antaranya adalah Syech Jumadil Kubro, seorang pemeluk agama Islam yang berasal dari Majapahit. Diperkirakan, beliau datang di Kawastu atau Turgo, sekitar abad ke 14 sd 15 M.

 

Ternyata Syech Jumadil Kubro, menurut legenda di kawasan ini tidak hanya bertapa, tapi malah menetap dengan hidup bertani. Beliau selain terkenal kesholehannya juga kesaktiannya sangat tinggi. Konon setiap Jum’at Kliwon tokoh ini bertemu dengan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1612-1645), dan pertemuan ini diadakan di Kawastu, tempat tinggal Syech Jumadil Kubro. Konon, pada malam Jum’at Kliwon kala itu sering terlihat sebentuk mirip layang-layang yang turun di Gunung Kawastu. Layang-layang itu konon merupakan perubahan bentuk Sultan Agung yang ingin bertemu dengan cikal bakal kawasan Kawastu atau Turgo.

 

Hingga Kini penduduk setempat masih mempercayai kalau Syech Jumadil Kubro dan Sultan Agung Hanyokrokusumo masih melindungi mereka dari bencana alam. Seperti yang dikisahkan Bp Suwito (Mantan Kepala Desa Kawastu), “Syech Jumadil Kubro dan Sultan Agung adalah priyayi agung yang teramat sakti. Meskipun keduanya telah meninggal dunia tetapi mereka akan selalu melindungi dan memberikan kesejahteraan kepada anak cucu. Syech Jumadil Kubro yang dimakamkan di Gunung Kawastu bertugas menjaga sebelah utara agar lahar dan amukan Merapi tidak berani merusak Kawastu dan Mataram. Sedangkan sebelah selatan dijaga Sultan Agung Hanyokrokusumo yang dimakamkan di Imogiri dari bencana yang berasal dari Laut Selatan.”

 

Persepsi Hutan Gamelan dan Hutan Bingungan Di kawasan Kawastu atau Turgo dekat makam Syech Jumadil Kubro, ada pantangan-pantangan yang harus dipatuhi penduduk. Segala tanaman yang tumbuh di sekitar sini tidak boleh sembarang diambil, karena memang sengaja ditanam para dahnyang untuk makanan ternak mereka. Daerah lainnya untuk penggembalaan ternak Merapi di Hutan Patuk Alap-Alap, karena banyak penduduk yang hilang dan sakit misterius di kawasan ini.

 

Juga Hutan Gamelan dan hutan Bingungan sebagai kawasan yang menakutkan dan menyesatkan. Dinamakan hutan Gamelan karena seringkali dari dalam hutan terdengar Suara Gamelan yang ditabuh oleh makhluk halus Merapi. Sedang hutan Bingungan karena orang yang melewati daerah ini akan menjadi bingung tidak dapat menemukan arah untuk kemHutan angker lainnya adalah hutan Pjjen dan Blumbang.

 

Hutan ini sering menyesatkan orang karena sering terdengar suara orang memanggil-manggil namanya bagi orang yang lewat atau merumput di sini. Apalagi hutan Blumbang, karena di sini juga dihuni macan gaib Merapi peliharaan Eyang Merapi. Selain itu yang dianggap sacral, penduduk Kawastu pantang merumput di sekitar Belik Cuwuk dan Telawak, karena vegetasi di sekitar situ milik makhluk halus penguasa setempat.

 

Untuk mengawali langkah mendaki Bukit Turgo yang terletak di ketinggian 1000 m dpl ini, maka mulailah menyusuri jalan setapak.

 

Di dasar bukit ada semacam ompak batu persegi empat, dengan ukuran 20x20cm. Terlihat bunga segar masih tertumpuk di tempat ini. Memang secara fisik terlihat hanya batu ompak kecil, tapi secara spiritual️ ini adalah gapura menuju ke Pesanggrahan Syech Jumadil Kubro yang Agung itu. Bentuk bangunannya secara gaib terlihat seperti gapura Majapahit, hanya lebih kecil saja. Yang membedakan di tengah gapura tertulis huruf-huruf hijaiyah. Yang menjaga tempat ini bernama Mbah Santri Ponowalen. Orangnya sepuh, sangat sopan, dengan memegang tongkat, karena badannya agak bongkok.

 

Gua Jepang di Puncak Bukit Turgo

 

Barulah mulai mendaki bukit ini. Jangan pernah bayangkan kalau jalan setapak di sini sudah di buat undakan atau cor semen. Masih berupa jalan tanah, yang kalau hujan sangat licin. Juga banyak tambang (tali) di sepanjang jalan sebagai alat bantu pendakian. Bagi orang kota yang jarang melakukan pendakian akan sangat menyulitkan di hadapkan medan seperti ini. Bukit Turgo memang unik, selintas sudah sampai di puncak, ternyata masih jauh, karena ada 3 punggung yang harus dilewati. Di ketinggian ini, melihat mobil yang di parkiran seperti sebuah ‘titik’ saja, apalagi di sampingnya jurang Kali Boyong terlihat menganga siap menerima siapa saja yang terjun di bawahnya. Mengerikan, namun eksotis untuk dinikmati.

 

Jangan merasa sudah sampai di puncak Bukit Turgo ini, kalau belum melewati terowongan yang di sebut Gua Jepang. Ya, terowongan yang memang sengaja dibuat oleh pasukan Jepang, Kala itu dipergunakan untuk menjadi menara pengawas untuk kawasan Jogja. Panjang terowongan ini kurang lebih 8 meteran menembus punggung bukit.

 

Menurut penulis, terowongan ini banyak dihuni lelembut berjenis Banaspati, yaitu makhluk halus berbentuk bola api yang kadang sering muncul dari tanah yang retak tiba-tiba bola api ini kemudian membesar dan membentuk bola api, tapi kadang berbentuk ular berkepala manusia yang menjulurkan lidah apinya untuk memnghisap tubuh manusia ke dalam bumi. Makhluk ini ada di tempat-tempat angker.

 

Kalau tidak mau melewati Gua Jepang, bisa menempuh jalan satunya, tapi lebih curam dan terjal, agak berbahaya bila baru awal berkunjung ke tempat ini. Setelah melewati Gua jepang, hanya beberapa meter saja akan sampai di puncak bukit. Tiga meter sebelum sampai puncak bukit, di sebelah kiri ada serumpun bambu kuning yang menutup, menjadi peneduh seperti membentuk mulut gua.

 

Tempat ini menurut penulis banyak dihuni makhluk halus berjenis wewe. Ia adalah lelembut berkelamin wanita yang suka menculik, memiliki buah dada besar menjulur ke bawah hingga di perut, berambut terurai panjang tak teratur, dan biasanya mengenakan kain panjang sebatas perut. Ia juga pandai ‘memba’ (merubah ujud) seperti mengelabuhi orang yang akan diculiknya. Tapi biasanya orang yang menjadi korban penculikan wewe ini merasa diajak saudara atau kerabatnya ke tempat-tempat tertentu yang sudah dikenalnya. Orang yang diculik wewe akan mengalami kelainan jiwa, sakit atau bahkan meninggal.

 

Di rumpun sekitar rumpun bambu itu pernah ada penduduk setempat yang diculik oleh wewe, seperti apa yang diterangkan oleh Sirad, petani Kawastu, “Dulu pernah terjadi seorang penduduk, keluarga dekat pak Dukuh, diculik wewe selama 3 hari 3 malam. Orang itu bernama Mbok Ono Idu. Dikala Maghrib, ia merasa diajak seorang tetangga ke pasar melewati jalan aspal. Karena ia sudah berkeluarga, keluarganya menjadi bingung dan khawatir. Mereka kemudian melapor pak Dukuh tentang hilangnya Mbok Ono Idu ini. Segera orang-orang mencari ke hutan, jurang dan sungai. Akhirnya Mbok Ono Idu diketemukan dalam keadaan bingung dan bisu, duduk kelelahan di tebing barat makam Syech Jumadil Kubro. Mbok Ono Idu kemudian terserang penyakit misterius, sakit pikiran, dan kemudian meninggal.”

 

Wewe selain menculik orang dewasa, juga suka menculik anak-anak. Mereka yang diculik akan dijepit di ketiaknya, dibawa keluar desa dan biasanya ditempatkan di dahan yang tinggi. Salah satu kegemaran makhluk penculik manusia ini suka menjemur celana dalamnya (popok) terbuat dari robekan kain panjang, di atas dahan pohon beringin di pagi hari. Jika seseorang dapat mencuri celana dalam wewe yang sedang dijemur itu, ia akan menjadi sakti dan dapat berkomunikasi dengan makhluk halus lainnya.

 

Barulah langkah selanjutnya berada di puncak bukit Turgo. Di puncak Turgo terdapat bangunan menyerupai makam berwarna pink dan lantai dari keramik hitam yang sudah mulai retak-retak. Pada sisi utara bangunan ini terdapat silsilah yang menyatakan bahwa Syech Jumadil Kubro merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW di generasi ke 7.

 

Silsilah papan itu sebagai berikut:

1. Sayidinnah Muhammad Rasullulah,

2. Binti Fatimah,

3. Sayidinnah Khusan,

4. Sayidinnah Zainal Abidin, 5. Sayed Zainal Kubro,

6. Sayid Zainal Khusan,

7. Syech Maulana Muhammad Jumadil Kubro.

 

Di bawah prasasti tertulis, Dibangun oleh Keluarga H M Basri – Turgo – Sabtu Paing, 11 Maret 2000.

 

Tokoh Syech Maulana Muhammad Jumadil Kubro atau lebih dikenal dengan sebutan Syech Jumadil Kubro, sering disebut sebagai tokoh awal penyebar agama Islam di Bumi Djawa. Beliau dinyatakan banyak sejarawan berasal dari Asia Tengah. Setelah menetap di Turgo, beliau akhirnya oleh warga setempat dikenal dengan sebutan Kiai Turgo. Dari beberapa pakar sejarawan tidak ada bukti kuat kalau bukit Turgo ini merupakan makam Syech Jumadil Kubro. Pasalnya selain di Bukit Turgo, ada juga yang dinyatakan sebagai makam beliau yaitu terdapat di Jl Yos Sudarso No.1, Kalurahan Terboyo, Kecamatan Genuk, Kabupaten Semarang dan ada juga di kawasan Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur.

 

Ada pendapat lain yang menyatakan kalau Syech Jumadil Kubro ini nama samaran dari Pangeran Blancak Ngilo, putra Prabu Wonolelo, dan cucu dari Raja Brawijaya V, yang menyingkir ke barat, kala Majapahit hancur diserbu pasukan Demak. Pengungsiannya hingga sampai di daerah Taji Prambanan dan beliau merubah namanya menjadi Ki Agen Karang Lo, setelah di-Islamkan oleh Sunan Kalijaga.

 

Ada kerancuan cerita babad dan tutur di sini bila ditilik tahun kelahiran masing-masing. Syech Jumadil Kubro diperkirakan hidup sejaman dengan Maha Patih Gajahmada, bahkan banyak yang menduga beliau juga ikut hadir ketika Mahapatih Gajah mada bersumpah Hamukti Palapa, semasa pemerintahan Prabu Hayamuruk. Sedang Pangeran Biancak Ngilo adalah putra Prabu Wonolelo, yang berarti cucu Prabu Brawijaya V. la hidup semasa dengan Ki Ageng Pemanahan, yang merupakan ‘Mbah Buyut’-nya Sultan Agung Hanyokrokusumo. Bahkan kalau merunut Asal-Silah Warni-Warni karya Bray Brotodiningrat, jauh sekali rentang hidup antara Syech Jumadil Gubro dengan Pangeran Blancak Ngilo.

 

Bukit Turgo ini menurut penelusuran batin penulis bukanlah makam dari Syech Jumadil Kubro, tapi lebih tepatnya pertapaan beliau, yang kala itu resah melihat amukan Gunung Merapi yang sering memporak-porandakan kawasan Kawastu. Akhirnya oleh raja Majapahit, diutuslah Syech Jumadil Kubro, karena terkenal kesaktiannya dan sangat dipercaya orangnya, untuk menenangkan amukan Gunung Merapi. Beliau yang terkenal sholeh dan sangat sakti ini akhirnya membuat ‘tumbal’ untuk keselamatan warga Kawastu.

 

Dan tumbal itu ditanam di Bukit Kawastu. Setelah itu beliau mengembara lagi, mungkin sampai Semarang, terus kembali lagi ke Trowulan, hingga akhir hayatnya. Beliau wafat tahun 1379 M (15 Muharram 797 H). Letak makam beliau di Troloyo berada di tempat khusus, menunjukkan kedekatan beliau dengan para tokoh Majapahit yang beragama Hindu. Makamnya berada satu lokasi dengan tokoh-tokoh Majapahit seperti KR Kenconowungu, Putri Anjasmara, Tumenggung Satim Singhomoyo, Sunan Ngudung (Ayah Sunan Kudus). Syech Jumadil Kubro dinyatakan sebagai kakek Raden Rachmad (Sunan Ampel) dan Buyut Raden Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Sedang Pangeran Blancak Ngilo, yang hidur sejaman dengan Ki Ageng Pemanahan, dan menjadi penasehat Panembahan Senopati, memiliki rentang waktu hidup yang cukup panjang dengan Syech Jumadil Kubro.

 

Sepertinya mereka sosok yang berbeda. Hanya keduanya pernah menjadi pertapa di Bukit ini. Pangeran Blancak Ngilo yang kemudian bergelar Ki Ageng Karang Lo, setelah memilih tidak membunuh bayi laki-laki yang lahir dari rahim Ratu Pembayun. Beliau juga menyingkir dari intrik politik kotor, dan memilih menjadi pertapa di Bukit Kawastu. Untuk menyamarkan dirinya, beliau berganti nama menjadi Ki Ageng Turgo, dan Bukit Kawastu diubah namanya menjadi Bukit Turgo. Sepertinya beliau menjadi pertapa di sini hingga akhir hayatnya, kemungkinan besar yang dimakamkan di sini Pangeran Blancak Ngilo, ya, Ki Ageng Karang Lo, dan juga Ki Ageng Turgo. Dan menurut bahasa batin penulis, Ki Ageng Turgo ini telah menguasai ilmu Pangracutan, sehingga ketika wafat, mokhsa, beserta raganya di bukit ini.

 

Pendapat penulis ini dikaitkan dengan pertemuan dengan Sultan Agung Hanyokrokusumo, yang sering datang berguru ke sini, guna mempelajari Ilmu Pangracutan dari Ki Ageng Turgo. Usia beliau dikenal sangat panjang, seperti usia gurunya, Sunan Kalijogo, yang lebih dari 150 tahun. Tentang usia panjang ini, penulis pernah bertemu dengan Kiai Bok Bolang yang berusia 160 th, namun fisiknya baru seperti 60 tahun saja dan masih kuat mencangkul. Di Lawu pernah ketemu Mbah Ali Kutukan, usianya 111 th, seperti orang berusia 60 tahun saja. Beliau masih kuat mendaki di puncak Lawu dan keanehan orang ini tiap harinya hanya minum minuman ‘suplement’ yang sehari bisa habis 20 botol tanpa makan. Juga Eyang Hatma meninggal di usia 115 tahun kemaren.

 

Saat sedang khusuk panjat doa di sini, diterik panas matahari yang menyengat itu, tiba-tiba ada perubahan alam yang aneh, langit menjadi mendung dan muncul siluet bayangan kakek-kakek yang setahun lalu pernah menjumpai penulis. la mendekat dan mencium kening dan berucap, “Akhirnya, engkau datang juga, sudah lama leluhurmu ini menunggumu.” Setelah itu hilang bersama mendung aneh yang menggelayut di Bukit Turgo, lalu yang tertinggal hanya silaunya kilau cahaya matahari. Entah kenapa air mata ini mengucur tanpa bisa terbendung, seperti lama tak bertemu seorang kakek.

 

Menurut hemat penulis Syech Jumadil Kubro, pernah bertapa dan menumbali bukit ini untuk membendung keganasan Gunung Merapi jika meletus agar laharnya tak menyemprot ke kawasan ini. Cukup lama menetap di sini, akhirnya beliau dikenal dengan nama Ki Ageng Kawastu. Setelah itu hijrah ke Semarang untuk dakwah Islam lagi. Sedang Ki Ageng Karang Lo, adalah Pangeran Blancak Ngilo, yang lebih memilih menghindari ‘Intrik’ kekuasaan diawal berdirinya Mataram Islam.

 

Di sini beliau akhirnya menjadi pertapa dan terkenal dengan nama Ki Ageng Turgo. Karena ketinggian ilmunya, menyebabkan Kangjeng Sultan Agung bersedia berguru padanya, seperti halnya yang dilakukan pada Eyang Pangeran Cinde Amoh, yang dikatakan banyak versi sebagai wong ‘ngarit’ rumput saja. Jadi bukit ini pernah disinggahi dua tokoh sakti pada masanya, yang kemungkinan besar, jauh sebelumnya pernah juga digunakan oleh tokoh-tokoh masa lalu sebelum beliau berdua.

 

Pada saat penulis ke Bukit Turgo ini, pas bulan Ruwah, sehingga banyak sekali para peziarah yang datang mendaki ke Bukit Turgo. Ada keanehan sewaktu penulis dan tam menuruni Bukit Turgo. Seperti biasa bila ketemu sesama peziarah saling berjabat tangan dan uluk salam. Tapi ketika bertemu rombongan kasepuhan, mungkin guru para pastry tersebut, mereka mencium tangan penulis dengan penuh hikmat. Hal ini terjadi lebih dari 3 kali, dan hanya dilakukan oleh para kasepuhan. Sampai-sampai Koh Mbing, sepupu penulis heran, “Siapa para sesepuh tadi, mas, kok, mencium tangan sampeyan begitu hormatnya?” Dengan jujur aku jawab, “gak tau!”

 

Dan peristiwa seperti itu memang sering kali terjadi ketika melakukan perjalanan spiritual di berbagai petilasan leluhur masa lalu. Dan justru yang berperilaku seperti itu, mereka-mereka yang sudah sepuh. Namun secara jujur, aku benar-benar tidak tahu, kenapa beliau-beliau yang seharusnya aku cium tangannya justru memperlakukan penulis sebaliknya?! Biarlah ini menjadi rahasia hidup dan hanya Allah lah yang Maha Tahu. Wallahu a’lam bissawab. ©️KyaiPamungkas.

Paranormal Terbaik Indonesia

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.

Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)

NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)

NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)

WEBSITE: paranormal-indonesia.com/
(Selain web di atas = PALSU!)

NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)

ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)


Related posts

Kisah Mistis: HARTA GAIB GUNUNG SALAK

Kyai Pamungkas

Kisah Client Kyai Pamungkas: Khodam Ikut Hadir di Hongkong

Kyai Pamungkas

Kisah Mistis: JUMENGAN SULTAN KRATON PAJANG, DIHADIRI DUTA RATU PANTAI SELATAN

Kyai Pamungkas
error: Content is protected !!