Cerita Featured Kisah Kyai Pamungkas Uncategorised Uncategorized

Kisah Kyai Pamungkas: ILMU TITISAN RATU BUAYA

Kisah Kyai Pamungkas: ILMU TITISAN RATU BUAYA

Dalam mimpi aku mendapat wangsit. Utusan ratu buaya itu menyatakan, Kasdulah, putraku terpilih untuk mewarisi ilmu titisan kakeknya. Ah, tak bisa kubayangkan, setelah dewasa kelak, putraku yang berwajah tampa itu akan menjadi buaya…

 

Tanggamus 1969, lebih kurang lima puluh kilometer dari kabupaten Tanggamus, terdapat desa terpencil bernama Ceiherang. Penduduknya sebagian besar adalah petani, tidak aneh jika pemandangan di sana masih terlihat asri, terutama daerah Talang Padang. Padi menguning kala panen tiba, bukit-bukit tinggi menambah keindahan panorama. Namun, di balik keindahan itu, tersimpan suatu misteri.

 

Tersebutlah salah seorang penduduk kampung Sinar Banten bernama Mang Sali. Meski sudah berumur 55 tahun, lakilaki ini baru berputra satu. Kasdulah, demikian nama putranya, berumur 5 tahun. Sehari-hari kerja Mang Sali hanya memancing ikan di sungai-sungai. Sebagian hasilnya dimakan sendiri, sebagian lagi dijual.

 

Bersamaan suara kokok ayam, Mang Sali selalu bangun dari tidurnya. Sementara itu, isterinya telah siap membungkus nasi serta lauk-pauk untuk bekal suaminya mencari ikan.

 

“Abah, Dulah ikut, ya!” rengek anaknya suatu hari, seraya menggosok-gosok matanya yang masih lengket.

 

“Jangan, Nak! Tugas Dulah kan menggembala kambing,” Mak Entin membujuk anaknya, yang memaksa ikut memancing bersama ayahnya.

 

“Iya, kalau Dulah ikut, siapa yang menggembalakan kambing?” ayahnya menimpali.

 

“Kan ada Emak!” kata Kasdulah, lalu dengan cepat ia meraih ransel rombeng tempat nasi.

 

Keinginan bocah itu tak dapat dibendung lagi. Akhirnya, mereka pergi ke kali Tebu Lawas melewati jalan setapak Pangpangan, di tengah ladang palawija. Kadang-kadang Kasdulah meringis kesakitan, karena kakinya menginjak duri rumput malu, yang tumbuh berserakan menyilang di jalan setapak itu. Setelah melewati kampung Bayas, memakan waktu tiga puluh menit, sampailah mereka di pinggir kali Tebu Lawas. Airnya cukup bening mengalir ke Desa Gistang. Di sana Mang Sali bersama anaknya memancing, duduk di atas batu besar.

 

Berkali-kali Mang Sali melempar dan menarik pancingnya, namun tak seekor ikan pun menyangkut di mata kailnya. Jangankan menyangkut, diendus pun tidak. Kesal ia jadinya.

 

“Huh, pada kemana nih ikan?” Mang Sali menggerutu sambil mengambil sesuatu dari saku baju pungsi hitamnya.

 

Sekejap kemudian Mang Sali menyalahkan api di atas sabut kelapa yang berserakan di situ, sementara bibirnya berkomat-kamit membaca mantera. Bau wangi kemenyan berbaur dengan wangi sungai, mengelus wajah Kasdulah yang terkantuk-kantuk. Rupanya Mang Sali mengeluarkan jampi supaya penghuni sungai berkenan memberikan ikan kepadanya.

 

Lama juga ia terpejam mengumpulkan konsentrasi, berkomunikasi dengan penunggu sungai itu. Usai bersemedi, kembali Mang Sali melemparkan pancingnya, dengan harapan ia akan mendapatkan ikan untuk dibawa pulang. Akan tetapi rupanya hari itu memang hari sial baginya. Meski berkalikali melempar, menarik pancing, hanya umpan yang ada. Ia lalu bangkit dari duduknya, dengan gusar pancing itu dipatahkannya. Tinggal satu joran keburu ia ditarik Kasdulah, yang terbengong-bengong melihat tingkah ayahnya.

 

“Kok, dipatah-patahkan jorannya, Bah?” Kasdulah bertanya polos. Mang Sali tidak menjawab, rona wajahnya memerah menandakan kemarahan.

 

“Setan! Iblis! Mengapa hari ini nasibku sial sekali?” gerutunya lagi, sambil melempar umpan nasi sisa makan mereka tadi.

 

Kemudian Mang Sali membenahi alat-alat pancingnya, hendak pulang. Akan tetapi, baru saja ia bangkit, tiba-tiba matanya terperanjat, menatap lurus ke pinggir kali. Terlihat seekor anak buaya meronta-ronta, terjepit akar pohon mahoni. Dengan cekatan ia turun membebaskan anak buaya itu. Ketika akan melemparkan kembali ke sungai, Kasdulah berteriak memohon, supaya anak buaya itu boleh dipeliharanya. Untunglah belum jadi dilempar oleh Mang Sali. Kalau sudah, tentu anaknya akan menangis minta dicarikan lagi.

 

“Hore… hore… Dulah punya anak buaya!” Anak itu melompat-lompat gembira, sambil menimangnya.

 

“Jangan keras-keras menimananya, Dul, nanti mati!” Mang Sali mengingatkan anaknya.

 

Sungguh aneh, anak buaya itu tidak meronta di tangan Kasdulah, bahkan. matanya yang sipit menatap Kasdulah dengan pancaran persahabatan.

 

Seminggu telah berlalu, Mang Sali heran, melihat anaknya sehari-harian selalu bermain dengan anak buaya itu. Ia tak lagi menghiraukan teman sebayanya, bahkan seakan juga tak pernah merasa lapar. Perhatiannya hanya tertuju kepada anak buaya itu. Dan tanpa disadarinya, sejak kehadiran anak buaya itu, hasil memancing Mang Sali semakin melimpah ruah.

 

Pada suatu malam Jumat Kliwon, Mang Sali bermimpi didatangi seorang laki-laki tua, yang mengenakan pakaian dari kulit buaya.

 

“Hai Sali, atas izin ratu kami, malam ini ilmu titisan kakeknya akan mulai menitis ke tubuh anakmu, Kasdulah! Mau tidak mau, kau harus menerima kenyataan ini,” kata orang tua dalam mimpinya itu. “Tetapi, kenapa harus anakku?” Mang Sali tersentak.

 

“Perlu kau camkan, jangan sekali-kali anakmu dibiarkan bermain di sungai. Sebab, jika kulitnya tersiram air sungai, maka tubuhnya seketika akan berubah wujud menjadi buaya, sebelum waktunya tiba.” Orang tua itu lalu lenyap, ditelan teriakan Sali yang terjaga dari tidurnya. Isterinya dengan cepat terbangun, kemudian mengusap mata Mang Sali yang masih melotot seperti orang kesetanan. Setelah sadar, ia menceritakan mimpinya itu. Mak Entin turut tertegun, mendengarkan kisah suaminya itu. Matanya jadi berkaca-kaca tatkala menatap Kasdulah, yang tengah terbaring di atas tikar usang, berdampingan dengan baskom berisi air dan anak buaya itu. “Pokoknya besok si Dulah harus membuang anak buaya itu!” cetusnya, cemas. “Ya, besok Abah akan menyuruh dia membuangnya, sekarang tidurlah!” Mang Sali menyetujui permintaan istrinya.

 

Pagi-pagi sekali Kasdulah sudah bangun. Seperti biasa, ia langsung memandikan anak buaya itu di baskom. Sementara, mimpi itu masih menggelayuti pikiran Mang Sali. Ia menatap punggung anaknya dengan pandangan penuh iba. Perlahan-lahan ia mendekati Kasdulah. “Dul, Bapak beli baju baru untukmu!” Mana Sali membohongi anaknya.

 

“Betul, Bah?” Seru Kasdulah seraya bangkit.

 

“Betul, tapi ada syaratnya, kalau Dulah mau?”

 

“Apa syaratnya, Bah?” tanya Kasdulah sambil menyimpan sahabat barunya ke dalam baskom.

 

“Dulah harus membuang anak buaya itu!” bujuk Mang Sali. “Nanti kalau anak buaya itu sudah besar, dia bisa menggigit kamu!”

 

“Ah tidak, dia baik kok, sama Dulah,” bantahnya sambil kembali menghampiri baskom.

 

“Dulah mau baju baru atau anak buaya?”

 

“Dua-duanya, Bah!” jawabnya Dullah.

 

“Baiklah, baju barunya akan Abah jual lagi!” Mang. Sali pura-pura hendak pergi, dengan harapan Kasdulah mau membuangnya.

 

“Nanti dulu, Bah! Dulah mau membuangnya! Tapi kalau sudah gede, Dulah boleh bertemu lagi kan dengan buaya ini?”

 

Hati Mang Sali berdegup kencang, mendengar kata anaknya. Bertemu lagi? Hatinya mengulangi ucapan anaknya itu. Mengapa dia seperti telah berfirasat! Ah, mungkin hanya kebetulan saja. Sebab, terlalu lama bersahabat, membuat anak itu merasa kehilangan.

 

Mang Sali senang melihat anaknya mau melepaskan anak buaya itu. Namun, tiba-tiba pesan dalam mimpi itu kembali datang menyusupi hatinya. Meskipun ia tak percaya, tapi kekhawatiran tetap tersisa di dalam kalbunya.

 

“Jangan, Dulah, biarlah Abah yang membuangnya,” kata Mang Sali, menahan anaknya yang akan melangkah menuju ke kali Oyot Sepuh. Kasdulah memberikan anak buaya itu kepada ayahnya. Mang Sali baru melihat bahwa ekor buaya itu telah dibuntungi anaknya. Tapi ia tak peduli, yang penting secepatnya memenuhi kehendak isterinya.

 

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun. Kini, lima belas tahun telah berlalu sejak anak buaya itu ditemukan dan dibuang. Kasdulah telah tumbuh menjadi seorang pemuda gagah, tampah, ramah, dan sopan. Sayang, ada satu sifatnya yang kurang baik, yaitu suka mempermainkan para gadis. Lima belas anak perawan telah menjadi korban permainan cintanya. Mang Sali, yang kini semakin tua renta, merasa kurang senang atas kelakuan anaknya.

 

Sementara itu, Desa Bayas Keteguhan kala itu ada seorang laki-laki tua bernama Aki Jakir. Ia terkenal sebagai dukun teluh. Sudah tak terhitung jumlah korbannya. Baik itu atas kehendak dirinya sendiri, karena dendam, maupun atas suruhan orang lain yang membayarnya. Ketika itu ia sedang murka kepada Kasdulah, setelah mendapat pengaduan dari anak gadisnya, yang sakit hatinya karena dipermainkan oleh Kasdulah.

 

“Setan gundul! Rasakan pembalasanku bocah sombong!” maki Aki Jakir di dalam kamar khususnya. Sekejap kemudian asap kemenyan menyelubungi kamar itu. Maka, diambilnya sebuah benda mirip boneka yang terbuat dari tanah merah liat serta jarum kecil di tangan kanannya. Dan mulailah ia bekerja, mengguna-gunai Kasdulah, untuk melampiaskan sakit hati anaknya.

 

Sementara itu, Kasdulah sedang meraut joran dengan pisau raut kepunyaan ayahnya. Sedang asyiknya meraut, tiba-tiba pisaunya terlempar keras. Bumi yang dipijak seakan-akan digoyang gempa. Dari sebelah Barat tampak seberkas cahaya bundar berwarna kekuning-kuningan menyambar wajahnya.

 

Tanpa disadarinya, tangan Kasdulah serentak terangkat, menolak ke arah datangnya sinar itu. Kasdulah sendiri merasa heran bercampur kagum, melihat sinar itu langsung lenyap dihantam tenaga batinnya. Ia tidak menyadari bahwa ilmu titisan yang telah meresap kedalam dirinyalah, yang telah menyelamatkan jiwanya dari guna-guna Aki Jakir.

 

Setelah terbebas dari serangan mendadak itu, Kasdulah melenggang seenaknya masuk ke dalam rumah, membawa joran pancingnya.

 

Pada suatu hari Jumat Kliwon tahun 1984, Mang Sali bimbang mendapatkan anaknya tidak ada di rumah, tidak ke sawah atau ke ladang. Ketika dia bertanya kepada isterinya, Mak Entin malah balik bertanya. Akhirnya kedua kakek nenek itu mencari ke tempat anaknya sering bermain bersama temantemannya. Tetapi ternyata hanya sia-sia saja, karena para tetangganya tak ada yang mengetahui di mana keberadaan Kasdulah saat itu.

 

Di tengah jalan menuju pulang, seorang pemuda memberitahu, bahwa Kasdulah memancing bersama kekasihnya di sungai Oyot Sepuh. Jantung Mang Sali terguncang hebat, hatinya merasakan resah yang teramat sangat. Apakah hari ini hari terakhir bagi Kasdulah di alam manusia?

 

“Tidak! Aku masih ingin melihat anakku, tidur tergolek di balai-balai dengan kaki menjulur. Aku juga masih ingin ditemaninya mencangkul di kebun. Tidak! Aku tidak boleh membiarkannya menyentuh air sungai Oyot Sepuh.” Begitu suara hati Mang Sali sambil berlari, menapaki jalan berbatu menuju ke sungai Oyot Sepuh, yang jaraknya cukup jauh bagi sepasang kakek dan nenek. Mereka berjalan setengah berlari, terseok-seok di antara jalan berbatu dan ditatap heran oleh orang-orang yang berselisih jalan.

 

Saat itu Kasdulah sedang asyik bercakap-cakap dengan kekasihnya, duduk berdua dipinggir kali Oyot Sepuh. Lalu mereka pindah ke muara yang airnya bening kebiru-biruan, menandakan sungai itu cukup dalam. Lima belas ikan emas dan ikan lele telah didapatnya. Mata Kasdulah tajam memandang air bening itu.

 

“Kang, asyik benar mancingnya, sampai-sampai saya tidak dihiraukan,” kata kekasihnya dengan manja, merayu, merebahkan kepalanya di pundak Kasdulah.

 

“Ah, kamu bisa saja, Nur. Akang cuma tertarik dengan air itu, seperti mutiara,” sahut Kasdulah seraya menarik pancingnya. Satu ekor lagi ikan menyangkut di mata kailnya.

 

“Kang, kita pulang yuk!” ajak sang kekasih.

 

“Nanti dulu, lagi asyik nih!” sergah Kasdulah sambil mencium pipi gadis bernama Nurhayati itu. “Tunggu sebentar, aku jadi ingin mandi,” Kasdulah seraya bangkit dari duduknya, lalu membuka bajunya.

 

Sekejap kemudian… byur! Tubuh Kasdulah telah mencebur ke air sungai. Bersamaan dengan itu, suara jeritan

 

ayah dan emaknya memanggil Kasdulah dengan suara bersahut-sahutan. Mang Sali pingsan seketika, begitu mengetar Kasdulah tak nongol-nongol lagi dari dalam sungai. Tubuh Nurhayati pun k lungiai, tak sadarkan diri. Begitup dengan Mak Entin. Batin mereka beg terpukul melihat kenyataan tragis d. ajaib itu.

 

Tak lama kemudian, setelah Mang Sali siuman, tubuh Kasdulah munrul kepermukaan, tetapi telah berganti rupa menjadi seekor buaya dewasa, bersisik keperak-perakan. Buaya jelmaan Kasdulah itu bertopang di atas batu kali. Matanya berkaca-kaca menatap Mak Entin, yang tampak lebih tabah di banding suaminya. Mak Entin lantas menghampiri buaya itu, mencium pipinya dengan deraian air mata yang membasahi sisik kepala anaknya.

 

Beberapa detik kemudian, Mang Sali dan Nurhayati kembali sadar. Gadis berkulit kuning langsat itu langsung menciumi kepala kekasihnya. Sejenak buaya itu menatap ketiga orang yang sangat dicintainya itu, sebelum akhirnya ia menyelam diiringi hujan air mata ketiga orang yang mengasihinya. Ya, Kasdulah memulai kehidupan baru, kehidupan di alam buaya. Terdengar ratap pilu kekasih Kasdulah.

 

“Wilujeng angkat dunungan! Wilujeng di kahirupan lain! Abdi bakal satia kadunungan! (Selamat jalan sayang! Selamat Jalan di kehidupan baru! Aku akan setia kepadamu).”

 

Sebulan setelah kejadian itu, Mang Sali meninggal dunia akibat tekanan batin. Sementara itu, Nurhayati, Kasdulah pergi tak tahu rimbanya. Entah kemana, tak ada seorang pun yang tahu. Yang pernah mereka dengar dari Mak Entin, Kasdulah suatu malam datang dalam mimpinya.

 

“Mak, jika Emak ingin berjumpa dengan Dulah, tepuklah air Sungai Oyot Sepuh tiga kali, pasti Dulah akan muncul menemui Emak!”

 

Tidak heran, jika setiap hari Jumat, Mak Entin suka pergi ke muara kali Oyot Sepuh, dan pulangnya membawa ikan cukup banyak. Penduduk di sana menamakan buaya itu dengan sebutan Buaya Dulah. Dia termasuk buaya budiman, sebab telah sering kali menolong orang yang tenggelam di sungai Oyot sepuh, dengan cara mendorongnya ke tepi sungai dengan kepalanya. Sedangkan buaya buntung teman Kasdulah dahulu, kini berada di sungai Seberu, di daerah Kota Agung.

 

Pengalaman misteri yang mengharukan ini dialami sendiri oleh Entin Sukesih, ibunda Kasdulah. Wallahu a’lam bissawab. ©️KyaiPamungkas.

Paranormal Terbaik Indonesia

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.

Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)

NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)

NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)

WEBSITE: paranormal-indonesia.com/
(Selain web di atas = PALSU!)

NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)

ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)


Related posts

Ngaji Psikologi Bersama Kyai Pamungkas: Temukan Luar Biasa dari Hal Biasa

Kyai Pamungkas

Kisah Kyai Pamungkas: HANTU PENUNGGU TOILET PLAZA

Kyai Pamungkas

Sex Education with Kyai Pamungkas: PENGARUH UKURAN MR. P BAGI HUBUNGAN SEKSUAL

Kyai Pamungkas
error: Content is protected !!