Kisah Kyai Pamungkas: LEGENDA GAJAH PUTEH, LINGE, GAYO, ACEH
Akibat fitnah yang keji, ia pun terusir dari kerajaan dan bertapa di tengah pekatnya rimba belantara agar dirinya berubah menjadi gajah putih dengan harapan bisa kembali dekat dengan keluarganya…
Warta berkisah, pada suatu zaman, di negari Antara, hidup seorang pemuda yang merupakan anak dari Raja Linge. Sangeda, demik an nama pemuda yang sopan, rendah hati dan penyabar yang disayangi oleh keluarga dan juga rakyat negeri itu.
Menurut tutur, sejatinya, Sangeda masih memiliki seorang kakak yang bernama Bener Meriah. Namun, akibat fitnah yang keji, sang kakak pun terusir dari kerajaan dan ia bertapa di tengah-tengah pekatnya rimba belantara seraya memohon kepada Allah SWT agar dirinya diubah menjadi Gajah Putih dengan harapan bisa dekat lagi dengan seluruh keluarga yang dicintainya.
Waktu terus berlalu. Pada suatu malam, tak seperti biasanya, kali ini, ia bermimpi melihat seekor Gajah Putih yang mengamuk dan nyaris menghancurkan seisi Kerajaan Linge. Tetapi entah kenapa, tiap ia menatap mata sang gajah, terbersit perasaan aneh. Akhirnya, Sangeda pun sadar, Gajah Putih itu pasti adalah penjelmaan sang kakak, Bener Meriah. Masih dalam mimpinya, ja juga berjumpa dengan gurunya yang mengajarkan suatu cara menjinakkan gajah tanpa harus membunuhnya.
Ketika Sangeda terbangun dari tidurnya, berkat kecerdasannya, maka, ia mampu menghafal segala gerakan yang diajarkan oleh sang guru di alam mimpi. Mulanya mirip dengan gerakan bela diri seperti yang pernah dipelajarinya dengan mendalam ketika di Bukit Belang Gele. Akan tetapi, semakin lama bergerak, tampak ia seolah sedang menari. Dan pada akhirnya, tarian ini lebih dikenal dengan sebutan Tari Guel.
Esoknya, di Kerajaan Linge, terjadilah kehebohan yang luar biasa. Seekor Gajah Putih mengamuk di alun-alun. Tak ada seorang pun yang tahu dari mana gajah itu berasal. Sontak, para penduduk pun melempari sang gajah putih dengan bebatuan dan benda-bena keras lainnya. Alih-alih takut, sang gajah malah kian mengamuk hingga keingaran yang terjadi di alun-alun terdengar sampai ke istana.
Sang Raja pun bertanya, “Wahai hulubalang, apa yang terjadi di luar sana?” Dengan takzim, hulubalang pengawal sang raja pun menjawab: “Mohon ampun Tuanku, hamba akan mencari tahu terlebih dahulu”. Sang Raja mengangguk dan hulubalang itu dengan cepat segera keluar untuk mencari tahu. Dan tak berapa lama kemudian, ia sudah kembali dan mmenghaturkan sembah sambil berkata, “Ampun Tuanku, seekor gajah putih sedang mengamuk di alun alun. Para hulubalang dibantu dengan masyarakat sedang berusaha untuk menangkapnya. Sejenak raja mengerutkan dahi sedang berpikir. Dan tak lama kemudian, terdengar suaranya: “Panggil pawang dan orang-orang sakti untuk menjinakkannya.”
“Hamba Tuanku,” sahut sang hulubalang yang segera keluar untuk melaksanakan tugasnya.
Tapi apa yang terjadi, walau seluruh pawang dan orang sakti yang mukim di negara itu telah dipanggil, tetapi, sang Gajah Putih tetap saja mengamuk, mengamuk dan terus mengamuk serta menghancurkan apa yang ada di dekatnya. Boleh dikata, seluruh senjata tajam dan beragam ilmu kesaktian tak ada yang mampu untuk menundukkannya…!
Melihat keadaan itu, hati Sengeda pun terharu. Ia tahu, betapa sang Gajah Putih adalah jelmaan dari kakaknya sendiri, Bener Meriah. Oleh karena itu, tanpa menunggu lagi, la pun segera memohon kepada sang ayah, “Ayahanda, izinkan hamba untuk menjinakkannya.” Dengan perasaan berat, sang ayah pun bertanya: “Benarkah, apakah engkau mampu untuk melaksanakannya?” Dengan tanpa ragu, Sengeda pun berkata: “Atas restu dari ayahanda, maka, Insya Allah, semuanya akan beres.”
Raja pun mengangguk tanda setuju. Dengan menunggang Gajah hitam dan diampingi gurunya, Rajee serta diiringi oleh teman-teman seperguruannya, Sengeda pun menuju ke alun-alun. Di sepanjang Jalan, ia meminta kepada seluruh rakyat untuk menghentikan serangannya kepada sang Gajah Putih, Sengeda meminta mereka untuk menabuh tambur (tamur—Gayo), canag (gamelan) dan gegedem (rapat atau rebana), sementara, kaum ibu diminta untuk menabuh lesung (alat penumbuk padi, jingki) dengan irama yang teratur sehingga membuat tenang hati sang Gajah Putih.
Tak cukup sampai di situ, tiga puluh pemuda dani penduduk desa yang berbeda diminta untuk berkumpul dan membentuk setengah lingkaran sambil bertepuk tangan dengan irama yang beraturan serta melantunkan berbagai pujan tentang kebaikan si Bener Meriah. Perlahan, Sengedam pun turun dari tunggangannya dan menari dengan gerak yang sangat perlahan melihat hal itu, sang gajah Putih pun bangun dan melakukan gerakan maju mundur di tempatnya perlahan tatap! pasti,irama dan tarian pun meningkat menjadi gembira. Dani sang Gajah Putih pun turut larut di dalam tanan yang akhirnya dikenal dengan sebutan Tari Redep.
Gajah Putih pun mulai melangkah mengikuti Sengeda, seiring dengan irama musik semakin riang yang disebut dengan Cicang Nangka, maka, berjalanlah sang Gajah Putih menuju ke gerbang istana. Di sana, Raja Linge telah menunggu di pintu Istana (umah pitu ruang) didampingi dengan didampingi oleh Ine (ibu) dari Sengeda dan Bener Meriah yang selalu meratap dengan penuh keharuan.
Di depan Raja Linge, bak seorang anak yang sujud di hadapan orang tuanya, sang Gajah Putih pun melakukan hal yang serupa. Air matanya pun mengalir deras dari kedua bola matanya. Dengan santun, Sengeda pun menceritakan bahwa sang Gajah Putih tak lain adalah kakak kandungnya sendiri, Bener Meriah yang sengaja meminta dirinya diubah menjadi Gajah Putih karena fitnah yang dilancarkan oleh mereka yang tidak senang kepada dirinya. Kini, sang Gajah Putih ingin kembali dan berkumpul di tengah-tengah keluarganya.
Semua yang mendengar hanya bisa terharu dan mengucurkan air mata…
Dengan itu, berita tentang Gajah Putih yang sakti itu telah sampai di telinga Raja Aceh Darussalam yang berharap dapat memeliharanya. Dengan perasaan yang teramat berat, akhirnya, Raja Linge pun menyerahkan dan sejak itu pula sang Gajah Putih dipelihara oleh Raja Aceh dan menjadi salah satu binatang kesayangan kerajaan Aceh Darussalam.
Sekarang, nama Bener Meriah diabadikan sebagai nama sebuah Kabupaten di Serambi Mekah, setelah memisahkan diri dari Kabupaten Aceh Tengah sedang Gajah Putih atau Gajah Puteh dijadikan simbol Ksatria Kodam Iskandar Muda Nanggroe Aceh Darussalam (sebelum dipindahkan ke Sumatra Utara bergabung dengan Kodam Bukit Barisan). Sementara, sikap Bener Meriah dalam menjaga dan membela kehormatan diri dan keluarganya dilambangkan dengan Ponok (Badik) yang terselip di pinggang mempelai pria.
Sampai sekarang, bekas-bekas berdirinya Kerajaan Linge di Tanah Gayo, masih bisa diketemukan di daerah Linge. (Dari berbagai sumber). Wallahu a’lam bissawab. ©️KyaiPamungkas.

KYAI PAMUNGKAS PARANORMAL (JASA SOLUSI PROBLEM HIDUP) Diantaranya: Asmara, Rumah Tangga, Aura, Pemikat, Karir, Bersih Diri, Pagar Diri, dll.
Kami TIDAK MELAYANI hal yg bertentangan dengan hukum di Indonesia. Misalnya: Pesugihan, Bank Gaib, Uang Gaib, Pindah Janin/Aborsi, Judi/Togel, Santet/Mencelakakan Orang, dll. (Bila melayani hal di atas = PALSU!)
NAMA DI KTP: Pamungkas (Boleh minta difoto/videokan KTP. Tidak bisa menunjukkan = PALSU!)
NO. TLP/WA: 0857-4646-8080 & 0812-1314-5001
(Selain 2 nomor di atas = PALSU!)
WEBSITE: paranormal-indonesia.com/
(Selain web di atas = PALSU!)
NAMA DI REKENING/WESTERN UNION: Pamungkas/Niswatin/Debi
(Selain 3 nama di atas = PALSU!)
ALAMAT PRAKTEK: Jl. Raya Condet, Gg Kweni No.31, RT.01/RW.03, Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur.
(Tidak buka cabang, selain alamat di atas = PALSU!)